Syekh Magelung Sakti alias Syarif Syam alias Pangeran Soka alias
Pangeran Karangkendal. Konon Syekh Magelung Sakti berasal dari negeri
Syam (Syria), hingga kemudian dikenal sebagai Syarif Syam. Namun, ada
pula yang berpendapat bahwa ia berasal dari negeri Yaman.
Syarif Syam memiliki rambut yang sangat panjang, rambutnya sendiri
panjangnya hingga menyentuh tanah, oleh karenanya ia lebih sering
mengikat rambutnya (gelung). Sehingga kemudian ia lebih dikenal sebagai
Syekh Magelung (Syekh dengan rambut yang tergelung).
Mengapa ia memiliki rambut yang sangat panjang ialah karena rambutnya
tidak bisa dipotong dengan apapun dan oleh siapapun. Karenanya,
kemudian ia berkelana dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari
siapa yang sanggup untuk memotong rambut panjangnya itu. Jika ia
berhasil menemukannya, orang tersebut akan diangkat sebagai gurunya.
Hingga akhirnya ia tiba di Tanah Jawa, tepatnya di Cirebon.
Pada sekitar abad XV di Karangkendal hidup seorang yang bernama Ki
Tarsiman atau Ki Krayunan atau Ki Gede Karangkendal, bahkan disebut pula
dengan julukan Buyut Selawe, karena mempunyai 25 anak dari istrinya
bernama Nyi Sekar. Diduga, mereka itulah orang tua angkat Syarif Syam di
Cirebon.
Konon, Syarif Syam datang di pantai utara Cirebon mencari seorang
guru seperti yang pernah ditunjukkan dalam tabirnya, yaitu salah seorang
waliyullah di Cirebon. Dan di sinilah ia bertemu dengan seorang tua
yang sanggup dengan mudahnya memotong rambut panjangnya itu. Orang itu
tak lain adalah Sunan Gunung Jati. Syarif Syam pun dengan gembira
kemudian menjadi murid dari Sunan Gunung Jati, dan namanya pun berubah
menjadi Pangeran Soka (asal kata suka). Tempat dimana rambut Syarif Syam
berhasil dipotong kemudian diberinama Karanggetas.
Setelah berguru kepada Sunan Gunung Jati di Cirebon, Syarif Syam
alias Syekh Magelung Sakti diberi tugas mengembangkan ajaran Islam di
wilayah utara. Ia pun kemudian tinggal di Karangkendal, Kapetakan,
sekitar 19 km sebelah utara Cirebon, hingga kemudian wafat dan
dimakamkan di sana hingga kemudian ia lebih dikenal sebagai Pangeran
Karangkendal.
Sesuai cerita yang berkembang di tengah masyarakat atau orang-orang
tua tempo dulu, pada masa lalu Syekh Magelung Sakti menundukkan Ki Gede
Tersana dari Kertasemaya, Indramayu, sehingga anak buah Ki Tarsana
tersebut yang berupa makhluk halus pun turut takluk. Namun, makhluk gaib
melalui Ki Tersana meminta syarat agar setiap tahunnya diberi makan
berupa sesajen rujak wuni. Dari cerita inilah selanjutnya, tradisi
menyerahkan sesajen daging mentah tersebut berlangsung setiap tahun di
Karangkendal.
Sosok Syekh Magelung Sakti tidak dapat dilepaskan dari Nyi Mas
Gandasari, yang kemudian menjadi istri beliau. Pertemuan keduanya
terjadi saat Syekh Magelung Sakti yang di kenal juga sebagai Pangeran
Soka, ditugaskan untuk berkeliling ke arah barat Cirebon. Pada saat ia
baru saja selesai mempelajari tasawuf dari Sunan Gunung Jati, dan
mendengar berita tentang sayembara Nyi Mas Gandasari yang sedang mencari
pasangan hidupnya.
Babad Cerbon juga tidak jelas menyebutkan siapakah yang dimaksud
sebagai putri Mesir itu. Namun, menurut masyarakat di sekitar makam Nyi
Mas Gandasari di Panguragan, dipercaya bahwa Nyi Mas Gandasari berasal
dari Aceh, adik dari Tubagus Pasei atau Fatahillah, putri dari Mahdar
Ibrahim bin Abdul Ghafur bin Barkah Zainal Alim. Ia diajak serta oleh Ki
Ageng Selapandan sejak kecil dan diangkat sebagai anak, saat
sepulangnya menunaikan ibadah haji ke Makkah.
Versi lain menyebutkan bahwa Nyi Mas Gandasari, yang sebenarnya
adalah putri Sultan Hud dari Kesultanan Basem Paseh (berdarah Timur
Tengah), merupakan salah satu murid di pesantren Islam putri yang
didirikan oleh Ki Ageng Selapandan.
Konon, karena kecantikan dan kepandaiannya dalam ilmu bela diri,
telah berhasil menipu pangeran dari Rajagaluh, sebuah negara bawahan
dari kerajaan Hindu Galuh-Pajajaran (yang kemudian menjadi raja dan
bernama Prabu Cakraningrat). Pada waktu itu, Cakraningrat tertarik untuk
menjadikannya sebagai istri. Tak segan-segan ia pun diajaknya
berkeliling ke seluruh pelosok isi kerajaan, bahkan sampai dengan ke
tempat-tempat yang amat rahasia. Hal inilah yang kemudian dimanfaatkan
oleh Pangeran Cakrabuana, orang tua angkat Nyi Mas Gandasari untuk
kemudian menyerang Rajagaluh.
Ki Ageng Selapandan yang juga adalah Ki Kuwu Cirebon waktu itu
dikenal juga dengan sebutan Pangeran Cakrabuana (masih keturunan Prabu
Siliwangi dari Kerajaan Hindu Pajajaran), berkeinginan agar anak
angkatnya, Nyi Mas Gandasari, segera menikah. Setelah meminta nasihat
Sunan Gunung Jati, gurunya, keinginan ayahnya tersebut disetujui Putri
Selapandan dengan syarat calon suaminya harus pria yang memiliki ilmu
lebih dari dirinya.
Meskipun telah banyak yang meminangnya, ia tidak bisa menerimanya
begitu saja dengan berbagai macam alasan dan pertimbangan. Oleh
karenanya kemudian ia pun mengadakan sayembara untuk maksud tersebut,
sejumlah pangeran, pendekar, maupun rakyat biasa dipersilakan berupaya
menjajal kemampuan kesaktian sang putri. Siapapun yang sanggup
mengalahkannya dalam ilmu bela diri maka itulah jodohnya. Banyak
diantaranya pangeran dan ksatria yang mencoba mengikutinya tetapi tidak
ada satu pun yang berhasil. Seperti Ki Pekik, Ki Gede Pekandangan, Ki
Gede Kapringan serta pendatang dari negeri Cina, Ki Dampu Awang atau
Kyai Jangkar berhasil dikalahkannya.
Hingga akhirnya Pangeran Soka memasuki arena sayembara. Meskipun
keduanya tampak imbang, namun karena faktor kelelahan Nyi Mas Gandasari
pun akhirnya menyerah dan kemudian berlindung di balik Sunan Gunung
Jati.
Namun, Pangeran Soka terus menyerangnya dan mencoba menyerang Nyi Mas
Gandasari dan hampir saja mengenai kepala Sunan Gunung Jati. Tetapi
sebelum tangan Pangeran Soka menyentuh Sunan Gunung Jati, Pangeran Soka
menjadi lemas tak berdaya. Sunan Gunung Jati pun kemudian membantunya
dan menyatakan bahwa tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah.
Namun, kemudian keduanya dinikahkan oleh Sunan Gunung Jati.
Selain berjasa dalam syiar Islam di Cirebon dan sekitarnya, Syarif
Sam dikenal sebagai tokoh ulama yang mempunyai ilmu kanuragan tinggi
pada zamannya. Ia membangun semacam pesanggrahan yang dijadikan sebagai
tempat ia melakukan syiar Islam dan mempunyai banyak pengikut. Sampai
dengan akhir hayatnya, Syekh Magelung Sakti dimakamkan di Karangkendal,
dan sampai sekarang tempat tersebut selalu diziarahi orang dari berbagai
daerah.
Di situs makam Syekh Magelung Sakti terdapat sumur peninggalan tokoh
ulama tersebut, padasan kramat, depok (semacam pendopo) Karangkendal,
jramba, kroya, pegagan, dukuh, depok Ki Buyut Tersana, dan pedaleman
yang berisi pesekaran, paseban, serta makam Syekh Magelung Sakti
sendiri.
Berjauhan dengan makam suaminya Syekh Magelung Sakti, makam Nyi Mas
Gandasari terdapat di Panguragan, sehingga ia kemudian dikenal juga
sebagai Nyi Mas Panguragan.
Di versi lain, Nyi Mas Gandasari/Nyi Endang Darma menikah dengan Kanjeng R. Arya Wiralodra di Pegaden.
BalasHapusYang mmbuat sy bingung, sumber yang aslinya mana??