DEWI TANURAN GAGANG PINDAH KE CARBON
(pupuh LVIII.12 - LVIII.16)
Tersebut
bahwa Dalem Jaketra, Raja Lahut, telah meninggal dunia dan kemudian
digantikan oleh anaknya Pangeran Tlutur. Pangeran Tlutur yang kemudian
diangkat menjadi Narpati, sangat mencintai Dewi Tanuran Gagang. Akan
tetapi setiap kali keduanya hendak melakukan hubungan suami-isteri
mereka terganggu oleh keluarnya api dari parji sang Dewi. Oleh karena
itu sang Pangeran sudah tak mau lagi berhubungan dengan sang Dewi karena
cacatnya itu. Sang Pangeran merasa bahwa sang Dewi sudah tidak ada
gunanya lagi dan Dewi Tanuran Gagang pun sudah pasrah menerima akan kehendak Yang Maha Esa.
Pada
suatu ketika Pangeran Jaketra Tlutur pergi ke Carbon ingin bertemu
dengan cucu Sinuhun, yang bernama Pangeran Carbon, Waktu itu Dewi
Tanuran Gagang dibawa serta ke Carbon. Diceritakan bahwa setelah sampai
mereka duduk berdekatan dan Pangeran Carbon jatuh hati kepada Dewi
Tanuran Gagang. Pangeran Carbon pun meminta Dewi Tanuran Gagang kepada
Pangeran Jaketra yang kemudian merelakannya. Maka sejak itu Dewi Tanuran Gagang pun tinggal di Carbon.
DEWI TANURAN GAGANG DIAMBIL SULTAN MATARAM
(pupuh LIX.07 - LIX.11)
Dikisahkan
di Pakungwati, Pangeran Carbon ingin bercengkrama dengan Dewi Tanuran
Gagang, akan tetapi kembali Dewi Tanuran Gagang mengeluarkan hawa panas
membara. Begitulah selalu kejadiannya sehingga Pangeran Carbon pun tidak
menghendakinya lagi. Ketika itu Pangeran Carbon berada dibawah
kekuasaan Mataram, dia diharuskan seba, menghadap, setiap tahun ke
Mataram. Dalam perjalanan itu Pangeran Carbon membawa serta Dewi Tanuran
Gagang, ketika Sultan Mataram melihatnya maka sang putri pun segera
dimintanya. Setelah Dewi Tanuran Gagang diserahkan kepada Sunan Mataram,
maka Pangeran Carbon pun memperoleh gantinya yaitu putri yang bernama
Ratu Sidapulin yang kemudian dibawa kembali ke Carbon. Dari perkawinan
itu lahir seorang anak laki-laki bernama Pangeran Manis, dan seorang
anak perempuan yang diberi nama Ratu Setu.
DEWI TANURAN GAGANG DISERAHKAN KEPADA PEDAGANG BELANDA
(pupuh LIX.11 - LIX.16)
Pada
suatu hari, Sunan Mataram duduk berdua bersama Sunan Kalijaga. Kepada
wali ditanyakan mengapa gerangan putri yang diberikan Pangeran Carbon
itu tak bisa digauli. "Apakah mungkin karena yang memberikannya tidak
rela?", tanya Sultan Mataram. Sunan Kalijaga menjawab, "Bukan begitu
anakku, barangkali engkau belum mengetahui bahwa putri itu dari dahulu,
sejak menjadi selir Dalem Jaketra, keadaannya memang begitu. Yaitu jika
dia dibawa tidur maka dari parjinya akan keluar api". Demikian juga
waktu kemudian dibawa ke Carbon sama juga masalahnya". Sunan Mataram
berkata, "Bilamana demikian halnya, daripada hanya untuk sekedar
dilihat, lebih baik dia dibunuh saja". Sang Wali berkata, "Anakku,
janganlah engkau bertindak ceroboh, membunuh orang yang tidak berdosa,
itu akan membawa bencana di kemudian hari. Dari pada dibunuh, lebih baik
dijual saja kepada pedagang Belanda yang akan pulang berlayar itu".
Begitulah Sunan Mataram pun mengikuti nasihat Wali Sunan Kalijaga.
DEWI TANURAN GAGANG DIBAWA KE INGGRIS
(pupuh LIX.16 - LIX.20)
Dewi
Tanuran Gagang kemudian diambil oleh pedagang Belanda, dan ditukar
dengan tiga buah meriam yang bernama Sapujagat, yang ada di Mataram, si
Antu yang ada di Carbon, dan si Amuk yang ada di Betawi . Asal mula
mengapa maka meriam itu dibagi tiga, disebabkan karena Dewi Tanuran
Gagang sebelumnya mengabdi kepada ketiga orang itu. Sang putri kemudian
dibawa berlayar ke negara Belanda, disana dia beberapa kali berganti
tuan karena masalah yang sama, hingga akhirnya ada seorang Belanda yang
bernama raja Ngladiwasa, yang tinggal di Inggris dan yang kemudian
berhasil menyembuhkannya. Begitulah lama kelamaan Dewi Tanuran Gagang
mempunyai anak keturunan yang bermukim di kepulauan Inggris. Dengan
demikian permintaan Dewi Mandapa sekarang telah terkabul.
Keturunannya kemudian akan kembali ke tanah Jawa yang akan membalas dendamnya kepada anak cucu dari perusak negaranya, dan para pengikut Arya Lumajang.
CATATAN:
1. Mengenai
kehadiran orang Belanda, Kapten Morgel, sebagai keturunan Dewi Tanuran
Gagang telah diuraikan dalam kisah “Pangeran Banten yang menobatkan diri
menjadi Sultan” sebagai berikut:
“Masuknya
Belanda itu bagaikan racun yang menyusup ke tanah Jawa. Para raja Jawa
belum sadar bahwa dalam tubuhnya telah masuk racun itu yang kemudian
akan merusaknya. Belanda mencari kesempatan untuk malang melintang dan
mengatur raja-raja di Jawa itu merupakan warisan dari leluhurnya. Dahulu
Dewi Mandapa, anak raja Pajajaran yang terakhir, yang tak mau masuk
agama Islam, anaknya bernama Dewi Tanuran Gagang tinggal di Pulau
Inggris. Tanuran Gagang itu bercampur dengan orang kulit putih dan
sekarang sudah sampai pada buyutnya, yaitu yang diceritakan bernama
Kapten Morgel yang datang minta kedudukan di tanah Jakarta. Dia terikat
oleh warisannya yang dahulu, melanjutkan kekuasaan negara Pakuan dan
akan mengusik raja-raja Jawa di kemudian hari”.
2. Pangeran Carbon dimaksud dalam kisah ini adalah Panembahan Ratu sebelum dinobatkan menjadi Panembahan.
3. Sekarang
meriam Sapujagat berada di Jogyakarta, Ki Amuk semula berada di
Karangantu kemudian dipindahkan ke halaman mesjid Banten, sedangkan Ki
Antu yang lebih dikenal dengan Si Jagur berada di halaman Musium
Fatahilah, Jakarta Kota. Menurut legenda bilamana Si Jagur disatukan
kembali dengan Ki Amuk maka sebuah kerajaan besar akan lahir.
Hasil alih aksara dan alih bahasa dari naskah-naskah lama mengenai Babad Cirebon dan Pajajaran post by Amman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar