Manfaat dan tujuan bancakan weton adalah untuk “ngopahi sing momong”, karena masyarakat Jawa percaya dan memahami jika setiap orang ada yang momong (pamomong) atau “pengasuh dan pembimbing” secara metafisik. Pamomong bertugas selalu membimbing dan mengarahkan agar seseorang tidak salah langkah, agar supaya lakune selalu pener, dan pas. Pamomong sebisanya selalu menjaga agar kita bisa terhindar dari perilaku yang keliru, tidak tepat, ceroboh, merugikan. Antara pamomong dengan yang diemong seringkali terjadi kekuatan tarik-menarik. Pamomong menggerakkan ke arah kareping rahsa, atau mengajak kepada hal-hal baik dan positif, sementara yang diemong cenderung menuruti rahsaning karep,
ingin melakukan hal-hal semaunya sendiri, menuruti keinginan negative,
dengan mengabaikan kaidah-kaidah hidup dan melawan tatanan yang akan
mencelakai diri pribadi, bahkan merusak ketenangan dan ketentraman
masyarakat. Antara pamomong dengan yang diemong terjadi tarik menarik, Dalam rangka tarik-menarik ini, pamomong tidak selalu memenangkan “pertarungan” alias kalah dengan yang diemong. Dalam situasi demikian yang diemong lebih condong untuk selalu mengikuti rahsaning karep (nafsu). Bahkan tak jarang apabila seseorang kelakuannya sudah tak terkendali atau mengalami disorder, sing momong biasanya sudah enggan untuk memberikan bimbingan dan asuhan. Termasuk juga bila yang diemong mengidap penyakit jiwa. Dalam beberapa kesempatan saya pernah nayuh si pamomong seseorang yang sudah mengalami disorder misalnya kelakuannya liar dan bejat, sering mencelakai orang lain, ternyata pamomong akhirnya meninggalkan yang diemong karena sudah enggan memberikan bimbingan dan asuhan kepada seseorang tersebut. Pamomong
sudah tidak lagi mampu mengarahkan dan membimbingnya. Apapun yang
dilakukan untuk mengarahkan kepada segala kebaikan, sudah sia-sia saja.
Kebanyakan kasus pada seseorang yang mengalami disorder biasanya sang pamomong-nya diabaikan, tidak dihargai sebagaimana mestinya padahal pamomong selalu mencurahkan perhatian kepada yang diemong, selalu mengajak kepada yang baik, tepat, pener dan pas. Sehingga hampir tidak pernah terjadi interaksi antara diri kita dengan yang momong. Dalam tradisi Jawa, interaksi sebagai bentuk penghargaan kepada pamomong, apalagi diopahi dengan cara membuat bancakan weton. Eksistensi pamomong
oleh sebagian orang dianggapnya sepele bahkan sekedar mempercayai
keberadaannya saja dianggap sirik. Tetapi bagi saya pribadi dan
kebanyakan orang yang mengakui eksistensi dan memperlakukan secara bijak
akan benar-benar menyaksikan daya efektifitasnya. Kemampuan diri kita
juga akan lebih optimal jika dibanding dengan orang yang tidak pernah
melaksanakan bancakan weton. Selama ini saya mendapat kesaksian langsung dari teman-teman yang saya anjurkan agar mem-bancaki
wetonnya sendiri. Mereka benar-benar merasakan manfaatnya bahkan
seringkali secara spontan memperoleh kesuksesan setelah melaksanakan bancakan weton.
Hal itu tidak lain karena daya metafisis kita akan lebih maksimal
bekerja. Katakanlah, antara batin dan lahir kita akan lebih seimbang,
harmonis dan sinergis, serta keduanya baik fisik dan metafisik akan
menjalankan fungsinya secara optimal untuk saling melengkapi dan menutup
kelemahan yang ada. Bancakan weton juga tersirat makna, penyelarasan
antara lahir dengan batin, antara jasad dan sukma, antara alam sadar dan
bawah sadar.
Pertanyaan di atas seringkali dilontarkan. Saya pribadi terkadang merasa canggung untuk menjelaskan secara detil, oleh karena tidak setiap orang mampu memahami. Bahkan seseorang yang bener-bener tidak paham siapa yang momong, kemudian bertanya, namun setelah dijawab toh akhirnya membantah sendiri. Seperti itulah karakter pikir sebagian anak zaman sekarang yang terlalu “menuhankan” rasio dan sebagian yang lain tidak menyadari bahwa dirinya sedang tidak sadar. Apapun reaksinya, kiranya saya tetap perlu sekali menjelaskan siapa jati diri sang pamomong ini agar supaya para pembaca yang budiman yang memiliki antusiasme akan luasnya bentang sayap keilmuan, dan secara dinamis berusaha menggapai kualitas hidup lebih baik dari sebelumnya dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan yang lebih luas.
Pamomong, atau sing momong, adalah esensi energy yang selalu mengajak, mengarahkan, membimbing dan mengasuh diri kita kepada sesuatu yang tepat, pas dan pener dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Esensi energy
dapat dirasakan bagaikan medan listrik, yang mudah dirasakan tetapi
sulit dilihat dengan mata wadag. Jika eksistensi listrik dipercaya ada,
karena bisa dirasakan dan dibuktikan secara ilmiah. Sementara itu
eksistensi pamomong sejauh ini memang bisa dirasakan, dan bagi
masyarakat yang masih awam pembuktiannya masih terbatas pada
prinsip-prinsip silogisme setelah menyaksikan dan mersakan realitas
empiris. Pamomong diakui eksistensinya setelah melalui proses konklusi dari pengalaman unik (unique experience)
yang berulang terjadi pada diri sendiri dan yang dialami banyakan
orang. Lain halnya bagi sebagian masyarakat yang pencapaian
spiritualitasnya sudah memadai dapat pembuktiannya tidak hanya sekedar
merasakan saja, namun dapat menyaksikan atau melihat dengan jelas siapa
sejatinya sang pamomong masing-masing diri kita. Dalam pembahasan khusus suatu waktu akan saya uraikan secara detail mengenai jati diri sang Pamomong.
Setiap anak baru lahir, orang tuanya membuat bancakan weton pertama kali biasanya pada saat usia bayi menginjak hari ke 35 (selapan hari). Bancakan weton dapat dilaksanakan tepat pada acara upacara selapanan atau selamatan ulang weton yang pertama kali. Anak yang sering dibuatkan bancakan weton
secara rutin oleh orangtuanya, biasanya hidupnya lebih terkendali,
lebih berkualitas atau bermutu, lebih hati-hati, tidak liar dan ceroboh,
dan jarang sekali mengalami sial. Bahkan seorang anak yang
sakit-sakitan, sering jatuh hingga berdarah-darah, nakal bukan kepalang,
setelah dibuatkan bancakan weton si anak tidak lagi
sakit-sakitan, dan tidak nakal lagi. Dalam beberapa kasus saya
menyaksikan sendiri seorang anak sakit panas, sudah di bawa periksa
dokter tetap belum ada tanda-tanda sembuh, lalu setelah dibikinkan
bancakan weton hanya selang 2 jam sakit demannya langsung sembuh. Inilah
sekelumit contoh yang sering saya lihat dengan mata kepala sendiri
persoalan di seputar bancakan weton. Masih banyak lagi yang tak bisa saya ceritakan di sini.
Mungkin para pembaca yang budiman
memiliki banyak pengalaman spiritual di seputar soal weton, saya
berharap anda berkenan untuk berbagi kisah di sini agar bermanfaat bagi
kita semua. Baiklah, pada kesempatan ini saya akan paparkan secara
singkat uborampe untuk membuat bancakan weton.
BAHAN-BAHAN
2. Telur ayam (bebas telur ayam apa saja). Jumlah telur bisa 7, 11, atau 17 butir anda bebas menentukannya. Telur ayam direbus lalu dikupas kulitnya.
Maknanya ; jumlah telur 7 (pitu), 11 (sewelas), 17 (pitulas) bermaksud sebagai doa agar mendapatkan pitulungan (7), atau kawelasan (11), atau pitulungan dan kawelasan (17).
3. Bumbu urap atau gudangan. Jika yang diberi bancakan weton masih usia kanak-kanak sampai usia sewindu (8 tahun) bumbunya tidak pedas. Usia lebih dari 8 tahun bumbu urap/gudangannya pedas. Bumbu gudangan
terdiri : kelapa agak muda diparut. Diberi bumbu masak sbb : bawang
putih, bawang merah, ketumbar, daun salam, laos, daun jeruk purut,
sereh, gula merah dan garam secukupnya. Kalau bumbu pedas tinggal
menambah cabe secukupnya. Kelapa parut dan bumbu dicampur lalu dibungkus
daun pisang dan dikukus sampai matang.
Maknanya : bumbu pedas
menandakan bahwa seseorang sudah berada pada rentang kehidupan yang
sesungguhnya. Kehidupan yang penuh manis, pahit, dan getir. Hal ini
melambangkan falsafah Jawa yang mempunyai pandangan bahwa pendidikan
kedewasaan anak harus dimulai sejak dini. Pada saat anak usia lewat
sewindu sudah harus belajar tentang kehidupan yangs sesungguhnya.
Karena usia segitu adalah usia yang paling efektif untuk sosialisasi,
agar kelak menjadi orang yang pinunjul, mumpuni, perilaku utama,
bermartabat dan bermanfaat bagi sesama manusia, seluruh makhluk,
lingkungan alamnya.
5. Nasi Tumpeng Putih.
Beras dimasak (nasi) untuk membuat tumpeng. Perkirakan mencukupi untuk
minimal 7 porsi. Sukur lebih banyak misalnya untuk 11 atau 17 porsi.
Setelah nasi tumpeng selesai dibuat dan di doakan, lalu dimakan bersama
sekeluarga dan para tetangga. Jumlah minimal orang yang makan usahakan 7
orang, semakin banyak semakin baik, misalnya 11 orang, 17 orang. Porsi
nasi tumpeng boleh dibagi-bagikan ke para tetangga anda.
Maknanya, dimakan 7 orang dengan harapan mendapat pitulungan yang berlipat tujuh. Jika 11 orang, berharap mendapat kawelasan yang berlipat sebelas. 17 berharap mendapat pitulungan lan kawelasan berlipat 17. Namun hal ini hanya sebagai harapan saja, perkara terkabul atau tidak hal itu menjadi “hak prerogatif” Tuhan.
6. Alat-alat kelengkapan : 1) daun pisang secukupnya, digunakan sebagai alas tumpeng (lihat gambar). 2) kalo (saringan santan) harus yang baru atau belum pernah digunakan. 3) cobek tanah liat yang baru atau belum pernah digunakan. Cara menggunakannya lihat dalam gambar.
Terdiri dari makanan tradisional yang ada di pasar. Misalnya makanan
terbuat dari ketan; wajik, jadah, awug, puthu, lemper dll. Makanan yang
terbuat dari beras ; apem, cucur, mandra. Serta dilengkapi buah-buahan
yang ditemui di pasar seperti salak, rambutan, manggis, mangga,
kedondong, pisang. Semuanya dibeli secukupnya saja, jangan terlalu
banyak, jangan terlalu sedikit.
Maknanya ; kesehatan, rejeki, keselamatan, supaya selalu lengket, menyertai kemanapun pergi, dan dimanapun berada.
Maknanya : kembang setaman masing-masing memiliki arti sendiri-sendiri. Misalnya bunga mawar ; awar-awar supaya hatinya selalu tawar dari segala nafsu negatif. Bunga melati, melat-melat ing ati selalu eling dan waspada. Bunga kenanga, agar selalu terkenang atau teringat akan sangkan paraning dumadi. Kanthil supaya tansah kumanthil,
hatinya selalu terikat oleh tali rasa dengan para leluhur yang
menurunkan kita, kepada orang tua kita, dengan harapan kita selalu
berbakti kepadanya. Kanthil sebagai pepeling agar supaya kita
jangan sampai menjadi anak atau keturunan yang durhaka kepada orang tua,
dan kepada para leluhurnya, leluhur yang menurunkan kita dan leluhur
perintis bangsa.
9. Uang Logam (koin) Rp.100 atau 500, atau 1000. (Cara menyajikan lihat gambar).
10. Bubur 7 rupa :
bahan dasar bubur putih atau gurih (santan dan garam) dan bubur merah
atau bubur manis (ditambah gula jawa dan garam secukupnya). Selanjutnya
dibuat menjadi 7 macam kombinasi; bubur merah, bubur putih, bubur merah
silang putih, putih silang merah, bubur putih tumpang merah, merah
tumpang putih, baro-baro (bubur putih ditaruh sisiran gula merah dan
parutan kelapa secukupnya).
11. Membuat teh tubruk dan kopi tubruk. Di tambah rujak
degan (klamud) menggunakan air kelapa ditambah gula merah dan garam
secukupnya. Sajikan dalam gelas atau cangkir tetapi jangan ditutup.1. Buatlah “sate” terdiri dari (urutkan dari bawah); cabe merah (posisi horizontal), bawang merah, telur rebus utuh dikupas kulitnya (posisi vertical), dan cabe merah posisi vertical (lihat dalam gambar). “Sate” ditancapkan di pucuk tumpeng.
Maknanya ; kehidupan
ini penuh dengan pahit, getir, pedas, manis, gurih. Untuk menuju kepada
Hyang Maha Tunggal banyak sekali rintangannya. Sate ditancapkan di pucuk
tumpeng mengandung pelajaran bahwa untuk mencapai kemuliaan hidup di
dunia (kemuliaan) dan setelah ajal (surga atau kamulyan sejati) semua
itu tergantung pada diri kita sendiri. Jika meminjam istilah, habluminannas merupakan sarat utama dalam menggapai habluminallah.
Hidup adalah perbuatan nyata. Kita mendapatkan ganjaran apabila hidup
kita bermanfaat untuk sesama manusia, sesama makhluk Tuhan yang tampak
maupun yang tidak tampak, termasuk binatang dan lingkungan alamnya.
2. Nasi tumpeng dicetak kerucut besar di bawah runcing di bagian atas. Tumpeng letakkan tepat di tengah-tengah kalo.
Maknanya ; nasi tumpeng
sebagai wujud doa, sekaligus keadaan di dunia ini. Segala macam dan
ragam yang ada di dunia ini adalah bersumber dari Yang Satu.
Dilambangkan sebagai tumpeng berbentuk kerucut di atas. Makna lainnya
bahwa segala macam doa merupakan upaya sinergisme kepada Tuhan YME. Oleh
sebab itu, di bagian bawah tumpeng bentuknya lebar dan besar, semakin
ke atas semakin kerucut hingga bertemu dalam satu titik. Satu titik itu
menjadi pucuk atau penyebab dari segala yang ada (causa prima)
melambangkan eksistensi Tuhan sebagai episentrum dari segala episentrum.
3. Tujuh macam sayur
ditata mengelilingi tumpeng serta bumbu gudangan/urap diletakkan di
antaranya. Makna 7 macam sayur sudah saya ungkapkan di atas. Sayur di
tata mengelilingi tumpeng. Tumpeng sebagai pusatnya energy ada di
tengah. Energy diisi dengan segala hal yang positif seperti harmonisasi
symbol angka 7 (nyuwun pitulungan).
4. Telur rebus boleh utuh atau dibelah menjadi dua, ditata mengelilingi nasi tumpeng (lihat gambar).
Maknanya : telur
merupakan asal muasal terjadinya makhluk hidup. dalam serat Wedhatama
karya Gusti Mangkunegoro ke IV, telur melambangkan proses meretasnya
kesadaran ragawi (sembah raga) menjadi kesadaran ruhani (sembah jiwa).
Dua kesadaran itu akan menghantarkan menjadi menusia yang sejati
(sebagai kiasan dari proses menetas menjadi anak ayam). Dalam cerita
pewayangan telur juga melambangkan proses terjadinya dunia ini. Kuning
telur sebagai perlambang dari cahya sejati (manik maya), putih telur sebagai rasa sejati (teja maya). Keduanya ambabar jati menjadi Kyai Semar. Dengan perlambang telur, kita diharapkan selalu eling sangkan (ingat asal muasal), menghargai dan memahami eksistensi sang Guru Sejati kita yang tidak lain adalah sukma sejati yang dilimput oleh rasa sejati dan disinari sang cahya sejati. Inilah unsur Tuhan yang ada dalam diri kita. Dan yang paling dekat; adoh tanpa wangenan, cedak tanpa senggolan (jauh tanpa jarak, dekat tanpa bersentuhan). Lebih dekat dari urat leher. Inilah salah satu sang Pamomong yang kita hargai eksistensinya melalui bancakan weton.
5. Kalo diletakkan di atas cobek (kalo dialasi dengan cobek).
Maknanya : Cobek merupakan makna dari bumi (tanah) tempak kita berpijak. Nasi tumpeng dan segala isinya yang diletakkan dalam kalo
jika tidak dialasi cobek bisa terguling. Hal ini mensyiratkan makna
hendaknya menjalani hidup di dunia ini ada keseimbangan atau harmonisasi
antara jasmani dan rohani. Antara unsur bumi dan unsur Tuhan. Antara
kebutuhan raga dengan kebutuhan jiwa, sehingga menjadi manusia sejati
yang meraih kemerdekaan lahir dan kemerdekaan batin.
6. Daun pisang dihias
sedemikian rupa sesuai selera sebagai alas meletakkan tumpeng dan
sayuran. Daun yang hijau adalah lambang kesuburan dan pertumbuhan.
Maknanya adalah pengharapan doa negeri kita maupun pribadi kita selalu
diberkati Tuhan sebagai negeri yang subur makmur, ijo royo-royo, kita
menjadi pribadi yang subur makmur, dapat menciptakan kesuburan bagi alam
sekitar dan kepada sesama makhluk hidup.
7. Sisa guntingan atau potongan daun pisang, hendaknya diletakkan di antara cobek dengan kalo. Jangan lupa letakkan uang logam bersama sampah sisa potongan daun pisang. Hal ini bermakna segala macam “sampah kehidupan”, sebel sial, sifat-sifat buruk ditimbun atau dikendalikan oleh segala macam perilaku kebaikan sebagaimana tersirat di dalam seluruh isi kalo.
Uang logam merupakan perlambang dari harta duniawi. Hal ini mengandung
pepeling (peringatan) bahwasanya harta karun dan segala macam perhiasan
duniawi ibarat sampah tidak akan berharga apa-apa jika tidak digunakan
sebagai sarana laku prihatin. Hal itu menjadikan harta kita tak ubahnya seperti sampah yang mengotori kehidupan kita. Maka, jadilah orang kaya harta yang selalu prihatin.
Manfaatkan harta kita untuk memberi dan menolong orang lain yang sangat
butuh pertolongan dan bantuan, agar tangan kita lebih mampu
“telungkup”, agar jangan sampai kita menjadi orang-orang fakir yang
telapak tangannya selalu tengadah dan menjadi beban orang lain.
8. Kembang setaman
ditaruh dalam mangkok/baskom isi air mentah. Jika ingin menambah dengan
dupa ratus / semacam “dupa manten” bisa dibakar sekalian pada saat
merapal doa dan japa mantra.
Setelah seluruh uborampe bancakan weton
selesai dibuat. Seluruh ubo rampe bancakan diletakkan di dalam kamar
yang sedang dibancaki weton. Selanjutnya dirapal mantra dan doa,
usahakan yang merapal mantra atau doa seorang pepunden anda yang masih
hidup. Misalnya orang tua anda, bude, bulik, atau orang yang anda
tuakan/hormati. Adapun doa dan rapalnya secara singkat dan sederhana sbb
:
“Kyai among nyai among, ngaturaken pisungsung kagem para leluhur ingkang sami nurunaken jabang bayine…. (diisi nama anak/orang yang diwetoni) mugi tansah kersa njangkung lan njampangi lampahipun, dados lare/tiyang ingkang tansah hambeg utama, wilujeng rahayu, mulya, sentosa lan raharja. Wilujeng rahayu kang tinemu, bondo lan bejo kang teko. Kabeh saka kersaning Gusti”.
(Kyai among nyai among,
perkenankan menghaturkan persembahan untuk para leluhur yang menurunkan
jabang bayi ….(sebut namanya), semoga selalu membimbing, mengarahkan
setiap langkahnya, agar menjadi orang yang berbudi pekerti luhur,
selamat dan mulia dunia akhirat. Selamat selalu didapat, sukses dan
keberuntungan selalu datang. Semua atas izin Tuhan)
Setelah bancakan dihaturkan, tinggalkan sebentar sekitar 10-20 menit lalu dihidangkan di ruang makan atau diedarkan ke para tetangga untuk dimakan bersama-sama. Demikian share saya ttg bancakan weton, semoga bermanfaat bagi siapapun yang membutuhkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar