Dalam
kitab Ramayana, alkisah ada seorang raja yang mengundurkan diri dan
diserahkan pada anaknya. Raja tersebut yang menjadi Begawan Wisrawa,
menyerahkan pada putranya Prabu Danareja di kerajaan Lokapala.
Di negeri yang lain, Alengka, diperintah oleh Prabu Sumali yang dibantu oleh adiknya Arya Jambumangli, dan puterinya yang sangat cantik sedang diperebutkan oleh para raja. Namanya Dewi Sukesih.
Di negeri yang lain, Alengka, diperintah oleh Prabu Sumali yang dibantu oleh adiknya Arya Jambumangli, dan puterinya yang sangat cantik sedang diperebutkan oleh para raja. Namanya Dewi Sukesih.
Setiap raja yang melamar Dewi Sukesih ini di bunuh (harus berhadapan
dalam perang tanding) pamannya, Arya Jambumangli. Sehingga tak ada lagi
raja-raja yang mampu mengalahkan pamanda Dewi Sukesih. Satu-satunya raja
yang masih ada ialah putera Begawan Wisrawa, Prabu Danareja. Namun raja
ini kalah kuat ilmunya, kalah kuat oleh pamanda Dewi Sukesih. Oleh
karenanya Begawan Wisrawa turun dari pertapaan. ”Ada apakah anakku,
dalam tapaku, aku melihat kegelapan. Mengapa negeri ini, yang kita
cintai, dalam kesengsaraan? Air bening untuk hidup rakyat tidak lagi
ramah. Seluruh air kembali lagi pada sumbernya di bawah samudera.
Bunga-bunga layu sebelum berkembang, buah yang ada pun tak sempat masak.
Diapakan negeri kita ini, wahai anakku?”
”Wahai
ayahanda, seluruh kehidupanku dirampas oleh cinta Dewi Sukesih, dan aku
tak mampu memikirkan bangsa ini, negeri ini. Yang kupikirkan adalah
kecantikan Dewi Sukesih”, berkata Prabu Danareja.
”Wahai
anakku, Sang Dewa marah padamu. Karena engkau telah mematikan kesuburan
negara ini dengan asmara, wahai anakku, jangan jadikan asmara ke dalam
pekerjaan yang besar. Karena asmara adalah dunia kecil yang mampu menghancurkan dunia yang besar”, kata Begawan Wisrawa.
”Wahai
anakku, jangan engkau melihat kebenaran-kebenaran yang ada di muka bumi
ini, melalui perasaan asmaramu. Keluhuran nilai akan ternoda, tak
bermakna, manakala diteropong oleh perasaan asmaramu. Namun demikian,
aku ayahmu pernah merasakan perasaan asmara. Biar aku yang melamarkan,
menyunting Dewi Sukesih. Ayahnya adalah sahabatku. Cintaku untukmu wahai
anakku, biarlah aku, ayahmu mewakili datang ke kerajaan Alengka.”
Sesampainya
Begawan Wisrawa di kerajaan Alengka, kebahagiaan batin dari raja
Alengka, Prabu Sumali, menyatu dalam pelukan mesra dengan sahabatnya.
”Wahai sahabatku Prabu Sumali, ada apakah? Kesenduan di matamu tak mampu engkau sembunyikan”, bertanya Begawan Wisrawa.
”Wahai sahabatku Prabu Sumali, ada apakah? Kesenduan di matamu tak mampu engkau sembunyikan”, bertanya Begawan Wisrawa.
”Wahai sahabatku Begawan Wisrawa, gara-gara anakku, darah para raja harus mengalir di negeri yang kucintai ini, Alengka.”
”Karena itu aku datang untuk menyunting puterimu, untuk anakku.”
Maka dipanggillah Dewi Sukesih oleh ayahandanya, dan diceritakan akan disunting oleh seorang raja dari Lokapala.
Maka dipanggillah Dewi Sukesih oleh ayahandanya, dan diceritakan akan disunting oleh seorang raja dari Lokapala.
”Wahai
ayahku, aku mau dikiwini oleh seorang raja atau oleh orang miskin
sekalipun. Asal mampu memedarkan, menerangkan Sastra Jendra Hayuningrat
Pangruwating Diyu.”
”Wahai
puteri sahabatku, calon suamimu, anakku, takkan mampu. Dan siapapun
takkan mampu menerangkan Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu,
kecuali aku. Harus kutebus makna ini dengan meninggalkan gemerlap
kekayaan dan kekuasaan sebagai raja. Namun demikian, biarlah, untuk
anakku dan untuk aku, akan aku pedar Sastra Jendra tersebut”, kata
Begawan Wisrawa kepada putri Prabu Sumali sahabatnya.
Berkata Begawan Wisrawa pula pada sahabatnya, Prabu Sumali,
”Wahai sahabatku, akan aku bawa puterimu, siapkan tempat, sebuah taman sunyi yang hanya ada bunga Kenanga.”
”Wahai sahabatku, akan aku bawa puterimu, siapkan tempat, sebuah taman sunyi yang hanya ada bunga Kenanga.”
Maka
Begawan Wisrawa membawa Dewi Sukesih. Manakala masuk ke taman yang
indah, Begawan Wisrawa memandang Dewi Sukesih dengan kecintaan seorang
ayah pada anaknya.
”Kesinilah
putriku.” Saat itu pula Dewi Sukesih merasa berdiri di bumi ini, dan
dunia ini hanya ada di telapak kaki Dewi Sukesih dan Begawan Wisrawa,
serta mampu menggapai bulan yang ada, tidak hanya satu, tapi tiga.
”Wahai
Dewi Sukesih, engkau mampu menggenggam bulan. Keanggunan dan kemolekan
bulan sejak dulu selalu menghina dan memperkecil makna duniawi. Namun
dihadapanmu wahai putriku, sang bulan meronta. Cahayanya engkau ambil
alih ke dalam jiwamu.”
Saat
itu pula, Dewi Sukesih merasa retak hatinya. Sakit yang tiada sebab,
seperti benci pada seseorang tapi tak ada orangnya. Resah oleh sesuatu
tapi tak ada kesalahan, kesal akan sesuatu tapi tidak tahu sebabnya.
Emosi bergemuruh dalam diri Dewi Sukesih!
”Wahai
putriku, jangan engkau membiarkan gejolak emosimu menjadi tuan di dalam
dirimu. Bulan yang angkuh tak berdaya, karena engkau ambil alih
kemolekannya, dan energinya kembalikan pada bulan. Wahai puteriku,
engkau tak mampu menerima kemolekan bulan, karena sang rembulan,
cahayanya menjadikan bunga-bunga berkembang, menjadikan
binatang-binatang memadu cinta, maka berkembanglah keturunan kelestarian
alam ini oleh cahaya kekuatan rembulan. Jangan kau ambil alih kedalam
jiwamu. Engkau adalah yang berdarah dan berdaging. Manakala kau
menyimpan cahaya rembulan di dalam jiwamu, berarti engkau merampas hak
hidup bagi hewan dan tumbuh-tumbuhan. Itulah sebuah permulaan dari
Sastra Jendra, wahai puteriku.”
Maka
Dewi Sukesih dengan kekuatan bathinnya, mengusir luka didalam
bathinnya, kesakitan dalam perasaannya. Bulan yang redup, terampas
cahayanya oleh Dewi Sukesih, kembali bersinar terang.
”Wahai
Puteriku”, berkata Begawan Wisrawa, ”Sastra Jendra adalah bukan
kata-kata, Sastra Jendra bukan kalimat, Sastra Jendra adalah ’sesuatu’
yang mempunyai wadah, tapi ada di alam dunia ini. Ada di bumi ini, ada
dalam cakrawala dan ada dimanapun. Tapi Sastra Jendra tak mampu
tertampung karena wadahnya belum ada.”
Manakala
Begawan Wisrawa mengakhiri kata-kata ini, mengangkasalah keduanya, ke
suatu tempat yang sangat jauh. Sampailah ke suatu tempat yang sunyi,
mencekam!
”Wahai
Puteriku, jangan menjerit, karena disini tiada siapapun. Tiada orang
yang bisa dipanggil, tiada apa-apa tempat berpijak. Tidak ada sesuatupun
permasalahan.”
”Wahai
puteriku, disini kita tidak memiliki dan disini kita tidak dimiliki.
Dan engkaupun disini tidak lagi memiliki dirimu sendiri. Dirimu yang
berdarah dan berdaging, dirimu yang berjiwa dan berperasaan, adalah
ketiadaan.” Demikian sang Begawan bertutur.
”Kita
dalam ketiadaan, rasakanlah anakku, manakala engkau kehilangan rasa
memiliki, termasuk dirimu sendiri. Kita dalam kematian. Kematian adalah
melepasnya rasa memiliki. Dibalik kematian justru ada kehidupan yang
sejati. Kehidupan yang tidak dapat lagi dialas oleh definisi, kehidupan
yang tidak mulai dari awal dan tidak berakhir dari satu batasan. Itulah
Jatining Hurip.”
”Wahai
anakku, kematian adalah sebenarnya sebuah proses kehidupan yang lebih
luas dari proses kehidupan sebelumnya, kita berada dalam kehidupan yang
sejati. Tenang dan tentram, karena merasa tidak dimiliki dan tidak
memiliki”, demikian sang Begawan.
”Wahai
Puteriku, manakala engkau merasa memiliki, engkau akan menggugat pada
yang engkau miliki. Dan merasa engkau dimiliki, engkaupun akan digugat
oleh mereka yang merasa memiliki dirimu. Kini kita merdeka, kemerdekaan
bathin dan perasaan yang tiada batas.”
”Wahai Begawan, dimanakah dewa-dewa?”
”Di
sini tidak ada dewa, wahai Puteriku. Dewa pun tiada, hanya kita.
Manakala engkau ingat pada dewa, berarti kita masih ’merasa’ ingin
memiliki. Dewa pun tidak ada, hanya kita berdua.”
Maka
Dewi Sukesih merasa tenang dan tenteram. Ketenteraman yang sangat
tinggi dan indah, kesejukan bathin yang tiada tara. Maka mereka masuk
lebih jauh lagi.
”Mari kita masuk lebih jauh ke angkasa ketentraman.”
”Kita akan kemana? Bukankah kita sudah sampai ke alam ketenteraman, wahai Begawan”, tanya Dewi Sukesih”.
”Belum, diatas ketenteraman ada ketenangan, diatas ketenangan ada kemegahan kesejukan. Itu tidak terbatas, wahai Puteriku.”
”Dimanakah puncaknya, wahai Begawan?”
”Puncaknya, ada didalam cinta. Kita menuju cinta, wahai Dewi Sukesih.”
Maka sampailah ke suatu perbatasan. Alam cinta dimasuki.”
”Anakku, kita masuk ke Sastra Jendra. Tiada alam diciptakan oleh Illahi, kalau bukan karena cinta.
Manusia dan hewan tidak mungkin ada tanpa cinta. Alam raya takkan
tercipta tanpa cinta. Kita masuk, wahai anakku ke dalam cinta. Itulah
Sastra Jendra.”
Masuklah
mereka ke alam cinta. [Dalam Islam, masuk ke alam Ar-Rohman]. Masuklah
Dewi Sukesih ke alam cinta. Maka jiwa bukan lagi terbatas oleh rasa
tenteram, dibatasi oleh rasa tenang saja. Tetapi jiwanya tiada.
Ketenteraman melampaui Kebahagiaan. Tiada lagi dikatakan bahagia, tiada
lagi dikatakan nikmat, tiada lagi dikatakan enak. Diatas segalanya.
Maka
gelombang cinta itu menyibakkan rambut Dewi Sukesih yang berkonde.
Rambut terurai, bergelombang begitu indah terhempas cinta. Cinta, bisa
dirasakan, tapi tak bisa dilihat. Cinta, bisa dinikmati tidak melalui
kulit dan daging. Karena saat itu, Dewi Sukesih tidak lagi memiliki
dirinya sendiri. Cinta yang sesungguhnya, bisa diraba oleh sesuatu,
manakala manusia kehilangan eksis fisiknya, eksis fikirannya dan
eksisnya. Maka di alam itu, mengalirlah sungai yang bening. Sungai tak
bernama sebagaimana sungai Eufrat, sungai Nil ataupun sungai Ciliwung.
Namun sungai itu bening, sungai mengalir membawa energi cinta, kasih
sayang.
”Wahai
Puteriku, lihatlah sungai. Waktu tidak lagi bergerak, tapi waktu
bergerak dibawa oleh kita. Seperti sungai yang melepas air-airnya, dia
tetap diam. Waktu harus kita gerakkan, bukan kita yang digerakkan oleh
waktu, wahai anakku. Walaupun sungai itu diam, tapi selalu baru.
Kehidupan, wahai anakku, harus tetap baru. Usia menguasai kita, tapi
kita akan tetap baru, jiwa kita dan perasaan kita. Kita tidak boleh
harus tua oleh waktu, kita harus tetap muda, walau kita dirongrong oleh
waktu. Kekuatan cinta tidak lagi termakan oleh usia. Tua dan muda, gagal
menggoyangkan kemurnian cinta itu sendiri.” Demikian Begawan berkata
pada Dewi Sukesih.
”Namun
demikian sungai menurun, tidak pernah menanjak, wahai anakku. Lihatlah
kehidupan. Kita jangan cari yang menanjak. Kita harus seperti sungai
yang mengalir tanpa beban. Berbelok-belok dihimpit oleh gunung. Biasa,
kehidupan harus terhimpit namun sekecil apapun himpitan gunung, sungai
tetap mengalir, walaupun melalui celah-celah yang sempit.” lman tetap mengalir walau himpitan persoalan hidup seperti gunung yang menggencet.
”Wahai
puteriku, jangan kalah, ngalirlah tetap. Kehidupan tetap mengalir.”
Maka masuklah ke alam yang baru, lebih tinggi lagi. Di sana mereka tidak
melihat masa lalu. Masa lalu tidak ada!
”Wahai Begawan, dimanakah aku waktu dilahirkan? Aku waktu remaja, saat bermanja pada Ayah dan Ibu?”
”Wahai
Puteriku, masa lalumu tidak ada. Di sini tidak ada masa lalu, disini
tidak ada bedanya. Masa lalu adalah kehidupan dunia. Di sini tidak ada
masa lalu.”
”Wahai Begawan, manakah masa depanku?”
”Di
sini tidak ada masa depan. Masa depan adalah kehidupan dunia, karena
manusia dunia dirancang untuk bercita-cita, melihat masa depan. Dibangun
oleh keinginan maka melihat masa depan, dibentuk oleh rencana kerja. Di
sini Puteriku, tidak ada masa depan. Kita tidak ada lagi rencana
keinginan, apa dan bagaimana. Di sini adalah keberadaan yang
sesungguhnya. Bumi adalah bayang-bayang kita dalam kehidupan. Itulah
Puteriku”, kata Begawan Wisrawa.
“Kalau
demikian, wahai Begawan, apakah ’kerinduan’? Sedangkan aku merindukan
masa depan yang lebih baik. Masa depan adalah kerinduan, dimanakah
kerinduan. Ditempat ini tidak ada, wahai ayahku.”
”Wahai
Puteriku, Kerinduan di sini tidak ada. Tapi ada dalam bathinmu dan
jiwamu. Kerinduan akan sesuatu, ada dalam jiwamu. Dan dalam jiwamu lebih
besar, lebih agung, lebih hebat dari alam ini, wahai anakku. Itulah
Sastra Jendra. Sastra Jendra adalah kerinduan yang tersembunyi dalam
bathin. Kerinduan bukan kepada anak isteri, kerinduan bukan pada suami,
kerinduan bukan pada kekasih, kerinduan bukan pada harta dan kekuasaan.
Kerinduan kepada sesuatu, dimana sesuatu itu pun kita tidak tahu. Itulah
Sastra Jendra, wahai anakku.”
Kerinduan
ini dalam Islam dikatakan sebagai kerinduan dalam Nurani. Nurani yang
ada pada setiap manusia yang dilahirkan ke dunia. Dalam Al-Qur’an,
”Bahwasanya setiap bayi yang dilahirkan berfitrah Islam, adapun kalau
dia jadi Nasrani, Majusi dsb, itu adalah kesalahan orang-tuanya.” Fitrah
Islam/Nurani, inilah yang menjadi dasar lman bagi setiap manusia.
Maka,
”Wahai Puteriku, bila engkau merindukan sesuatu, jangan disini. Di sini
tidak ada masa lalu dan masa depan. Di sini tidak ada keinginan dan
harapan. Kembalilah kepada hati, wahai Puteriku. Hatimu yang ada
kerinduan.”
Dalam
Al-Qur’an, surah 2l:l3, ”Janganlah kamu berlari dan tergesa-gesa,
kembalilah kamu kepada nikmat yang telah kamu rasakan dan kepada
tempat-tempat kediamanmu (yang baik) supaya kamu ditanya”
”Masuklah kembali ke dalam hati, di sana ada kerinduan. Di sana ada kehidupan yang sesungguhnya, wahai Puteriku.”
Maka
sang Dewi masuk ke dalam bathinnya sendiri, ke dalam perasaannya
sendiri. Maka dijemputlah sang Dewi oleh cahaya gemilang, gemerlap sinar
yang keindahannya melampaui cahaya matahari. Dan seluruh cahaya
matahari di alam raya padam, tiada arti oleh cahaya yang datang dari
bathinnya sendiri.
”Wahai Begawan, cahaya apakah itu?”
”Wahai Begawan, cahaya apakah itu?”
”Itu adalah cahaya dari yang engkau rindukan. Itulah Sastra Jendra, wahai Puteriku.”
anakala
cahaya tersibak, disana ada Kebijaksanaan, kebijaksanaan yang
tersembunyi, kebijaksanaan yang tersimpan dari ribuan lapis perasaan
hati. Kebaikan hati, keikhlasan, kepasrahan, itu adalah membentang rapat
menutupi Kebijaksanaan.
”Wahai
Puteriku, sibaklah hati pasrahmu, Puteriku, sibaklah hati kebaikanmu,
sibaklah hati keikhlasanmu maka ada Kebijaksanaan. Kebijaksanaan ada di
tempat yang paling dasar dari sibakan keikhlasan. Sibaklah hati yang
baik.”
”Mengapa demikian wahai Begawan?”
”Karena kebijaksanaan adalah tetesan dari kesakitan yang tak mampu lagi menimbulkan luka.
Dari kesakitan yang tidak lagi memberikan hujan duka. Dari tetesan
kesenangan yang tak mampu lagi menggembirakan. Kegembiraan dan duka,
punah! Itulah kebijaksanaan, wahai Puteriku. Itulah Sastra Jendra.”
”Kebijaksanaan”,
kata Sang Begawan, ”Seperti malam bersayap siang, seperti siang
berparuh malam. Seperti kematian yang berkafankan kehidupan. Seperti
kehidupan yang berselimutkan kematian. Rembulan di siang hari, matahari
di malam hari, itulah kebijaksanaan. Itulah Sastra Jendra, wahai
Puteriku.”
Sang
Dewi pun tenggelam dalam kebijaksanaan. Di alam itu, sang Dewi muncul
lagi rasa sengsara yang tak bertepi. Rasa duka yang luar biasa, Namun,
manakala rasa kesakitan yang tinggi, muncul dalam jiwanya, tiba-tiba,
tanpa proses. Tenang…senang yang melonjak! …..Terus demikian! Antara
sakit dan senang diubah tiba-tiba. Proses psykologi yang tak mampu
menampung perubahan yang sangat hebat. Dari sakit ke senang, dari duka
ke tenang, dari resah ke aman, tiba-tiba. Terus demikian berganti-ganti.
”Wahai Begawan, apakah ini?”
”Ini
adalah tangga-tangga menuju jagad raya, yang tak bertepi. Kita datang
ke suatu tempat, Sumber Pencipta Alam Raya ini. Anakku, tangga-tangganya
berlapis kesengsaraan yang tidak terhingga dan kebahagiaan yang tak
terhingga.” Sang Dewi pun masuklah.
Manakala
jiwanya tak terkecoh oleh duka dan senang, oleh rasa dan tenteram.
Masuklah ke suatu alam, dimana di alam ini semuanya tidak ada lagi
proses permulaan dari kejadian. Proses awal dan akhir. Maka Sang Dewi
merasa malu kepada dirinya sendiri. Yang tadinya bangga dengan dirinya,
bangga dengan kecantikanya. Saat itu, sang Dewi malu pada dirinya
sendiri dan malu kepada alam, keadaan alam saat itu.
”Wahai Begawan, aku malu pada diriku.”
”Wahai
Puteriku, manakala engkau malu pada dirimu berarti engkau kembali
kepada kehidupan yang sesungguhnya. Manakala engkau malu pada alam ini,
engkau sebenarnya kembali pada sumber awal kehidupan. Engkau berangkat
dari sini, wahai anakku, dilahirkan ke bumi.”
”Aku pun malu yang tidak mengerti”, berkata sang Dewi.
”Wahai
Puteriku, pengertian malu adalah malu pada Penciptamu. Ada disini
Pencipta kita, kita tidak bisa melihat. Tapi kita ada dalam genggaman
sang Maha Pencipta. Kita sedang berenang di Samudera keillahian, wahai
Puteriku.”
Tidak
lama kemudian, Dewi Sukesih menemukan keindahan, keindahan sebuah
permulaan. Dimana segala sesuatu tidak lagi melalui pengertian.
Pengertian yang tidak perlu dipelajari.
Pengertian tidak perlu dipelajari, perasaan-perasaan rasa tidak lagi harus dibuat. Dia sampai pada puncak keindahan tiada tara.
”Wahai
anakku, kita sudah sampai pada puncak kebahagiaan. Tiada lagi
kebahagiaan selain di tempat ini, wahai anakku. Kebahagiaan yang tak
bisa dipetik dengan ilmu. Kebahagiaan ini, tak bisa dipetik, dipanen
dari amal ibadah. Kebahagiaan yang bukan dipetik dari pengorbanan.
Itulah puncak kebahagiaan.”
”Wahai Begawan, bilamana kebahagiaan ini yang bukan dipetik dari pengorbanan, apakah itu?”
”Itu
adalah ’Hayuningrat’ anakku, Sastra Jendra Hayuningrat. Hayuningrat
adalah kebahagiaan bukan yang dirintis dari keinginan berbuat baik, tapi
Hayuningrat adalah ’Izin Illahi’ dalam memberikan sesuatu. Bukan
keinginan kita, bukan jerih payah kita, Kehendak-Nya. Itulah Sastra
Jendra Hayuningrat, wahai anakku.”
Hayuningrat
adalah penyerahan diri total. Kebahagiaan yang begitu meresap ke dalam
jiwa sang Dewi. Maka muncul kebahagiaan baru yang berlapis-lapis. Tambah
mengangkasa tambah indah. Ternyata kebahagiaan pun berlapis-lapis tak
bersisi, kebahagiaan yang tak ada limitnya.
”Wahai Begawan, kita menuju kemana?”
”Kita arungi kebahagiaan yang tak bertepi.”
”Apakah…..apakah ada tempat puncak?”
”Ada, puncak kebahagiaan.”
”Bagaimanakah cara sampai ke sana, wahai Begawan”,
”Wahai Puteriku, adakah sisa perasaan dalam hatimu untuk dipersembahkan?”
”Ada.”
”Apa?”
”Aku rindu kepada Tuhan.”
Dewi
Sukesih merasakan, kebebasan sebebas-bebasnya tanpa rasa kekangan dari
perasaannya sendiri. Artinya, setiap manusia mengalami himpitan dalam
mengarungi kehidupan. Namun saat itu, Dewi Sukesih terbebas dari apapun
yang menghambat dalam perasaannya. Dia terbang di alam Yang Maha
Merdeka, Maha Sentosa, Gemah Ripah Loh Jinawi. Angkasa kebebasan yang
sangat demokrasi.
”Wahai Puteriku, terbanglah sejauh-jauhnya, kepakkan sayapmu.”
Maka Dewi Sukesih terbang yang sebebas-bebasnya, seperti merpati yang mengarungi angkasa luas.
”Namun
Puteriku, jangan terlalu jauh dalam terbang. Sejauh-jauh merpati
terbang, akhirnya akan lelah jua. Sebelum lelah engkau harus kembali.”
Dewi
Sukesih merasa sebagai manusia yang punya harkat, merasa dirinya
mempunyai makna. Betapa dekat dengan yang menciptakannya, kasih
sayang-Nya, terasa membeli jiwa. Sang Dewi merasa mendapat titah dari
Hyang Widhi, dan merasa seolah-olah dirinya tidak berhak lagi hidup di
dunia. Dirinya enggan pulang ke bumi.
”Wahai
Puteriku, jangan munculkan perasaan itu. Di sini adalah hak setiap
manusia, di sini adalah hak setiap makhluk. Namun bumi pun adalah hak
kita. Sekalipun engkau merasa tidak berhak lagi di dunia, namun fisikmu,
dagingmu masih terikat oleh hukum dunia. Kematian masih memijak alam
bumi ini. Engkau tidak akan mampu jauh di alam kebahagiaan ini, sedang
kau masih punya raga di dunia. Jangan lupakan itu”, berkata Begawan
Wisrawa.
Terus sang Dewi mencoba berusaha melupakan duniawi. Dunia terlalu hina dirasakan, niat baiknya sering dinodai.
”Wahai
Begawan, segala keinginan yang baik selalu terjegal oleh noda dunia,
aku enggan kembali ke bumi. Setiap pengorbanan yang kupersembahkan
dengan ikhlas, selalu dihina oleh mereka yang hidup di dunia. Wahai
Begawan, setiap bunga-bunga dihatiku kuungkapkan dalam kerinduan kepada
rakyat, kepada mereka, kepada yang aku cintai. Namun mereka tidak pernah
melihatku bahwa aku mempersembahkan keindahan, keikhlasan kepada
mereka. Aku muak kepada dunia yang penuh kehinaan dan kekotoran.”
”Wahai
Dewi Sukesih Puteriku, jangan engkau merasakan perasaan itu. Usirlah,
rasa menghina bumi. Karena bumi, Tuhan pula yang menciptakan, sama pula
menghina Tuhan, kalau engkau menghina dunia atau bumi. Stop gejolak
penjelajahan perasaan seperti itu. Kita masih di dua alam. Keterikatan
dengan bumi dan mengarungi hak kita di alam jagad ini.”
Namun
Dewi Sukesih nakal, tetap diarungi. Tidak mau kembali ke dunia.
Tiba-tiba keresahan bergelombang kembali. Keresahan bukan berasal dari
alam keindahan ini. Alam surga Nirwana yang maha nikmat, tetap dengan
segala keindahan dan kesempurnaan. Keresahan dan gejolak pilu datang
dari bathinnya sendiri. Resah, merasa kotor, merasa terhina, ternoda.
”Wahai
Begawan, aku merasa malu. Bukan malu seperti dulu, tapi aku malu
kehinaan diriku. Betapa aku kotor di tempat ini, aku tidak pantas di
tempat yang suci ini, wahai Begawan. Aku tidak pantas di tempat yang
Agung ini, karena aku ternoda, karena noda itu aku sendiri yang
menciptakan, wahai Begawan. Kenapa demikian wahai Begawan?”
”Wahai
Puteriku, engkau, aku, memang datang dari noda, berangkat dari noda.
Berangkat dari kesalahan, pergi menuju ke kesalahan. Kita menyimpan
jagad kesalahan dalam diri kita, walau di tengah surga yang indah ini.”
Demikian Begawan Wisrawa berkata. ”Karena itu Puteriku, engkau harus
’diruwat’, supaya Tuhan mensucikan jagad kita yang ternoda.
Pangruwating. Karena dalam jiwa kita penuh nafsu dan amarah. Angkara
murka yang tak bersisi, keserakahan yang tak berbentuk lagi. Itu harus
diruwat oleh Illahi. Pensucian jagad kita, karena kita tetap dalam
kekotoran, walau kita mengangkasa di jagad keindahan yang sangat permai,
yang sangat suci, yang sangat agung”, Begawan Wisrawa meneruskan
keterangannya.
”Marilah
kita kembali, Sastra Jendra sudah kupedar, Hayuningrat sudah kupedar,
Kita harus kembali ke bumi, segera! Supaya Hyang Widhi mensucikan jagad
kita yang sudah kelam dalam kekotoran dan noda.”
Namun
karena keindahan yang luar biasa. Terhanyutlah sang Dewi Sukesih dengan
Begawan Wisrawa sendiri, hingga sampai ke gerbang Kahyangan, pintu
surga, pintu Nirwana, tempat para dewa bersemayam. Gerbang ini dinamakan
Sela Menangkep (Dalam Islam, gerbang Ar-Royan) pintu masuk surga.
Menjelang gerbang Sela Menangkep, maka goyanglah jagad tersebut.
Jeritan-jeritan Raksasa datang. Berjuta raksasa datang, hawa nafsu-hawa
nafsu membentuk berjuta raksasa-raksasa. Aroma bau. Bau kematian. Lebih
bau daripada mayat basah. Erang harimau raksasa. Kemarahan para raksasa
bergelombang.
”Wahai
Puteriku, raksasa itu tidak ada di jagad ini, digerbang Kahyangan ini.
Itu ada dalam jagad dirimu. Kecantikan wajahmu, itu mengerang seperti
harimau. Sesungguhnya kecantikan adalah harimau. Senyummu sebenamya
erangan harimau, keindahan tubuhmu sebenarnya raksasa yang buruk muka.
Kemarahan mereka, sebenarnya kemarahan dirimu, wahai Puteriku, yang ada
di jagad ini. Dan bau yang melampaui bau mayat yang basah, itu hatimu
sendiri. Karena manusia tak mampu melepaskan dari rasa persaingan
sesamanya, tidak mau melepaskan dari keterpenjaraan benci, kebencian.
Perbedaan kebenaran saja, walaupun kebenaran yang sama, itu menimbulkan
kebencian. Itulah bau yang sangat buruk, aroma mayat yang rusak, wahai
Puteriku. Dan kau masih memiliki hati itu.”
Dan
tiba-tiba muncul roh-roh halus, lembut, merekah beraroma sangat wangi,
melampaui aroma wangi-wangian apapun. Berpakaian manik-manik putih,
berbusana putih murni.
”Itu
tidak ada dalam jagad ini, itu ada dalam jagadmu, wahai puteriku. Itu
adalah rukhmu, kesucianmu, kelembutanmu. Engkau memiliki kemurnian dari
Rukh yang suci.”
Dan
tiba-tiba raksasa yang jahat berperang dengan rukh yang suci.
Peperangan saling mengalahkan, tiada yang menang, tiada yang kalah. Rukh
suci dikalahkan oleh rukh jahat, maka rukh suci bangun kembali
seketika. Begitu pula sebaliknya. Maka peperangan tidak lagi dibatasi
oleh kemenangan, juga tidak diakhiri oleh kekalahan.
”Wahai
anakku, itulah kehidupan dunia. Tidak akan ada yang menang dan tidak
ada yang kalah. Cepatlah kembali pada kehidupan dunia., wahai Puteriku.”
Maka rukh halus dan rukh jahat hilang, yang ada adalah jagad ketenangan dalam hatinya, Kemudian muncullah kekuatan, berupa sinar yang datang dari dada Dewi Sukesih.
Maka rukh halus dan rukh jahat hilang, yang ada adalah jagad ketenangan dalam hatinya, Kemudian muncullah kekuatan, berupa sinar yang datang dari dada Dewi Sukesih.
”Puteriku,
itulah Kencana Rukmi. Diantara keinginan menang, diantara takut kalah,
ada sesuatu yang netral. Yang tidak ingin menang dan tidak ingin kalah.
Itulah Kencana Rukmi dalam dadamu. Kencana Rukmi inilah tempat paling
aman, tempat yang paling menyelamatkan. Di sini di Kahyangan engkau
tenteram dan aman. Di bumi pun dengan Kencana Rukmi ini kamu akan
selamat.”
[Dalam Islam, Kencana Rukmi adalah Taufik, Hidayah, Irsyad dan Tasydid].
Kencana
Rukmi, mengikis habis keresahan di malam.hari, kekelaman jiwa dalam
kegelapan. Kencana Rukmi memotong harapan-harapan illusi dari sebuah
harapan kosong tentang kenikmatan. Kencana Rukmi membenarkan kenyataan
haq dan menyalahkan kebenaran semu. Karena Kencana Rukmi, laksana sinar
yang datang dari sumber Illahi, tembus sampai ke dasar bumi.
”Ikutilah
wahai Puteriku, cahaya itu. Kencana Rukmi alat untuk mengarungi
kehidupan. Cahaya dari ALLAH, cahaya Illahi yang sampai ke dasar hati.”
[Dalam Islam, Ihdinas shirothol Mustaqim].
Begawan
Wisrawa dengan Dewi Sukesih tambah tinggi-tambah tinggi, mengarungi
lapisan-lapisan kebahagiaan yang tiada tara, melampaui ketenteraman dan
kedamaian. Makna ketenteraman dan kedamaian itu adalah ”sela” atau
batasan kecil dari rasa aman di muka bumi. Tapi dijagad tersebut, di
perbatasan alam Kahyangan, kedua orang ini terhanyut oleh alam
kebahagiaan. Di mana alam kebahagiaan ini memiliki satu kenikmatan yang
tak terhingga, walau masih kosong atau sepi dari energi Ke-Illahi-an.
Berarti alam Kahyangan atau alam surga adalah jagad nikmat kebahagiaan
yang mengandung energi ke- Illahi-an.
”Wahai Dewi Sukesih”, kata Begawan Wisrawa, ”Kita harus kembali secepatnya ke bumi.”
”Mengapa demikian wahai Begawan?”
”Karena
kita ini masih memiliki raga. Di sini, di alam Kesucian tidak ada
alatnya untuk mensucikan tubuh kita. Dan tiada mampu alam ini mensucikan
jagad kotor yang kita simpan dalam jiwa kita. Sekalipun dunia penuh
noda tapi di sana tempatnya ’pensucian’, tempat ’meruwat’.”
”Namun
Begawan, saya tak mampu melepaskan kerinduan yang sangat kepada sesuatu
yang ada di balik Kahyangan. Kita harus masuk ke pintu Kahyangan”, kata
Dewi Sukesih.
”Apakah
wahai Begawan, yang menarik jiwa ini untuk masuk ke Kahyangan. Walau
pikiranku tidak merindukan kenikmatan Surgawi. Tidak merindukan
kenikmatan Kahyangan. Bathinku merindukan yang menciptakan Kahyangan itu
sendiri. Apakah itu, wahai Begawan?”
”Itu
adalah ’Budi’, jawab Begawan Wisrawa, ”Budi yang ada dalam jiwa kita,
yang tersembunyi, karena Budi berangkat dari Ke-Illahi-an. Maka,
meronta, bergerak, selalu menuju pada sumber Ke-Illahi-an.”
Maka
manakala menjelang Sela Menangkep, pintu Ar-Royan, pintu surga terbuka,
dengan kegembiraan yang sangat, sang Dewi masuk. Yang tadinya Begawan
menasehati untuk mengajak pulang, sang Begawan pun tersedot untuk ingin
masuk ke pintu Kahyangan tersebut. Maka bumi berguncang-guncang, evolusi
matahari berubah, alam raya, acak! Samudera menggelegar, banyak
permukaan bumi tergenang air laut. Daratan menjadi lautan. Para raksasa
yang tadinya gagah, menangis pilu. Rukh jahat mengerang kesakitan,
meronta, memanggil-manggil Hyang Widhi. Memanggil-manggil Tuhannya. Maka
yang tadinya raksasa-raksasa dalam jagad sang Dewi pun keluar, masuk ke
Kahyangan. Menghalangi pintu-pintu Surga.
”Wahai
manusia, belum saatnya engkau meninggalkan dunia. Kasihan bumi kau
hina, kasihan bumi kau injak-injak, kasihan bumi kau lecehkan”, kata
raksasa-raksasa dan rukh-rukh jahat lainnya.
Para Dewa pun resah!
Maka
Batara Guru mengumpulkan para Dewa, para Batara dan para Bidadari.
”Jagad kita, jagad Nirwana ini mulai terancam”, kata Batara Guru. ”Ada
anak manusia mencoba masuk kesini, melalui tangga-tangga Sastra Jendra
Hayuningrat. Kita harus menutup pintu masuk ini, karena mereka belum
saatnya masuk ke Indra Prastha yang kita cintai ini.”
”Wahai Batara Guru, siapakah yang datang?” bertanya Batara Narada.
”Dua anak manusia, perempuan dan laki-laki”, jawab Batara Guru.
”Wahai
Batara Guru, kita tidak perlu resah. Tempat kita Kahyangan ini mana
mampu dimasuki oleh manusia sebagai perempuan dan laki-laki. Di sini
tidak ada batasan perempuan dan laki-laki, kita tidak perlu resah. Dua
manusia itu belum saatnya masuk Kahyangan”, Batara Narada melanjutkan
keterangannya, ”Karena walaupun mereka sudah masuk ke Sastra Jendra,
tetapi di balik hatinya yang terdalam masih merindukan dosa-dosa, masih
merindukan noda-noda. Walaupun mereka sudah hening dari
kerinduan-kerinduan itu sendiri.”
”Wahai Dindaku”, berkata Batara Guru pada isterinya, Betari Uma.”
”Bagaimanakah pendapatmu, tentang dua orang yang mencoba memasuki Kahyangan ini?”
”Wahai
Kakandaku, walau aku wanita tapi di sini aku kehilangan kewanitaanku.
Karena kewanitaanku sudah kukorbankan dalam Sastra Jendra yang panjang.
Aku dihadapanmu wahai suamiku, bukan lagi feminim. tapi aku adalah aku
sebagai sumber awal kehidupan”, jawab Betari Uma.
”Dan bagaimanakah dengan Dewi Sukesih yang mencoba masuk ke Kahyangan ini?”
”Biarlah,
dia masih membawa keangkuhan wanita, sang Begawan pun masih membawa
keangkuhan pria. Bukankah Nirwana ini dibentengi oleh keangkuhan rasa
wanita dan keangkuhan rasa lelaki? seperti aku, wahai suamiku. Sewaktu
aku pernah ke bumi”, kata Betari Uma selanjutnya, ”Perempuan di puncak
keanggunannya, di puncak kesuciannya. Taman bunga di jiwanya, taman
bunga di dagingnya, taman bunga di perasaannya. Bunga-bunga Menur
tercuri oleh lelaki. Maka wanita tak merasa tercuri kesuciannya oleh
lelaki. Bunga Menur, aku pun tercuri oleh lelaki saat di bumi. Namun aku
tak mampu, tak bisa, merampas bunga Menur. Karena keperawanan bukan dua
kali, hanya sekali. Keperawananku dicuri lelaki. Seperti seorang gadis
yang tidak tahu, bunganya telah dicuri dari Taman hatinya. Rasa ego
wanita, merasa tak tercuri kesuciannya. Karena rasa ego wanita, dirinya
harus mempersembahkan kepada sang suami. Itulah cinta yang aku rasakan
sebagai penduduk bumi, wahai suamiku.”
”Begitupun
seorang lelaki, wahai isteriku”, berkata Batara Guru, ”Setelah mencuri
bunga Menur dari Taman hati seorang wanita, seperti lebah yang
kehilangan sengatnya. Jangan harap mereka mampu menikmati Surga, karena
mulutpun mereka tak punya, [Hal ini harus disimak dari kejadian ”Tragedi
qolbi”]. Lelaki datang ke surga mau menikmati kenikmatan Surgawi, namun
seperti kumbang yang datang pada bunga raksasa penuh madu, tapi tak
punya alat untuk menghisap. Karena isapannya cuma satu, sudah
digunakannya untuk mencuri bunga Menur dari taman hati seorang gadis.”
”Dimanakah
Sastra Jendra wahai suamiku? Manakala seorang wanita kehilangan bunga
Menurnya, dan saat lelaki kehilangan sengatnya?” ”Sastra Jendra tetap
ada”, jawab Batara Guru, ”Menunggu sampai mengerti, kenapa kehilangan
bunga Menur dan kenapa kehilangan sengatnya. Tetap tidak berakhir
kesempatan untuk meraih Sastra Jendra, wahai isteriku.”
Maka
seluruh makhluk di alam raya, berbondong-bondong datang. Diantaranya
ada Warudoyong, Pocong, Singabarong, Jerangkong (rukh-rukh yang belum
sempat memiliki fisik).
Warudoyong adalah sejenis rukh yang mendambakan fisik, untuk makan tidur.
Singabarong, perlu fisik untuk menyatakan cintanya, untuk menyatakan kebenciannya.
Singabarong, perlu fisik untuk menyatakan cintanya, untuk menyatakan kebenciannya.
Pocong
adalah bentuk rukh yang mendambakan fisik, daging dan darah, supaya
kelaminnya bisa kimpoi, untuk menikmati seksual. Mereka merasakan
sensual, tapi tak punya kelamin karena tak berfisik.
Jerangkong, perlu fisik untuk bisa menyayangi, untuk bisa membunuh, untuk bisa menyiksa sesamanya.
Adapun rukh-rukh marakayangan, yang pernah hidup di dunia, namun kematiannya masih membawa nafsu secara sempurna.
Brakasaan,
Banaspati, Gandarwa dan seluruh rukh-rukh baik yang tidak punya fisik,
yang pernah punya fisik, rukh-rukh marakayangan, para diyu dan para jin,
kumpul. Demonstrasi!
“Wahai
Sang Dewa Batara Guru, jangan biarkan dua anak manusia ini masuk,
karena kalau mereka masuk dunia akan hancur. Kami belum siap memiliki
daging dan darah, wahai Dewa Batara”, berkata rukh-rukh yang belum
sempat mempunyai fisik.
”Wahai
Dewa Agung, jangan biarkan dua anak manusia ini masuk, karena aku masih
ingin lahir kembali ke dunia. Walau sempat hidup di dunia, aku tidak
bosannya bergumul dengan darah dan daging. Itu adalah kenikmatanku”,
kata rukh-rukh marakayangan.
Maka
darah-darah pun mengalir, darah yang aromanya bau, hitam dan kelam
berkata, ”Wahai sang Dewa, kami adalah tetesan dosa , kami menangis.
Walaupun dunia tidak hancur, manusianya kehilangan kerinduan kepada aku.
Bukankah wahai sang Dewa, kerinduan seksual adalah menghisap darah,
Kerinduan kelamin adalah penyimpanan darah? Bukankah memakan harta yang
lain adalah menghisap darah, dan mengkhianati yang lain adalah berenang
dalam darah? Kami adalah darah-darah yang masih punya hak bergenang di
bumi. Jangan engkau biarkan darah tidak dirindukan lagi oleh penduduk
bumi.”
”Wahai
Kakanda”, berkata Batara Guru pada Batara Narada, ”Bagaimanakah cara
membendung mereka supaya tidak masuk ke kahyangan ini?”
”Wahai
Dindaku, Jagad Kahyangan ini akan mengusir mereka yang masih dibatasi
oleh rasa lelaki dan rasa wanita. Memang mereka sudah terbebas dari rasa
memiliki dan rasa dimiliki oleh siapapun dan oleh apapun. Tetapi mereka
dipisahkan oleh rasa ke-dewi-an dari Sukesih dan ke-resi-an dari sang
Begawan Wisrawa. Adindaku, cobalah mereka. Benarkah tidak menyimpan lagi
batasan-batasan kerinduan untuk berbuat dosa lagi. Turunlah (masuklah)
ke salah satu bergiliran”, kata Batara Narada.
Maka
masuklah Batara Guru ke diri Dewi Sukesih, masuk ke alam jiwanya
terdalam. Batara Guru tidak masuk ke jagad fikiran dan jagad rukhnya,
karena jagad fikiran adalah dunia bumi dan jagad rukh, hanya milik Sang
Hyang wenang Allah subhanahu wa ta’ala [tentang janji rukh pada Allah
swt, Q. S. 7:l72 ’wa idz akhodzna robbuka min bani aadama, qolu balaa
syahidna]
Begitu
masuk kepada sentral terdalam jiwa dewi Sukesih, muncullah perasaan
tertentu dalam diri Dewi Sukesih. Dipuncak kesucian dari jagad
perbatasan Kahyangan, Keagungan dan Kesucian memadu dengan keagungan
dari Begawan Wisrawa. Dalam pandangan Dewi Sukesih, betapa gagah, betapa
agung, betapa indah akhlak yang dipancarkan oleh sang Begawan.
Menimbulkan kekaguman yang sangat dalam pada perasaan sang Dewi sebagai
wanita.
Keagungan
jagad Nirwana yang suci, memberi sentuhan keagungan dari sikap Begawan
Wisrawa. Maka terlihatlah laksana Dewa Batara Kamajaya, simbol
kesempurnaan seorang lelaki (nabi Yusuf as, dalam Islam). Muncullah
cinta asmara yang hebat pada sang Begawan, cinta dari anak ke Bapak,
punah! Yang ada hanyalah sebagaimana cinta wanita pada pria.
Rontaan-rontaan perasaan ini tidak kuat untuk diungkapkan.
”Wahai
Begawan, Aku cinta padamu. Betapa engkau mempesona aku, betapa
bertambah indahnya alam ini dan betapa bahagianya jiwa ini, sentuhlah
kulitku ini, wahai Begawan.” Sang Begawan pun tersentak kaget!
”Dewi
Sukesih anakku!….. Aku datang untuk anakku Danareja. Oh, Dewi Sukesih,
kenapa pipimu yang merah dan indah itu harus dipoles oleh kembang api
neraka? Dan alismu yang hitam, harus dihitamkan oleh abu neraka? Kulitmu
yang halus, mengapa harus diperhalus oleh awan-awan nafsu yang kuning?
Yang menyorot tubuhmu yang kuning.”
Maka pada saat Begawan Wisrawa bicara demikian, Dewi Sukesih kembali kepada jagad kesuciannya.
”Mohon
ampun Begawan….. Mohon ampun raja Dewa. Aku tidak mengerti, kenapa
tumbuh perasaan seperti itu. Dan akupun sadar, betapa aku belum pantas
untuk masuk ke Nirwana yang Suci”, berkata sang Dewi dengan
terbata-bata.
Begitu
kesadaran kesucian dari sang Dewi muncul, Batara Guru terpental dari
jagad jiwa Dewi Sukesih yang tersembunyi. Ternyata kekuatan yang
terpancar dari kesucian bathin, lebih hebat, lebih sakti dari segala
macam ilmu dan kesaktian apapun. Bahkan Batara Guru, seorang Dewa, bisa
terpental! Dalam keterpentalannya, Batara Guru bicara dari jarak jauh
kepada kakandanya, Batara Narada.
”Wahai
Kakanda, betapa hebat kekuatan yang ada dalam kesadaran yang tinggi
dari jagad bathin Dewi Sukesih. Memang pantaslah dia menjadi bidadari
Surgawi. Pantas Dewi Sukesih menjadi raja dari segala Bidadari.”
”Memang
benar wahai Dindaku”, kata Batara Narada, ”Dewi Sukesih lebih cantik
dari semua Bidadari yang ada di Surga. Karena, bilamana manusia bumi
mampu mencapai ketinggian harkat, itu melampaui kecantikan dan keindahan
penghuni Surga itu sendiri. Manakala anak manusia mencapai ketinggian
harkat yang suci dalam keikhlasan, suci dalam kepasrahan, suci dalam
rasa memiliki dan dimiliki. Itu adalah lebih tinggi harkatnya dari harga
Nirwana itu sendiri, harga Surga itu sendiri”, Batara Narada
menerangkan.
Perasaan
cinta sang Begawan sebagai seorang ayah, ternyata telah menyelamatkan
dirinya dari belaian maut cinta asmara. Dan ternyata kalau cinta, suami
isteri telah membuahkan anak, seharusnya ”menambah” kokoh cinta yang
ada. Sehingga apabila saat-saat kritis menghadang, terutama dari
hempasan badai asmara dari pihak ketiga, ataupun saat-saat kejenuhan
mencengkeram jiwa masing-masing, maka cinta kepada anak adalah kekuatan
yang agung, dalam menghadapi semua itu.
Ternyata
sang Dewa Batara Guru, dalam harkat kedewaannya, sangat menaruh hormat
atas kesucian bathinya.yang dimiliki oleh insan manusia.
”Namun
demikian…..lupakah engkau wahai Dindaku, bahwa Dewi Sukesih datang ke
tempat ini karena masalah mencari calon suami. Sekalipun sudah sampai ke
Sastra Jendra, sampai pada puncak nilai dan kesucian. Tapi berangkatnya
dari mencari suami. lkatlah keberangkatan mencari suami dengan kesucian
Sastra Jendra maka Dewi Sukesih akan ditarik kembali oleh aibnya, dari
kekuatan daya tarik bumi. Dan cobalah sekarang masuk lagi ke Begawan
Wisrawa, masuk ke pusat jagad lelanang-nya Begawan, keangkuhan
kelelakiannya, jagad kegagahannya. Munculkan tentang ’mandra guna’
kelelakiannya. Laki-laki ’Lelanang ing jagad mandra guna wiwaha’.
Sekalipun Dindaku tidak merasa memiliki, tapi engkau mampu membawa
’lelanang jagad’ pada jagad kelelakian Begawan Wisrawa.”
Maka
masuklah Batara Guru ke alam bathin Begawan Wisrawa, masuk ke pusat
jagad lelanangnya (ego maskulin), keangkuhan kelelakiannya, jagad
kegagahannya. Batara Guru terkagum-kagum melihat keikhlasan
kelaki-lakian sang Begawan. Ternyata dengan sukarela sang Begawan
memperlihatkan kekuatan jiwanya, karena mampu meninggalkan keangkuhan
kelelakiannya. Ada suatu keindahan didalamnya, keindahan karena sang
Begawan Wisrawa telah meninggalkan dirinya sebagai raja, meninggalkan
dirinya yang berkuasa atas rakyatnya. Meninggalkan dirinya yang
beristerikan seorang ratu. Dan telah meninggalkan semua unsur manusiawi,
terutama naluri seksual.
Betapa
Batara guru terpukau, terpesona, betapa indahnya! Kahyangan adalah
jagad yang penuh dengan kenikmatan nan mempesona, namun jagad bathin
sang Begawan ternyata lebih mempesona, lebih anggun.
Kekaguman
Batara Guru diketahui oleh kakandanya, Batara Narada. ”Wahai Dindaku,
kenapa engkau terpesona? Di jagad kita memang tidak ada pesona keindahan
seperti itu. Jagad itu ada di atas jagad Kahyangan ini. Itu sangat
dekat dengan Sang Hyang Wenang, sangat dekat dengan Yang Maha Tunggal,
Yang Maha Esa, Tuhan kita semua. Jagad bathin yang ada dalam dada sang
Begawan adalah jagad tertinggi dari surga. Jagad Illahi.”
”Wahai Kakanda, bagaimanakah cara aku menggodanya?”
”Engkau
begitu terpesona sehingga engkau lupa, wahai Dindaku. Kau lupa bahwa
jagad itu adanya dalam daging Begawan Wisrawa. Cobalah munculkan, jagad
dagingnya, jagad diyu-nya.” Jawab Batara Narada.
Begitu
dimunculkan jagad daging sang Begawan, bergetar syaraf-syarafnya,
muncul perasaan aneh dari sang Begawan. Terlihatlah, wajah cantik nan
rupawan Dewi Sukesih, bertambah cantik. Betapa keindahan jagad suci
kahyangan bertambah indah dengan kehadiran Dewi Sukesih. Pesona
Kahyangan pun bertambah mempesona oleh wajah dan keindahan tubuh Dewi
Sukesih. Terungkaplah rontaan perasaan yang tak bisa lagi dikendalikan.
Yang biasanya ”wahai anakku” tapi kini, ”wahai dindaku”
Dewi Sukesih tersentak, kaget!
”Wahai
Dindaku”, mengapa kita tidak manunggal ? Manunggal dalam jiwa,
manunggal dalam perasaan, manunggal dalam bathin. Manunggal dalam jagad
fikiran dan jagad raga kita. Supaya engkau meneteskan darah dari
rahimmu, supaya dunia bertambah indah oleh darah-darah yang indah.
Marilah kita lewati malam pertama dari sebuah perkimpoian, supaya
perkimpoian manusia di dunia tambah dirasakan indah. Dan menjadi dambaan
tertinggi dari harapan kehidupan dunia.”
”Wahai Begawan,
Aku melihat di matamu yang teduh, keluar mega-mega hitam dari nafsu
seluruh manusia. Mengapa engkau ambil alih semua nafsu manusia yang ada
di bumi? Yang katanya tak boleh dicela, wahai Begawan, walaupun engkau
berhasil untuk tidak menghina dunia, namun kau ambil alih noda nafsu
seluruh manusia di seluruh jagad bumi. Mengapa engkau isi mega-mega
hitam itu dengan birahi? Yang telah engkau mampu padamkan. Dan engkaupun
telah membawa obor birahi dari bumi, padahal aku tak melihat engkau
mengambilnya dari bumi. Mengapa demikian, wahai Begawan?”
Tersadarlah sang Begawan.
”Wahai Maha Dewa
yang ada di Kahyangan, betapa aku masih mensisakan rasa manusiaku, aku
tak pantas menjadi penghuni Kahyangan. Izinkanlah aku dan Dewi Sukesih
untuk segera kembali ke bumi, supaya kami tidak terjebak oleh sisa
manusiawi kami, yang temyata masih kuat, teguh menjadi raja dalam jiwa
kami.”
Begitu ada
kesadaran yang suci dari sang Begawan, Batara Guruh terpental jauh.
Tidak hanya keluar dari jagad bathin sang Begawan, namun terus jatuh di
hadapan Batara Narada di Kahyangan. Ternyata ada kekuatan yang dahsyat
dari miniatur Surga yang ada dalam jagad bathin sang Begawan.
”Wahai Dindaku,
ternyata engkau masih tetap kalah oleh mandragunanya kekuatan manusia
bumi”, berkata Batara Narada yang nampak kekagetan di paras mukanya.
”Mengapa demikian Kakanda?”
”Karena Sang
Hyang Wenang Hing Murbeng Agung, pencipta kita. Walaupun marah kepada
penduduk bumi (perpanjangan dampak tragedi qolbi), namun masih menyimpan
kekuatan kekuasaan-Nya, yang tersembunyi dalam nurani manusia. Yang
tidak diberikan kepada kita.”
”Kalau demikian Kakanda, Sang Begawan sangat pantas menjadi penghuni Kahyangan ini.”
”Lebih
dari pantas”, jawab Batara Narada, ”Lebih dari kita para Dewa, lebih
dari para Bidadari. Karena kita menjadi penghuni Nirwana ini adalah
Titis Tulis Hyang Widhi, sekalipun menolak kita tetap menjadi penghuni
Kahyangan ini. Kalau sang Begawan menjadi penghuni di sini, itu adalah
karena perjuangan dari sebuah makhluk. Yang dilahirkan tanpa harkat,
namun mampu meraih harkat. Itu adalah bagian pengembangan dari sisi lain
Kekuatan Kuasa Illahi.”
”Kalau demikian berarti Sastra Jendra Hayuningrat bukan milik kita”, kata Batara Guru.
”Benar,
kita tidak memiliki Sastra Jendra, walaupun Kahyangan ini adalah buah
dari Sastra Jendra Hayuningrat. Sastra Jendra Hayuningrat adalah milik
Hyang Widhi, milik Illahi, yang hanya diberikan kepada mereka penduduk
bumi yang mampu mengangkat harkat dirinya. Baiklah dinda Batara Guru,
sekarang engkau masuklah pada keduanya dalam kebersamaan dengan
isterimu, Betari Uma. Bercintalah kalian dengan menggunakan fisik kedua
anak manusia itu. Engkau tidak boleh lagi terpesona oleh alam jagad
bathin keduanya. Langsung saja kembalikan diyu keduanya. Kita para Dewa
punya hak dari Hyang Agung, untuk membangun ’diyu-diyu’ dalam jagad diri
manusia.”
Batara Guru pun memanggil isterinya, Betari Uma. ”Wahai kekasihku, kita akan bercinta melalui raga dari kedua orang ini.”
”Wahai
Kakanda”, berkata Batari Uma, ”Bukankah kita bercumbu di Surgawi ini
tanpa harus bersentuhan fisik? Bukankah keindahan kenikmatan Illahi
tanpa harus melewati kelamin? Dan kita tidak lagi memiliki kalamin,
kenapa harus memakai kelamin mereka? Bukankah kita akan menodai kesucian
yang telah lama kita lakukan.”
Ingatlah
tentang kemurkaan Allah swt, saat terjadinya tragedi qolbi, dimana
bahwa penciptaan alam raya dan isinya, melalui proses evolusi
(Yaa-Siin), diciptakan dari proses pembuatan ”alat kelamin”. Sedangkan
jasad Adam dikembalikan ke Sidrah, sebagai Atma. (Proses terusirnya Adam
dari Surga)
”Duhai Dindaku, ini adalah demi kesucian Nirwana. Jangan sampai tersentuh oleh darah dan daging kedua orang ini. Kita usir mereka melalui percintaan kita.”
Maka masuklah Batara Guru dan Betari Uma ke dalam jagad jiwa Begawan Wisrawa, dan Dewi Sukesih. Batara Guru masuk ke alam perasaan lelaki sang Begawan, sedang Betari Uma masuk ke perasaan kewanitaan dari Dewi Sukesih. Begitu masuk ke jagad manusiawi keduanya, maka bergetarlah seluruh syaraf-syaraf inderawi keduanya, memunculkan perasaan aneh yang tak mampu dibendung oleh kedua orang ini.
”Duhai Dindaku, ini adalah demi kesucian Nirwana. Jangan sampai tersentuh oleh darah dan daging kedua orang ini. Kita usir mereka melalui percintaan kita.”
Maka masuklah Batara Guru dan Betari Uma ke dalam jagad jiwa Begawan Wisrawa, dan Dewi Sukesih. Batara Guru masuk ke alam perasaan lelaki sang Begawan, sedang Betari Uma masuk ke perasaan kewanitaan dari Dewi Sukesih. Begitu masuk ke jagad manusiawi keduanya, maka bergetarlah seluruh syaraf-syaraf inderawi keduanya, memunculkan perasaan aneh yang tak mampu dibendung oleh kedua orang ini.
Reaksi
pertama muncul dari alam jiwa, alam pikiran dan alam fisik Begawan
Wisrawa. Dirasakan oleh sang Begawan, dirinya seperti masuk ke suatu
padang yang panjang. Dirinya sendiri menjadi kuda jantan yang gagah
perkasa, berlari-lari dengan congkaknya. Maka energi birahi sang lelaki
menimbulkan meregangnya semua syaraf dan pori-pori tubuh. Maka secara
fisik dan dalam alam fikiran, alam jiwa, sang Begawan merasa menjadi
kuda jantan yang gagah dengan otot-ototnya yang teguh serta urat-urat
yang menegang. Resah! Diterpa birahi. Semakin meregang tubuhnya semakin
keras pula keresahan yang menerpa. Melejitlah bak anak panah yang
tersentak dari busurnya, sang kuda jantan berlari dengan desah nafas
memburu dan keringat yang membanjir, mencari kuda betina! Sang kuda pun
meringkik dengan kedua kaki depan terangkat ke atas, menendang,
melompat-lompat, tak tahan atas desakan birahi yang maha tinggi,
melampaui kekuatan keikhlasan dan keimanan jiwanya sendiri.
Kuda
jantan semakin tegang, gelisah! Dalam larinya tidak saja tubuhnya yang
menegang dengan urat-urat menonjol, otot kelaminnya pun meregang pula
bersama dengan larinya kaki dipadang panjang yang terjal dan berliku.
Betapa hebat udara birahi yang menerpa sang Begawan, birahi yang tidak
pernah dirasakan, sekalipun dalam kehidupan remaja dan akil balikhnya.
Sang kuda pun turun, naik, di setiap celah-celah gunung, jurang-jurang
yang dilaluinya. Berlari terus bak kuda sembrani yang menjelajahi
seluruh padang panjang kegelisahan, dengan satu tujuan, mencari kuda
betina!
Maka
jagad perasaan manusiawi sang Begawan dirasakan lebih sempurna dari
puncak hawa nafsu manusia di bumi. Hal ini adalah disebabkan oleh Batara
Guru sedang masuk ke pusat jagad manusiawi sang Begawan dan
membangunkan, menggetarkan semua simpul syaraf dan indera sang Begawan.
Para Dewa punya hak untuk bangunkan diyu-diyu hawa nafsu yang ada dalam
jagad manusia.
Dalam
waktu yang bersamaan, Betari Uma pun membangun nuansa-nuansa imajiner
sang Dewi. Karena sesungguhnyalah bahwa birahi itu tak lebih dari
ilusi/imajinasi belaka. Cuma karena imajinasi itu datangnya dari pikiran
dan perasaan kita, maka seolah-olah itu adalah sesuatu yang nyata.
Maka
Dewi Sukesih pun seperti wanita telanjang yang sedang mandi di telaga
Taman Firdaus, telaga Nirmala. Kemudian tangan sang Dewi pun
menyentuh-nyentuh tubuhnya yang telanjang, menimbulkan erotisme yang
sangat tinggi. Lentik jemarinya pun menelusuri seluruh lekuk tubuhnya
sendiri. Maka seketika kesucian alam Sastra Jendra Hayuningrat, punah!
Bahkan sentuhan sibakan air pun mampu menimbulkan erotisme tersendiri.
Berenanglah sang Dewi di telaga Nirmala, dipetiknya bunga-bunga yang
tumbuh di atas telaga, sang bunga pun disentuh-sentuhkan pada tubuhnya,
sehingga menimbulkan erotisme yang maha tinggi, erotisme yang tidak ada
di dunia.
Ternyata
benda-benda saja sudah mampu menimbulkan erotisme yang sangat tinggi
bagi tubuh sang Dewi, tanpa apapun, tanpa kelamin laki-laki, tanpa pria!
Dan betapa hebat nafsu dari Dewi Sukesih ini. Sentuhan-sentuhan bunga
teratai surgawi menambah rangsangan erotisme sensual sang Dewi.
Ikan-ikan yang ada dalam telaga pun menyentuh dengan nakal tubuh
telanjang sang Dewi. Juga menimbulkan kenikmatan yang sangat indah dari
sebuah rasa sensual sang Dewi.
Maka
puncak sensual sang Dewi masih harus menuntut. Dan naiklah sang Dewi
dari telaga yang indah, berguling-guling di taman. Sentuhan-sentuhan
rumput di taman menimbulkan erotis yang begitu menggelitik. Dari
sela-sela taman muncullah ular besar, sang Dewi membiarkan sang ular
menghampiri, kemudian menjalar dan menjilati tubuhnya. Lilitan ular
mulai dari ujung kaki hingga lehernya, menimbulkan puncak erotisme yang
sangat sempurna. Tidak ada dimanapun. Maka sampailah ke puncak jeritan
yang begitu mempesona dari sang Dewi. Jeritan itu adalah kesadaran
betapa dirinya merindukan fisik lelaki, merindukan sentuhan lelaki,
ciuman lelaki dan terutama merindukan kelamin lelaki. Terlontarlah
erangan jerit sang Dewi.
Resah
jeritan, desah sang Dewi, berubah diri; membentuk kuda betina yang
sedang menggosek-gosek, berguling-guling, menggesek-gesek tubuhnya,
tersiksa deraan birahi!
Kuda
jantan yang memang sedang mencari kuda betina, bertemulah keduanya.
Berguling-guling bersama, saling menggigit sambil bersenggama. Pada saat
alat kelamin kuda jantan masuk ke alat kelamin kuda betina, sadarlah
sang Dewi! Sadarlah Sang Begawan! Namun segala sesuatunya sudah
terlambat.
Sempurnalah sudah tetesan dari fisik sang Begawan, puncak ketegangan kelamin yang masuk kedalam rahim sang Dewi mengeluarkan sperma. Hubungan suami isteri sempurna melampaui kenikmatan yang telah dirasakan dari semua itu.
Sempurnalah sudah tetesan dari fisik sang Begawan, puncak ketegangan kelamin yang masuk kedalam rahim sang Dewi mengeluarkan sperma. Hubungan suami isteri sempurna melampaui kenikmatan yang telah dirasakan dari semua itu.
Dalam
pada itu menjelang puncak hubungan dari keduanya, dengan cepat Batara
Guru dan Betari Uma keluar dari tubuh keduanya, lapor pada Batara
Narada.
”Wahai
Kakanda, benar! Ternyata mereka masih merindukan dosa-dosa yang
tersembunyi. Sekalipun sudah sampai ke jagad alam yang paling suci,
melampaui kesucian kita para Dewa. Mereka masih memiliki kelamin yang
ada dalam Jagad Sastra Jendra Hayuningrat. Wahai Kakanda, betapa
keagungan dan kesucian Sastra Jendra masih harus diperankan oleh kelamin
mereka. Mereka dengan kelaminnya harus kembali ke bumi.”
Sesungguhnyalah
bahwa pada saat keduanya didera oleh birahi yang maha dahsyat, semakin
tinggi birahi dirasakan oleh keduanya, maka semakin turunlah mereka dari
Kahyangan. Desah erang kejantanan sang Begawan dan jeritan kewanitaan
sang Dewi dipuncak hubungan kelamin sempurna, keduanya sudah berada di
Taman Arga Soka. Taman yang memang dipersiapkan bagi keduanya oleh Prabu
Sumali, ayahanda Dewi Sukesih.
Begitu
sadar, maka keduanya dalam keadaan tanpa busana. Reaksi pertama dari
keduanya adalah dengan cepat mengambil busana masing-masing yang
ternyata tergeletak di sebelah mereka, dan segera menutupi tubuh
masing-masing.
(Dalam Qur’an : ”………Adam dan Hawa segera mengenakan daun-daun surga untuk menutupi auratnya”).
Keduanya
pun dilanda, dicekam oleh rasa malu yang sangat! Setelah keduanya
selesai mengenakan busana masing-masing, nampaklah bahwa busana sang
Dewi, busana indah puteri seorang raja yang serba putih, penuh noda
darah keperawanan sang Dewi. Gugurlah Bunga Menur seorang gadis yang
suci.
Berkata
sang Begawan pada Dewi Sukesih, ”Wahai Dindaku, kita telah terikat
sebagai suami isteri dan kita tidak perlu menikah kembali atas
persetujuan orang tuamu. Kita tidak perlu akad nikah yang diresmikan
oleh rakyat, oleh umat. Dan kitapun malu minta kepada sang Dewa untuk
diresmikan dan disyahkan. Kita dinikahkan oleh syahwat kita. Bukan
dinikahkan oleh alam ini, bukan dinikahkan oleh orang-tua kita, dan
bukan pula dinikahkan oleh Sang Hyang Wenang, Tuhan yang Maha Esa.”
Dewi
Sukesih menangis dengan segala penyesalan, dan air mata pun berderai
tak henti-hentinya. Sementara sang Begawan tak berkata-kata, tak ada
kalimat yang menyatakan tentang mohon pengampunan dosa. Tiada kata-kata
yang menyatakan tentang rasa kebersalahan atau penyesalan dari sang
Begawan.
”Wahai Dindaku”, kata sang Begawan, dengan nada getir yang kering, ”Engkau masih untung, kesakitan jiwamu dan rasa bersalahmu masih bisa diwakili oleh derai air matamu. Tapi aku tak mampu lagi yang bisa mewakili rasa sakit dari rasa bersalah ini.”
”Wahai Dindaku”, kata sang Begawan, dengan nada getir yang kering, ”Engkau masih untung, kesakitan jiwamu dan rasa bersalahmu masih bisa diwakili oleh derai air matamu. Tapi aku tak mampu lagi yang bisa mewakili rasa sakit dari rasa bersalah ini.”
Ternyata
walaupun tak ada kata atau kalimat yang menyatakan perasaannya ataupun
derai air mata dari sang Begawan, ternyata sang Begawan lebih tinggi
rasa penyesalannya. Karena dia adalah pendeta, wali Allah, seorang ulama
yang sangat kasyaf, seorang resi, seorang pastur yang sangat suci.
Rasa
penyesalan tak lagi mampu dapat diwakili oleh perangkat apapun,
sekalipun dalam bentuk tangisan. Maka berkatalah sang Begawan, ”Dindaku,
menangislah sepuasmu sekalipun tidak akan mensucikan noda-noda kita.
Darah yang ada dalam busanamu menyebabkan semua anak manusia yang akan
datang ke dunia ini harus tercekam, terpenjara kerinduan malam pertama
pengantin. Biarlah, kita korban dari keserakahan nafsu kita sendiri.
Biarkanlah kita menjadi korban dari syahwat yang lebih besar dari
raksasa apapun. Biarkanlah kita menjadi tumbal, menanggung dosa semuanya
yang akan lahir ke dunia ini”, sang Begawan tercenung sejenak, kemudian
katanya,
”Wahai
Dindaku, sperma yang keluar dari kelaminku telah menetes dalam jagad
kewanitaanmu. Biarlah sperma itu menjadi makhluk baru dalam rahimmu,
menjadi makhluk baru yang penuh kemerdekaan. Apapun sang janin jadinya.
Kita serahkan kepada hawa nafsu yang telah kita ukir bersama. Biarlah
sang nafsu yang telah kita ukir bersama akan membangunkan janin bayi
yang ada didalam perutmu. Wahai Dindaku, kita harus siap mencintai,
merawat dan mendidik bayi-bayi yang akan lahir. Anakmu adalah anakku,
anakmu seharusnya cucuku, tapi anakmu adalah anakku. Apapun sifat dari
bayi ini, kita tak boleh mengurangi cinta kita pada mereka, kita didik
dengan segala pengorbanan tanpa harus menuntut. Sekalipun kita didik
sebaik mungkin, karena lahir dari dosa kita, kitapun tak mampu untuk
menjadikan mereka anak baik yang mendapat ridho dari sang Dewa.
Biarkanlah berkembang dengan sifat keangkaraannya, dengan penuh
kesalahannya. Biarkanlah anak kita berkembang dengan keinginannya, asal
kita mensisakan kasih sayang yang ikhlas untuk mereka. Dengan segala
perlindungan dan pendidikan. Dan baik tidaknya anak ini bukan tugas kita
lagi. Itu adalah tergantung kearifan dari Sang Hyang Widhi yang
menciptakan kita. Kitapun tak mampu berdoa untuk mohon itu, karena doa
itupun sudah mengutuk kita dari dalam perbuatan syahwat yang akan
mengukir sampai akhir dunia.”
Maka
rasa malu keduanya untuk berhadapan dengan mereka yang dicintai, harus
tetap dilakukan. Sang Begawan harus mohon maaf, harus mencium kaki
sahabatnya sendiri, Prabu Sumali. Dan harus minta maaf pada anaknya
sendiri, Prabu Danareja, sebagai raja Lokapala.
Sementara
itu di Alengka, di dalam istananya yang megah, Prabu Sumali muncul
kerinduannya yang sangat pada puterinya. Dan kerinduan yang
menggelisahkan Prabu Sumali, bersamaan dengan masuknya Betari Uma ke
dalam jagad kewanitaan Dewi Sukesih.
”Wahai
sang Dewa, mengapa puteriku yang kucintai hingga hari ini belum juga
pulang. Sedangkan Semua rakyat menunggu anakku dalam membawa oleh-oleh
dipedarnya Sastra Jendra Hayuningrat. Sekalipun darah para raja tidak
mengalir lagi di tanah Alengka ini, namun kerinduanku pada puteriku
laksana genangan darah yang tak mampu mengalir. Mengapa aku gelisah
wahai Dewa Maha Agung aku merindukan puteriku dengan segala kegelisahan.
Jangan Engkau jadikan kegelisahanku sebagai ayah, menjadi kenyataan,
Wahai Dewa Agung.”
Demikian
ungkapan perasaan Prabu Sumali yang sedang dilanda kegelisahan. Di
puncak kekhawatiran Prabu Sumali yang menanti penuh harap-harap cemas
kepulangan puteri tercinta. Datanglah Dewi Sukesih bersimpuh di kaki
ayahandanya, menangis dengan segala jeritan.
”Wahai Ayahanda, aku menciptakan bencana dan aku terbentur bencana, yang diciptakan dari keinginan dan keyakinanku sendiri.”
Betapa terkejut Prabu Sumali, ”Ada apakah gerangan wahai anakku.”
”Aku
menciptakan bencana wahai ayahda, bencana yang memporak-porandakan
semua yang kumiliki. Kini anakmu tak memiliki apa-apa, selain noda-noda
dosa dan berkas-berkas syahwat yang begitu agung bercokol dalam jiwaku
wahai ayahanda”, Kata Dewi Sukesih diantara sedu sedannya.
”Terangkanlah
musibah itu, wahai Puteriku”, kata sang ayah, Prabu Sumali. Namun Dewi
Sukesih diam…..terbungkam. Dalam diamnya air matanya tetap mengalir,
tapi air mata darah yang terus menetes, mengalir. Ruang-ruang megah dari
istana raja yang penuh dengan hiasan dan permadani yang indah, tegenang
darah air mata sang Dewi. Alam diam. Dunia sepi. Semua rakyat tidur
dalam kesyahduan. Bulan padam. Matahari padam. Kehidupan pun terhenti.
Tinggallah
cekam kesepian yang begitu merasuk dari jiwa ketakutan sang ayah
menimbulkan goncangan-goncangan yang sangat hebat dalam dadanya.
Terjadilah kehendak Dewa, cekam kesepian justeru bercerita tentang riwayat puterinya sendiri, tentang riwayat sahabatnya sendiri.
Terjadilah kehendak Dewa, cekam kesepian justeru bercerita tentang riwayat puterinya sendiri, tentang riwayat sahabatnya sendiri.
Pengulangan
kembali peristiwa Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesih, sekaligus
”berulang” dengan melibatkan sang raja. Dari cerita dua tokoh
lelaki-wanita dari peristiwa panjang sampai bencana. Alam bercerita
kembali tentang peristiwa itu, yang langsung dirasakan oleh Prabu
Sumali.
Seusai pengulangan peristiwa itu, Prabu Sumali pun bersujud kepada Sang Dewa Agung, Sang Hyang Widhi.
”Wahai
Hyang Maha Agung, Dewa, Batara, apakah ini sebuah perbuatan dari harga
manusia, atau ada keterlibatan Engkau dalam mengobarkan, membangunkan
api-api birahi yang ada dalam diri kami. Aku tak percaya, sahabatku yang
begitu suci, yang mulia akhlaknya, yang suci ibadahnya, yang sempurna
dalam meninggalkan kekuasaan kekayaan. Harus terlena oleh peristiwa itu,
aku tak percaya! Pasti…….ada keterlibatan Engkau, wahai Dewa Agung di
Nirwana.”
Demikianlah Prabu sumali berkata dalam sujudnya. Begitu sujudnya selesai, sang Prabu pun bangkit berdiri.
Tak lama kemudian, sahabatnya, Resi Wisrawa, sujud dipelukan kaki sang Prabu. Maka diangkatnya sahabatnya, dipeluknya.
”Wahai
sahabatku, jangan engkau sesali semua ini, karena kita berangkat dari
noda, jangan terlalu berharap banyak untuk mencapai kesucian seperti
para Dewa. Biarkanlah kesucian menjadi keangkuhan para Dewa di Nirwana.”
Sang Prabu Semakin erat memeluk sahabatnya.
”Jangan
menyesal, aku tidak saja memaafkan engkau. Tapi cinta aku dalam jiwa
sebagai sahabat tambah sempurna untuk mencintai engkau, begitupun cinta
aku kepada puteriku. Puteriku korban dari harapannya sendiri. Biarkanlah
para Bidadari mengutuk puteriku, tetapi aku yakin, suatu saat puteriku
akan mengalahkan harkat Bidadari Kahyangan semuanya. Wahai puteriku,
bangunlah, peluklah aku, jangan malu.”
Sang
Dewi pun memeluk ayahandanya, di dadanya dia bersandar. Maka tumbuhlah
perasaan tentram, setentram bayi dalam pelukan pelindungnya. Sang Dewi
pun tenggelam dalam kesempurnaan cinta seorang ayah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar