Berdasar naskah Babad Tanah Sunda dan Atja pada naskah Carita Purwaka Caruban
Nagari, Cirebon pada awalnya adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki
Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan
diberi nama Caruban (Bahasa Sunda: campuran), karena di sana bercampur para
pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, dan
mata pencaharian yang berbeda-beda untuk bertempat tinggal atau berdagang.
Mengingat pada awalnya sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah
sebagai nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang
kecil) di sepanjang pantai serta pembuatan terasi, petis, dan garam. Dari
istilah air bekas pembuatan terasi (belendrang) dari udang rebon inilah
berkembanglah sebutan cai-rebon (Bahasa Sunda:, air rebon) yang kemudian menjadi
Cirebon.
Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman,
Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu pelabuhan
penting di pesisir utara Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di
kepulauan Nusantara maupun dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon
tumbuh menjadi cikal bakal pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.
PERKEMBANGAN AWAL Ki Gedeng Tapa
Ki Gedeng Tapa (atau juga dikenal dengan nama Ki Gedeng Jumajan Jati) adalah
seorang saudagar kaya di pelabuhan Muarajati, Cirebon. Ia mulai membuka hutan
ilalang dan membangun sebuah gubug dan sebuah tajug (Jalagrahan) pada tanggal 1
Syura 1358 (tahun Jawa) bertepatan dengan tahun 1445 Masehi. Sejak saat itu,
mulailah para pendatang mulai menetap dan membentuk masyarakat baru di desa
Caruban.
Ki Gedeng Alang-Alang
Kuwu atau kepala desa Caruban yang pertama yang diangkat oleh masyarakat baru
itu adalah Ki Gedeng Alang-alang. Sebagai Pangraksabumi atau wakilnya,
diangkatlah Raden Walangsungsang, yaitu putra Prabu Siliwangi dan Nyi Mas
Subanglarang atau Subangkranjang, yang tak lain adalah puteri dari Ki Gedeng
Tapa. Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat, Walangsungsang yang juga bergelar Ki
Cakrabumi diangkat menjadi penggantinya sebagai kuwu yang kedua, dengan gelar
Pangeran Cakrabuana.
MASA KESULTANAN CIREBON (Pakungwati)
Pangeran Cakrabuana (…. –1479)
Pangeran Cakrabuana adalah keturunan Pajajaran. Putera pertama Sri Baduga
Maharaja Prabu Siliwangi dari istrinya yang kedua bernama SubangLarang (puteri
Ki Gedeng Tapa). Nama kecilnya adalah Raden Walangsungsang, setelah remaja
dikenal dengan nama Kian Santang. Ia mempunyai dua orang saudara seibu, yaitu
Nyai Lara Santang/ Syarifah Mudaim dan Raden Sangara.
Sebagai anak sulung dan laki-laki ia tidak mendapatkan haknya sebagai putera
mahkota Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan oleh karena ia memeluk agama Islam
(diturunkan oleh Subanglarang - ibunya), sementara saat itu (abad 16) ajaran
agama mayoritas di Pajajaran adalah Sunda Wiwitan (agama leluhur orang Sunda)
Hindu dan Budha. Posisinya digantikan oleh adiknya, Prabu Surawisesa, anak
laki-laki Prabu Siliwangi dari istrinya yang ketiga Nyai Cantring
Manikmayang.
Ketika kakeknya Ki Gedeng Tapa yang penguasa pesisir utara Jawa meninggal,
Walangsungsang tidak meneruskan kedudukan kakeknya, melainkan lalu mendirikan
istana Pakungwati dan membentuk pemerintahan di Cirebon Sesudahnya
walangsungsangpun mendapat amanat dari Syekh Nurjati untuk meneruskan Pengguron
Tharekatnya di Pasambangan Gunung jati . Dengan demikian, yang dianggap sebagai
pendiri pertama Kesultanan Cirebon adalah Walangsungsang atau Pangeran
Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana, yang usai menunaikan ibadah haji kemudian
disebut Haji Abdullah Iman, tampil sebagai "raja" Cirebon pertama yang
memerintah dari keraton Pakungwati dan aktif menyebarkan agama Islam kepada
penduduk Cirebon.
SUNAN GUNUNG JATI (1479-1568)
Pada tahun 1479 M, kedudukannya kemudian digantikan putra adiknya, Nyai
Rarasantang dari hasil perkawinannya dengan Syarif Abdullah dari Mesir, yakni
Syarif Hidayatullah (1448-1568) yang setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan
Gunung Jati dengan gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan
Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar pula sebagai Ingkang Sinuhun Kangjeng
Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur
Rasulullah.
Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada Kesultanan Cirebon dimulailah
oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati kemudian
diyakini sebagai pendiri dinasti raja-raja Kesultanan Cirebon dan Kesultanan
Banten serta penyebar agama Islam di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan,
Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten. Setelah Sunan Gunung Jati wafat,
terjadilah kekosongan jabatan pimpinan tertinggi kerajaan Islam Cirebon. Pada
mulanya calon kuat pengganti Sunan Gunung Jati ialah Pangeran Dipati Carbon,
Putra Pangeran Pasarean, cucu Sunan Gunung Jati. Namun, Pangeran Dipati Carbon
meninggal lebih dahulu pada tahun 1565.
FATAHILLAH (1568-1570)
Kekosongan pemegang kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat
keraton yang selama Sunan Gunung Jati melaksanakan tugas dakwah, pemerintahan
dijabat oleh Fatahillah atau Fadillah Khan. Fatahillah kemudian naik takhta, dan
memerintah Cirebon secara resmi menjadi raja sejak tahun 1568. Fatahillah
menduduki takhta kerajaan Cirebon hanya berlangsung dua tahun karena ia
meninggal dunia pada tahun 1570, dua tahun setelah Sunan Gunung Jati wafat dan
dimakamkan berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati di Gedung Jinem Astana
Gunung Sembung.
PANEMBAHAN RATU I (1570-1649)
Sepeninggal Fatahillah, oleh karena tidak ada calon lain yang layak menjadi
raja, takhta kerajaan jatuh kepada cucu Sunan Gunung Jati yaitu Pangeran Emas
putra tertua Pangeran Dipati Carbon atau cicit Sunan Gunung Jati. Pangeran Emas
kemudian bergelar Panembahan Ratu I dan memerintah Cirebon selama kurang lebih
79 tahun.
PANEMBAHAN RATU II (1649-1677)
Setelah Panembahan Ratu I meninggal dunia pada tahun 1649, pemerintahan
Kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama Pangeran Rasmi atau
Pangeran Karim, karena ayah Pangeran Rasmi yaitu Pangeran Seda ing Gayam atau
Panembahan Adiningkusumah meninggal lebih dahulu. Pangeran Rasmi kemudian
menggunakan nama gelar ayahnya almarhum yakni Panembahan Adiningkusuma yang
kemudian dikenal pula dengan sebutan Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu
II.
Panembahan Girilaya pada masa pemerintahannya terjepit di antara dua kekuatan
kekuasaan, yaitu Kesultanan Banten dan Kesultanan Mataram. Banten merasa curiga
sebab Cirebon dianggap lebih mendekat ke Mataram (Amangkurat I adalah mertua
Panembahan Girilaya). Mataram dilain pihak merasa curiga bahwa Cirebon tidak
sungguh-sungguh mendekatkan diri, karena Panembahan Girilaya dan Sultan Ageng
Tirtayasa dari Banten adalah sama-sama keturunan Pajajaran. Kondisi ini memuncak
dengan meninggalnya Panembahan Girilaya di Kartasura dan ditahannya Pangeran
Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya di Mataram.
Panembahan Girilaya adalah menantu Sultan Agung Hanyakrakusuma dari
Kesultanan Mataram. Makamnya di Jogjakarta, di bukit Girilaya, dekat dengan
makam raja raja Mataram di Imogiri, Kabupaten Bantul. Menurut beberapa sumber di
Imogiri maupun Girilaya, tinggi makam Panembahan Girilaya adalah sejajar dengan
makam Sultan Agung di Imogiri.
TERPECAHNYA KESULTANAN CIREBON
Dengan kematian Panembahan Girilaya, maka terjadi kekosongan penguasa. Sultan
Ageng Tirtayasa segera menobatkan Pangeran Wangsakerta sebagai pengganti
Panembahan Girilaya, atas tanggung jawab pihak Banten. Sultan Ageng Tirtayasa
kemudian mengirimkan pasukan dan kapal perang untuk membantu Trunojoyo, yang
saat itu sedang memerangi Amangkurat I dari Mataram. Dengan bantuan Trunojoyo,
maka kedua putra Panembahan Girilaya yang ditahan akhirnya dapat dibebaskan dan
dibawa kembali ke Cirebon untuk kemudian juga dinobatkan sebagai penguasa
Kesultanan Cirebon.
PERPECAHAN I (1677)
Pembagian pertama terhadap Kesultanan Cirebon, dengan demikian terjadi pada
masa penobatan tiga orang putra Panembahan Girilaya, yaitu Sultan Sepuh, Sultan
Anom, dan Panembahan Cirebon pada tahun 1677. Ini merupakan babak baru bagi
keraton Cirebon, dimana kesultanan terpecah menjadi tiga dan masing-masing
berkuasa dan menurunkan para sultan berikutnya. Dengan demikian, para penguasa
Kesultanan Cirebon berikutnya adalah:
Sultan Keraton Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh
Abil Makarimi Muhammad Samsudin (1677-1703)
Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi
Muhammad Badrudin (1677-1723)
Pangeran Wangsakerta, sebagai Panembahan Cirebon dengan gelar Pangeran Abdul
Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677-1713).
Perubahan gelar dari Panembahan menjadi Sultan bagi dua putra tertua Pangeran
Girilaya ini dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa, karena keduanya dilantik
menjadi Sultan Cirebon di ibukota Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai
wilayah kekuasaan penuh, rakyat, dan keraton masing-masing. Pangeran Wangsakerta
tidak diangkat menjadi sultan melainkan hanya Panembahan. Ia tidak memiliki
wilayah kekuasaan atau keraton sendiri.
Pada Masa Sultan Kanoman I beliau mempunyai putra mahkota Pangeran Raja
Adipati Kaprabon yang sekarang disebut sebagai kaprabonan meneruskan Ilmu-Ilmu
Agama Islam Khususnya di bidang Tharekat Penerus Pengguron Tharekat Agama Islam
, yaitu tempat belajar para intelektual keraton. Dalam tradisi kesultanan di
Cirebon, suksesi kekuasaan sejak tahun 1677 berlangsung sesuai dengan tradisi
keraton, Pada masa Pangeran Adikusuma Adiningrat dan putraanya Pangeran
Angkawijaya dan Pangeran Moch Appiah adikusuma II Pengguron Tharekat berkembang
menjadi 4 pengguron sekarang.di mana seorang sultan pada waktu itu akan
menurunkan takhtanya kepada anak laki-laki tertua dari permaisurinya. Jika tidak
ada, akan dicari cucu atau cicitnya. Jika terpaksa, maka orang lain yang dapat
memangku jabatan itu sebagai pejabat sementara.
PERPECAHAN II (1807)
Suksesi para sultan selanjutnya pada umumnya berjalan lancar, sampai pada
masa pemerintahan Sultan Anom IV (1798-1803), dimana terjadi perpecahan karena
salah seorang putranya, yaitu Pangeran Raja Kanoman, ingin memisahkan diri
membangun kesultanan sendiri dengan nama Kesultanan Kacirebonan.
Kehendak Pangeran Raja Kanoman didukung oleh pemerintah Kolonial Belanda
dengan keluarnya besluit (Bahasa Belanda: surat keputusan) Gubernur-Jendral
Hindia Belanda yang mengangkat Pangeran Raja Kanoman menjadi Sultan Carbon
Kacirebonan tahun 1807 dengan pembatasan bahwa putra dan para penggantinya tidak
berhak atas gelar sultan, cukup dengan gelar pangeran. Sejak itu di Kesultanan
Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu Kesultanan Kacirebonan, pecahan dari
Kesultanan Kanoman. Sementara tahta Sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan
Anom IV yang lain bernama Sultan Anom Abusoleh Imamuddin (1803-1811).
MASA KOLONIAL DAN KEMERDEKAAN
Sesudah kejadian tersebut, pemerintah Kolonial Belanda pun semakin dalam ikut
campur dalam mengatur Cirebon, sehingga semakin surutlah peranan dari
keraton-keraton Kesultanan Cirebon di wilayah-wilayah kekuasaannya. Puncaknya
terjadi pada tahun-tahun 1906 dan 1926, dimana kekuasaan pemerintahan Kesultanan
Cirebon secara resmi dihapuskan dengan disahkannya Gemeente Cheirebon (Kota
Cirebon), yang mencakup luas 1.100 Hektar, dengan penduduk sekitar 20.000 jiwa
(Stlb. 1906 No. 122 dan Stlb. 1926 No. 370). Tahun 1942, Kota Cirebon kembali
diperluas menjadi 2.450 hektar.
Pada masa kemerdekaan, wilayah Kesultanan Cirebon menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara umum, wilayah
Kesultanan Cirebon tercakup dalam Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon, yang
secara administratif masing-masing dipimpin oleh pejabat pemerintah Indonesia
yaitu walikota dan bupati.
PERKEMBANGAN TERAKHIR
Setelah masa kemerdekaan Indonesia, Kesultanan Cirebon tidak lagi merupakan
pusat dari pemerintahan dan namun masih tetap dalam pengembangan agama islam.
Meskipun demikian keraton-keraton yang ada tetap menjalankan perannya sebagai
pusat kebudayaan masyarakat khususnya di wilayah Cirebon dan sekitarnya.
Kesultanan Cirebon turut serta dalam berbagai upacara dan perayaan adat
masyarakat dan telah beberapa kali ambil bagian dalam Festival Keraton Nusantara
(FKN).
Umumnya, Keraton Kasepuhan sebagai istana Sultan Sepuh dianggap yang paling
penting karena merupakan keraton tertua yang berdiri tahun 1529, sedangkan
Keraton Kanoman sebagai istana Sultan Anom berdiri tahun 1622, dan yang
terkemudian adalah Keraton Kacirebonan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar