Minggu, 04 Desember 2011

NASKAH MERTASINGA – FALATEHAN TUBAGUS PASE DAN RAJA-RAJA CIREBON .

Nama Fatahillah atau Falatehan tidak terlepas dari sejarah kota Jakarta dan perlawanan bangsa ini melawan Portugis. Sejarah mencatat prestasinya merebut Sunda Kelapa dan menglahkan Portugis pada tahun 1527 dan memberikan nama baru Jayakarta atau kota kemenangan.
Sebelumnya nama Falatehan diidentikan dengan Sunan Gunung Jati, namun kemudian dengan diketemukannya bukti-bukti baru diakui bahwa dua nama ini adalah nama dari dua orang yang berbeda. Dalam naskah ini tidak tercantum nama Fatahillah atau Fallatehan namun dari jalannya kisah kita dapat mengambil kesimpulan bahwa yang dimaksud adalah tokoh dalam naskah ini yang disebut Tubagus Pase. Dalam naskah ini juga tidak dikisahkan mengenai peperangan-peperangnnya melawan penjajah, namun lebih kepada kekerabatannya dengan keluarga raja-raja Demak  dan Cirebon.

KEDATANGAN TUBAGUS PASE DI CARBON
(pupuh LIV.08 - LIV.15)
Dikisahkan ada seseorang yang datang dari seberang, yang bernama Tubagus Pase [Pasai, sebuah kerajaan Islam di Aceh ]. Dia datang membawa bala tentara sebanyak empat puluh orang sebagai pengawalnya. Semula kedatangannya dengan maksud ingin mencoba ilmunya orang Jawa dan dia ingin tahu bagaimana pangamalan agama Islam di Carbon. Akan tetapi dengan keramatnya Sinuhun, setibanya orang seberang itu di hadapan Sinuhun Jati hilang musnah keangkuhannya. Dia datang kehadapan Sinuhun Jati dengan rendah hati dan dengan menundukan wajahnya
Dalam pertemuan ini dia melihat Ratu Ayu Dewi, yang telah menggerakan hatinya. Sinuhun mengetahui apa yang terjadi maka kemudian putrinya dipanggilnya. Semula Ratu Ayu Dewi menolak kehendak ayahandanya itu, akan tetapi setelah lama dibujuk akhirnya dia menyetujuinya. Lalu Sinuhun berkata kepada Tubagus, "He anak dari seberang, akan kuberikan anakku yang bernama Ratu Ayu Dewi, untuk menjadi istrimu dengan mas-kawinnya anak dari yang telah mati syahid itu". [Dalam bab sebelumnya telah dikisahkan mengenai Ratu Ayu Dewi sebagai janda dari Sunan Demak II – Pangeran Sabrang Lor].
Tubagus menyetujuinya dan berkata, "Ayahanda, hamba setuju nikahnya sang puteri dengan mas kawin seperti apa yang telah disebutkan yakni memperoleh anak yang ditinggal mati syahid". Dengan disaksikan oleh para Aulia, pernikahan Tubagus berlangsung sudah. Tidak diceritakan lamanya, kemudian mereka mempunyai anak perempuan yang amat cantik yang diberi nama Ratu Ayu Wanawati. Anak yang amat dikasihi oleh ayahandanya, Tubagus Pase. Bilamana Tubagus Pase pergi berlayar menengok sanak keluarganya, maka dari tanah seberang Tubagus Pase pulangnya diiringi oleh burung dari tanah Pasai, yaitu Burung Pasai, yang  konon di tanah Jawa masih serumpun dengan burung Kokok Beluk [Burung Hantu, burung Elang malam, keluarga Strigiformes].

ANAK KETURUNAN TUBAGUS PASE DARI RATU AYU WANGURAN
 (pupuh XXXV.20 - XXXV.23)
Begitulah dikisahkan anak Sinuhun Jati yang bernama Ratu Ayu Wanguran, istri almarhum Sultan Demak (II) berada kembali di Carbon dengan membawa warisan berupa Gamelan Sokati, itulah asal mulanya keberadaan gamelan tersebut di Carbon. Pada suatu ketika ada seorang pendatang dari negara Pasai yang bernama Tubagus, yang konon menurut ceritera darahnya berwarna putih. Dia kemudian diangkat mantu oleh Sinuhun dengan putrinya yang telah menjadi janda dari Sultan Demak itu. Setelah berkumpul para wali, segera dilangsungkan pernikahan anaknya dengan Tubagus Pasai. Dikisahkan kemudian Tubagus Pase dengan Ratu Ayu mempunyai anak lima  orang yaitu :
1.       Anak sulung, perempuan yang bernama Ratu Wanawati, yang kemudian menikah dengan saudara misannya bernama Pangeran Dipati. Kelak mempunyai anak yang bergelar Panembahan Ratu, Panembahan yang waktu mudanya bernama Pangeran Agung.
     2.      Ratu Nyawa.
     3.      Pangeran Agung.
     4.      Ratu Sewu.
     5.      Ratu Agung.

Catatan:
Tubagus Pase, atau yang kemudian dikenal sebagai Falatehan atau Fatahillah, pernikahannya dengan anak Sunan Gunung Jati, Ratu Ayu Wanguran, janda Sultan Demak (II) menjadikannya ‘ipar’ dari Sultan Demak (III) sebagaimana disebutkan dalam catatan-catatan  Portugis. Sebagaimana juga disebutkan dalam catatan Portugis, dia pun menjadi penguasa Carbon ketika mewakili cucunya sebelum menginjak dewasa. Keturunan dari Tubagus Pase dengan Ratu Ayu Wanguran ini lah yang menurunkan raja-raja Carbon selanjutnya.

PERNIKAHAN CUCU SUNAN GUNUNG JATI
(pupuh LVI.04 - LVI.13)
Dikisahkan Sinuhun Gunung Jati ingin mempertemukan cucu lelaki yang dari anak lelakinya dengan cucu perempuan dari anak perempuannya. Yang laki-laki yaitu Pangeran Carbon anaknya Pangeran Pasarean, sedangkan cucu perempuannya yaitu Ratu Wanawati anaknya Tubagus Pase. Walaupun keduanya belum dewasa akan tetapi atas permintaan Sinuhun keduanya segera dinikahkan.
Pada waktu itu yang menjadi saksi ialah Sunan Kalijaga dan Pangeran Makdum. Tubagus berkata, "Telah kuterima hukumnya Allah, aku nikahkan anakku yang bernama Ratu Wanawati yang masih gadis ini, untuk dipertemukan dengan cucu lelaki ayahanda yang bernama Pangeran Carbon. Dengan mas-kawinnya mempunyai anak yang kelak akan mati syahid". Sunan Gunung Jati segera mengabulkan pernikahan itu, "Aku sudah terima nikahnya cucu perempuan yang lahir dari anak perempuanku dengan cucu lelaki yang lahir dari anak lelakiku dengan mas kawinnya anak lelaki yang bersedia menjadi anak yatim".
Sinuhun lalu membaca doa yang diamini oleh semuanya. Yang hadir pada waktu itu ialah Raja Lahut, Ratu Winahon, serta dari Pajajaran datang sang uwak Rangga Pakuan [Pangeran Cakrabuana]. Kedua pengantin ini terlihat lucu sekali karena umurnya yang lelaki baru akan berusia lima tahun sedangkan yang perempuan baru akan berusia tiga tahun. Begitulah upacaranya diadakan di Mesjid Agung Carbon. Pada waktu itu yang menjadi imam di Mesjid Agung bergantian, Sinuhun Gunung Jati dan Sunan Kalijaga. Pangeran Makdum waktu itu masih menjadi Juru komat. Syekh Datuk Khapi yang azan, sedangkan yang menjadi waman ah'sanun yaitu Modin Jati, Sunan Panggung, Buyut Panjunan, Lebe Juriman dan Pangeran Janapuri, sedangkan orang yang ketujuh itu dipilih dari salah seorang santri.

PEMERINTAHAN CARBON SETELAH WAFATNYA SINUHUN GUNUNG JATI 
(pupuh LVIII.06 - LVIII.08)
Sekarang di Dalem Agung dan juga di Gunung Sembung tinggal Sunan Kalijaga sendirian yang memimpin. Tubagus Pase setiap Jumat menjadi imam dan merangkap sebagai wakil utama dari raja, sebab cucu Sinuhun, Pangeran Carbon, masih belum dewasa.  Saat itu Pangeran Carbon baru berumur enam tahun, dan yang menjadi wakil raja ialah Pangeran Makdum dan Tubagus Pase karena Sunan Kalijaga sudah tidak bersedia lagi. Di Masjid Pakungwati waktu itu yang melakukan komat ialah Syekh Datuk Khapi, karena Modin Jati sudah tidak mampu lagi. Sedangkan yang melakukan waman ah'sanun digantikan oleh Ki Syekh Badiman, dan sorog wedi-nya (pemegang kunci) masih sama seperti dahulu pada jamannya Sinuhun Jati.
[Waman ah’sanun, ungkapan bahasa Arab yang berarti “orang-orang yang terbaik”. Azan di Mesjid Agung Carbon dilakukan oleh 7 orang, waman ah’sanun ini adalah penyeru azan ke-2 hingga yang ke tujuhnya].

PANGERAN AGUNG DINOBATKAN BERGELAR PANEMBAHAN RATU 
(pupuh LXII.08 - LXII.13)
Kemudian dikisahkan, Sunan Kalijaga, Tubagus Pase, bersama Pangeran Agung kembali ke Kraton Pakungwati. Setelah sampai di Kraton lalu dirundingkan mengenai penobatan Raja Pakungwati. Maka kemudian Pangeran Agung dinobatkan menjadi penguasa di Carbon bergelar Panembahan Ratu.  Dengan demikian sepeninggal Sinuhun Aulia baru sekarang kekuasaan di Carbon dipegang lagi oleh cucunya Panembahan Ratu dan Tubagus Pase diangkat menjadi wakil raja.
Pada suatu ketika Sunan Kalijaga ingin menengok buyutnya Sinuhun Jati, yang berada di Gebang yang bernama Pangeran Prawirasuta. Dari Gebang Sunan Kalijaga pergi ke Losari untuk menengok cucu lainnya yang diangkat anak oleh Dalem Tumenggung, bernama Pangeran Wirya, yang dinobatkan dengan gelar Panembahan sebagai penguasa di Losari. Diceritakan Sunan Kalijaga dari Gebang dan Losari kembali pulang, tidak diceritakan perjalanannya wali telah tiba kembali di Pakungwati.

Catatan:
Panembahan Ratu memerintah dari tahun 1568 s/d tahun 1649, sebelumnya dari tahun 1552 s/d 1568 (setelah wafatnya Pangeran Pasarean) Kesultanan Carbon kosong dan diwakili oleh Tubagus Pase menunggu Pangeran Agung/Panembahan Ratu dewasa. Dari perkawinan Panembahan Ratu dengan Ratu Mas Pajang, anak Jaka Tingkir, Sunan Pajang, menurunkan Pangeran Dipati Carbon II/Pangeran Sedang Gayam, yang kemudian menurunkan Pangeran Girilaya yang menurunkan Pangeran Sepuh dan selanjutnya. Setelah bab diatas, naskah ini tidak lagi menceriterakan lagi mengenai Tubagus Pase, namun sumber lain menyebutkan bahwa beliau wafat pada tahun 1570 dan dimakamkan di Gunung Sembung, Cirebon.
Hasil alih aksara dan alih bahasa dari naskah-naskah lama mengenai Babad Cirebon dan Pajajaran post by Amman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar