Jumat, 23 Desember 2011

Syekh Magelung Sakti dan Nyi Mas Gandasari

Syekh Magelung Sakti alias Syarif Syam alias Pangeran Soka alias Pangeran Karangkendal. Konon Syekh Magelung Sakti berasal dari negeri Syam (Syria), hingga kemudian dikenal sebagai Syarif Syam. Namun, ada pula yang berpendapat bahwa ia berasal dari negeri Yaman.
Syarif Syam memiliki rambut yang sangat panjang, rambutnya sendiri panjangnya hingga menyentuh tanah, oleh karenanya ia lebih sering mengikat rambutnya (gelung). Sehingga kemudian ia lebih dikenal sebagai Syekh Magelung (Syekh dengan rambut yang tergelung).
Mengapa ia memiliki rambut yang sangat panjang ialah karena rambutnya tidak bisa dipotong dengan apapun dan oleh siapapun. Karenanya, kemudian ia berkelana dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari siapa yang sanggup untuk memotong rambut panjangnya itu. Jika ia berhasil menemukannya, orang tersebut akan diangkat sebagai gurunya. Hingga akhirnya ia tiba di Tanah Jawa, tepatnya di Cirebon.
Pada sekitar abad XV di Karangkendal hidup seorang yang bernama Ki Tarsiman atau Ki Krayunan atau Ki Gede Karangkendal, bahkan disebut pula dengan julukan Buyut Selawe, karena mempunyai 25 anak dari istrinya bernama Nyi Sekar. Diduga, mereka itulah orang tua angkat Syarif Syam di Cirebon.
Konon, Syarif Syam datang di pantai utara Cirebon mencari seorang guru seperti yang pernah ditunjukkan dalam tabirnya, yaitu salah seorang waliyullah di Cirebon. Dan di sinilah ia bertemu dengan seorang tua yang sanggup dengan mudahnya memotong rambut panjangnya itu. Orang itu tak lain adalah Sunan Gunung Jati. Syarif Syam pun dengan gembira kemudian menjadi murid dari Sunan Gunung Jati, dan namanya pun berubah menjadi Pangeran Soka (asal kata suka). Tempat dimana rambut Syarif Syam berhasil dipotong kemudian diberinama Karanggetas.
Setelah berguru kepada Sunan Gunung Jati di Cirebon, Syarif Syam alias Syekh Magelung Sakti diberi tugas mengembangkan ajaran Islam di wilayah utara. Ia pun kemudian tinggal di Karangkendal, Kapetakan, sekitar 19 km sebelah utara Cirebon, hingga kemudian wafat dan dimakamkan di sana hingga kemudian ia lebih dikenal sebagai Pangeran Karangkendal.
Sesuai cerita yang berkembang di tengah masyarakat atau orang-orang tua tempo dulu, pada masa lalu Syekh Magelung Sakti menundukkan Ki Gede Tersana dari Kertasemaya, Indramayu, sehingga anak buah Ki Tarsana tersebut yang berupa makhluk halus pun turut takluk. Namun, makhluk gaib melalui Ki Tersana meminta syarat agar setiap tahunnya diberi makan berupa sesajen rujak wuni. Dari cerita inilah selanjutnya, tradisi menyerahkan sesajen daging mentah tersebut berlangsung setiap tahun di Karangkendal.
Sosok Syekh Magelung Sakti tidak dapat dilepaskan dari Nyi Mas Gandasari, yang kemudian menjadi istri beliau. Pertemuan keduanya terjadi saat Syekh Magelung Sakti yang di kenal juga sebagai Pangeran Soka, ditugaskan untuk berkeliling ke arah barat Cirebon. Pada saat ia baru saja selesai mempelajari tasawuf dari Sunan Gunung Jati, dan mendengar berita tentang sayembara Nyi Mas Gandasari yang sedang mencari pasangan hidupnya.
Babad Cerbon juga tidak jelas menyebutkan siapakah yang dimaksud sebagai putri Mesir itu. Namun, menurut masyarakat di sekitar makam Nyi Mas Gandasari di Panguragan, dipercaya bahwa Nyi Mas Gandasari berasal dari Aceh, adik dari Tubagus Pasei atau Fatahillah, putri dari Mahdar Ibrahim bin Abdul Ghafur bin Barkah Zainal Alim. Ia diajak serta oleh Ki Ageng Selapandan sejak kecil dan diangkat sebagai anak, saat sepulangnya menunaikan ibadah haji ke Makkah.
Versi lain menyebutkan bahwa Nyi Mas Gandasari, yang sebenarnya adalah putri Sultan Hud dari Kesultanan Basem Paseh (berdarah Timur Tengah), merupakan salah satu murid di pesantren Islam putri yang didirikan oleh Ki Ageng Selapandan.
Konon, karena kecantikan dan kepandaiannya dalam ilmu bela diri, telah berhasil menipu pangeran dari Rajagaluh, sebuah negara bawahan dari kerajaan Hindu Galuh-Pajajaran (yang kemudian menjadi raja dan bernama Prabu Cakraningrat). Pada waktu itu, Cakraningrat tertarik untuk menjadikannya sebagai istri. Tak segan-segan ia pun diajaknya berkeliling ke seluruh pelosok isi kerajaan, bahkan sampai dengan ke tempat-tempat yang amat rahasia. Hal inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh Pangeran Cakrabuana, orang tua angkat Nyi Mas Gandasari untuk kemudian menyerang Rajagaluh.
Ki Ageng Selapandan yang juga adalah Ki Kuwu Cirebon waktu itu dikenal juga dengan sebutan Pangeran Cakrabuana (masih keturunan Prabu Siliwangi dari Kerajaan Hindu Pajajaran), berkeinginan agar anak angkatnya, Nyi Mas Gandasari, segera menikah. Setelah meminta nasihat Sunan Gunung Jati, gurunya, keinginan ayahnya tersebut disetujui Putri Selapandan dengan syarat calon suaminya harus pria yang memiliki ilmu lebih dari dirinya.
Meskipun telah banyak yang meminangnya, ia tidak bisa menerimanya begitu saja dengan berbagai macam alasan dan pertimbangan. Oleh karenanya kemudian ia pun mengadakan sayembara untuk maksud tersebut, sejumlah pangeran, pendekar, maupun rakyat biasa dipersilakan berupaya menjajal kemampuan kesaktian sang putri. Siapapun yang sanggup mengalahkannya dalam ilmu bela diri maka itulah jodohnya. Banyak diantaranya pangeran dan ksatria yang mencoba mengikutinya tetapi tidak ada satu pun yang berhasil. Seperti Ki Pekik, Ki Gede Pekandangan, Ki Gede Kapringan serta pendatang dari negeri Cina, Ki Dampu Awang atau Kyai Jangkar berhasil dikalahkannya.
Hingga akhirnya Pangeran Soka memasuki arena sayembara. Meskipun keduanya tampak imbang, namun karena faktor kelelahan Nyi Mas Gandasari pun akhirnya menyerah dan kemudian berlindung di balik Sunan Gunung Jati.
Namun, Pangeran Soka terus menyerangnya dan mencoba menyerang Nyi Mas Gandasari dan hampir saja mengenai kepala Sunan Gunung Jati. Tetapi sebelum tangan Pangeran Soka menyentuh Sunan Gunung Jati, Pangeran Soka menjadi lemas tak berdaya. Sunan Gunung Jati pun kemudian membantunya dan menyatakan bahwa tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah. Namun, kemudian keduanya dinikahkan oleh Sunan Gunung Jati.
Selain berjasa dalam syiar Islam di Cirebon dan sekitarnya, Syarif Sam dikenal sebagai tokoh ulama yang mempunyai ilmu kanuragan tinggi pada zamannya. Ia membangun semacam pesanggrahan yang dijadikan sebagai tempat ia melakukan syiar Islam dan mempunyai banyak pengikut. Sampai dengan akhir hayatnya, Syekh Magelung Sakti dimakamkan di Karangkendal, dan sampai sekarang tempat tersebut selalu diziarahi orang dari berbagai daerah.
Di situs makam Syekh Magelung Sakti terdapat sumur peninggalan tokoh ulama tersebut, padasan kramat, depok (semacam pendopo) Karangkendal, jramba, kroya, pegagan, dukuh, depok Ki Buyut Tersana, dan pedaleman yang berisi pesekaran, paseban, serta makam Syekh Magelung Sakti sendiri.
Berjauhan dengan makam suaminya Syekh Magelung Sakti, makam Nyi Mas Gandasari terdapat di Panguragan, sehingga ia kemudian dikenal juga sebagai Nyi Mas Panguragan.

Minggu, 18 Desember 2011

TATA CARA BANCAKAN WETON

Bancakan weton dilakukan tepat pada hari weton kita. Dalam tradisi Jawa, seseorang harus dibuatkan bancakan weton minimal sekali selama seumur hidup. Namun akan lebih baik dilakukan paling tidak setahun sekali. Apabila seseorang sudah merasakan sering mengalami kesialan (sebel-sial), ketidakberuntungan, selalu mengalami kejadian buruk, biasanya dilakukan bancakan weton selama 7 kali berturut-turut, artinya sekali bancakan setiap 35 hari, selama 7 bulan berturut-turut.
Manfaat dan tujuan bancakan weton adalah untuk “ngopahi sing momong”, karena masyarakat Jawa percaya dan memahami jika setiap orang ada yang momong (pamomong) atau “pengasuh dan pembimbing” secara metafisik. Pamomong bertugas selalu membimbing dan mengarahkan agar seseorang tidak salah langkah, agar supaya lakune selalu pener, dan pas. Pamomong sebisanya selalu menjaga agar kita  bisa terhindar dari perilaku yang keliru, tidak tepat, ceroboh, merugikan. Antara pamomong dengan yang diemong seringkali terjadi kekuatan tarik-menarik. Pamomong menggerakkan ke arah kareping rahsa, atau mengajak kepada hal-hal baik dan positif,  sementara yang diemong cenderung menuruti rahsaning karep, ingin melakukan hal-hal semaunya sendiri, menuruti keinginan negative,  dengan mengabaikan kaidah-kaidah hidup dan melawan tatanan yang akan mencelakai diri pribadi, bahkan merusak ketenangan dan ketentraman masyarakat. Antara pamomong dengan yang diemong terjadi tarik menarik, Dalam rangka tarik-menarik ini,  pamomong tidak selalu memenangkan “pertarungan” alias kalah dengan yang diemong. Dalam situasi demikian yang diemong lebih condong untuk selalu mengikuti rahsaning karep (nafsu). Bahkan tak jarang apabila seseorang kelakuannya sudah tak terkendali atau mengalami disorder, sing momong biasanya sudah enggan untuk memberikan bimbingan dan asuhan. Termasuk juga bila yang diemong mengidap penyakit jiwa. Dalam beberapa kesempatan saya pernah  nayuh si pamomong seseorang yang sudah mengalami disorder misalnya kelakuannya liar dan bejat, sering mencelakai orang lain,  ternyata pamomong akhirnya meninggalkan yang diemong karena sudah enggan memberikan bimbingan dan  asuhan kepada seseorang tersebut. Pamomong sudah tidak  lagi mampu mengarahkan dan membimbingnya. Apapun yang dilakukan untuk mengarahkan kepada segala kebaikan, sudah sia-sia saja.
Kebanyakan kasus pada seseorang yang mengalami disorder biasanya sang pamomong-nya diabaikan, tidak dihargai sebagaimana mestinya padahal pamomong selalu mencurahkan perhatian kepada yang diemong, selalu mengajak kepada yang baik, tepat, pener dan pas. Sehingga hampir tidak pernah terjadi interaksi antara diri kita dengan yang momong. Dalam tradisi Jawa, interaksi sebagai bentuk penghargaan kepada pamomong, apalagi diopahi dengan cara membuat bancakan weton. Eksistensi pamomong oleh sebagian orang dianggapnya sepele bahkan sekedar mempercayai keberadaannya  saja dianggap sirik. Tetapi bagi saya pribadi dan kebanyakan orang yang mengakui eksistensi dan memperlakukan secara bijak akan benar-benar menyaksikan daya efektifitasnya. Kemampuan diri kita juga akan lebih optimal jika dibanding dengan orang yang tidak pernah melaksanakan bancakan weton. Selama ini saya mendapat kesaksian langsung dari teman-teman yang saya anjurkan agar mem-bancaki wetonnya sendiri. Mereka benar-benar merasakan manfaatnya bahkan seringkali secara spontan memperoleh kesuksesan setelah melaksanakan bancakan weton. Hal itu tidak lain karena daya metafisis kita akan lebih maksimal bekerja. Katakanlah, antara batin dan lahir kita akan lebih seimbang, harmonis dan sinergis, serta keduanya baik fisik dan metafisik akan menjalankan fungsinya secara optimal untuk saling melengkapi dan menutup kelemahan yang ada. Bancakan weton juga tersirat makna, penyelarasan antara lahir dengan batin, antara jasad dan sukma, antara alam sadar dan bawah sadar.

Pertanyaan di atas seringkali dilontarkan. Saya pribadi terkadang merasa canggung untuk menjelaskan secara detil, oleh karena tidak setiap orang mampu memahami. Bahkan seseorang yang bener-bener tidak paham siapa yang momong, kemudian bertanya, namun setelah dijawab toh akhirnya membantah sendiri. Seperti itulah karakter pikir sebagian anak zaman sekarang yang terlalu “menuhankan” rasio dan sebagian yang lain tidak menyadari bahwa dirinya sedang tidak sadar. Apapun reaksinya, kiranya saya tetap perlu sekali menjelaskan siapa jati diri sang pamomong ini agar supaya para pembaca yang budiman yang memiliki antusiasme akan luasnya bentang sayap keilmuan, dan secara dinamis berusaha menggapai kualitas hidup lebih baik dari sebelumnya dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan yang lebih luas.
Pamomong, atau sing momong, adalah esensi energy yang selalu mengajak, mengarahkan, membimbing dan mengasuh diri kita kepada sesuatu yang tepat, pas dan pener dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Esensi energy dapat dirasakan bagaikan medan listrik, yang mudah dirasakan tetapi sulit dilihat dengan mata wadag. Jika eksistensi listrik dipercaya ada, karena bisa dirasakan dan dibuktikan secara ilmiah. Sementara itu eksistensi pamomong sejauh ini memang bisa dirasakan, dan bagi masyarakat yang masih awam pembuktiannya masih terbatas pada prinsip-prinsip silogisme setelah menyaksikan dan mersakan realitas empiris. Pamomong diakui eksistensinya setelah melalui proses konklusi dari pengalaman unik (unique experience) yang berulang terjadi pada diri sendiri dan yang dialami banyakan orang.  Lain halnya bagi sebagian masyarakat yang pencapaian spiritualitasnya sudah memadai dapat pembuktiannya  tidak hanya sekedar merasakan saja, namun dapat menyaksikan atau melihat dengan jelas siapa sejatinya sang pamomong masing-masing diri kita. Dalam pembahasan khusus suatu waktu akan saya uraikan secara detail mengenai jati diri sang Pamomong.
Setiap anak baru lahir, orang tuanya membuat bancakan weton pertama kali biasanya pada saat usia bayi menginjak hari ke 35 (selapan hari). Bancakan weton dapat dilaksanakan tepat pada acara upacara selapanan atau selamatan ulang weton yang pertama kali. Anak yang sering dibuatkan bancakan weton secara rutin oleh orangtuanya, biasanya hidupnya lebih terkendali, lebih berkualitas atau bermutu, lebih hati-hati, tidak liar dan ceroboh, dan jarang sekali mengalami sial. Bahkan seorang anak yang sakit-sakitan, sering jatuh hingga berdarah-darah, nakal bukan kepalang, setelah dibuatkan bancakan weton si anak tidak lagi sakit-sakitan, dan tidak nakal lagi. Dalam beberapa kasus saya menyaksikan sendiri seorang anak sakit panas, sudah di bawa periksa dokter tetap belum ada tanda-tanda sembuh, lalu setelah dibikinkan bancakan weton hanya selang 2 jam sakit demannya langsung sembuh. Inilah sekelumit contoh yang sering saya lihat dengan mata kepala sendiri  persoalan di seputar bancakan weton. Masih banyak lagi yang tak bisa saya ceritakan di sini.
Mungkin para pembaca yang budiman memiliki banyak pengalaman spiritual di seputar soal weton, saya berharap anda berkenan untuk berbagi kisah di sini agar bermanfaat bagi kita semua. Baiklah, pada kesempatan ini saya akan paparkan secara singkat uborampe untuk membuat bancakan weton.

BAHAN-BAHAN
Maknanya ; 7 macam sayur, tuju atau (Jawa; pitu), yakni mengandung sinergisme harapan akan mendapat pitulungan (pertolongan) Tuhan. Kacang panjang dan kangkung tidak boleh dipotong-potong, biarkan saja memanjang apa adanya. Maknanya adalah doa panjang rejeki, panjang umur, panjang usus (sabar), panjang akal.
2. Telur ayam (bebas telur ayam apa saja). Jumlah telur bisa 7, 11, atau 17 butir anda bebas menentukannya. Telur ayam direbus lalu dikupas kulitnya.
Maknanya ; jumlah telur 7 (pitu), 11 (sewelas), 17 (pitulas) bermaksud sebagai doa agar mendapatkan pitulungan (7), atau kawelasan (11), atau pitulungan dan kawelasan (17).
3. Bumbu urap atau gudangan. Jika yang diberi bancakan weton masih usia kanak-kanak sampai usia sewindu (8 tahun) bumbunya tidak pedas. Usia lebih dari 8 tahun bumbu urap/gudangannya pedas.   Bumbu gudangan terdiri : kelapa agak muda diparut. Diberi  bumbu masak sbb : bawang putih, bawang merah, ketumbar, daun salam, laos, daun jeruk purut, sereh, gula merah dan garam secukupnya. Kalau bumbu pedas tinggal menambah cabe secukupnya. Kelapa parut dan bumbu dicampur lalu dibungkus daun pisang dan dikukus sampai matang.
Maknanya : bumbu pedas menandakan bahwa seseorang sudah berada pada rentang  kehidupan yang sesungguhnya. Kehidupan yang penuh manis, pahit, dan getir. Hal ini melambangkan falsafah Jawa yang mempunyai pandangan bahwa pendidikan kedewasaan anak harus dimulai sejak dini. Pada saat anak usia lewat sewindu sudah  harus belajar tentang kehidupan yangs sesungguhnya.  Karena usia segitu adalah usia yang paling efektif untuk sosialisasi, agar kelak menjadi orang yang pinunjul, mumpuni, perilaku utama, bermartabat dan bermanfaat bagi sesama manusia, seluruh makhluk, lingkungan alamnya.
5. Nasi Tumpeng Putih. Beras dimasak (nasi) untuk membuat tumpeng. Perkirakan mencukupi untuk minimal 7 porsi. Sukur lebih banyak misalnya untuk 11 atau 17 porsi. Setelah nasi tumpeng selesai dibuat dan di doakan, lalu dimakan bersama sekeluarga dan para tetangga. Jumlah minimal orang yang makan usahakan 7 orang, semakin banyak semakin baik, misalnya 11 orang, 17 orang. Porsi nasi tumpeng boleh dibagi-bagikan ke para tetangga anda.
Maknanya, dimakan 7 orang dengan harapan mendapat pitulungan yang berlipat tujuh.  Jika 11 orang, berharap mendapat kawelasan yang berlipat sebelas. 17 berharap mendapat pitulungan lan kawelasan berlipat 17. Namun hal ini hanya sebagai harapan saja, perkara terkabul atau tidak hal itu menjadi “hak prerogatif” Tuhan.
6. Alat-alat kelengkapan : 1) daun pisang secukupnya, digunakan sebagai alas tumpeng (lihat gambar). 2) kalo (saringan santan) harus yang baru atau belum pernah digunakan. 3)  cobek tanah liat yang baru atau belum pernah digunakan.   Cara menggunakannya lihat dalam gambar.


Terdiri dari makanan tradisional yang ada di pasar. Misalnya makanan terbuat dari ketan; wajik, jadah, awug, puthu, lemper dll. Makanan yang terbuat dari beras ; apem, cucur, mandra. Serta dilengkapi buah-buahan yang ditemui di pasar seperti salak, rambutan, manggis, mangga, kedondong, pisang. Semuanya dibeli secukupnya saja, jangan terlalu banyak, jangan terlalu sedikit.
Maknanya ; kesehatan, rejeki, keselamatan, supaya selalu lengket, menyertai kemanapun pergi, dan dimanapun berada.
Maknanya : kembang setaman masing-masing memiliki arti sendiri-sendiri. Misalnya bunga mawar ; awar-awar supaya hatinya selalu tawar dari segala nafsu negatif. Bunga melati, melat-melat ing ati selalu eling dan waspada. Bunga kenanga, agar selalu terkenang atau teringat akan sangkan paraning dumadi. Kanthil supaya tansah kumanthil, hatinya selalu terikat oleh tali rasa dengan para leluhur yang menurunkan kita, kepada orang tua kita, dengan harapan kita selalu berbakti kepadanya. Kanthil sebagai pepeling agar supaya kita jangan sampai menjadi anak atau keturunan yang durhaka kepada orang tua, dan kepada para leluhurnya, leluhur yang menurunkan kita dan leluhur perintis bangsa.
9. Uang Logam (koin) Rp.100 atau 500, atau 1000. (Cara menyajikan lihat gambar).
10. Bubur 7 rupa : bahan dasar bubur putih atau gurih (santan dan garam) dan bubur merah atau bubur manis (ditambah gula jawa dan garam secukupnya).  Selanjutnya dibuat menjadi 7 macam kombinasi; bubur merah, bubur putih, bubur merah silang putih, putih silang merah, bubur putih tumpang merah, merah tumpang putih, baro-baro (bubur putih ditaruh sisiran gula merah dan parutan kelapa secukupnya).
11. Membuat teh tubruk dan kopi tubruk. Di tambah rujak degan (klamud) menggunakan air kelapa ditambah gula merah dan garam secukupnya. Sajikan dalam gelas atau cangkir tetapi jangan ditutup.


1. Buatlah “sate”
terdiri dari (urutkan dari bawah); cabe merah (posisi horizontal), bawang merah, telur rebus utuh dikupas kulitnya (posisi vertical), dan cabe merah posisi vertical (lihat dalam gambar).  “Sate” ditancapkan di pucuk tumpeng.
Maknanya ; kehidupan ini penuh dengan pahit, getir, pedas, manis, gurih. Untuk menuju kepada Hyang Maha Tunggal banyak sekali rintangannya. Sate ditancapkan di pucuk tumpeng mengandung pelajaran bahwa untuk mencapai kemuliaan hidup di dunia (kemuliaan) dan setelah ajal (surga atau kamulyan sejati) semua itu tergantung pada diri kita sendiri. Jika meminjam istilah, habluminannas merupakan sarat utama dalam menggapai habluminallah. Hidup adalah perbuatan nyata. Kita mendapatkan ganjaran apabila hidup kita bermanfaat untuk sesama manusia, sesama makhluk Tuhan yang tampak maupun yang tidak tampak, termasuk binatang dan lingkungan alamnya.
2. Nasi tumpeng dicetak kerucut besar di bawah runcing di bagian atas. Tumpeng letakkan tepat di tengah-tengah kalo.
Maknanya ; nasi tumpeng sebagai wujud doa, sekaligus keadaan di dunia ini. Segala macam dan ragam yang ada di dunia ini adalah bersumber dari Yang Satu. Dilambangkan sebagai tumpeng berbentuk kerucut di atas. Makna lainnya bahwa segala macam doa merupakan upaya sinergisme kepada Tuhan YME. Oleh sebab itu, di bagian bawah tumpeng bentuknya lebar dan besar, semakin ke atas semakin kerucut hingga bertemu dalam satu titik. Satu titik itu menjadi pucuk atau penyebab dari segala yang ada (causa prima) melambangkan eksistensi Tuhan sebagai episentrum dari segala episentrum.
3. Tujuh macam sayur ditata mengelilingi tumpeng serta bumbu gudangan/urap diletakkan di antaranya. Makna 7 macam sayur sudah saya ungkapkan di atas. Sayur di tata mengelilingi tumpeng. Tumpeng sebagai pusatnya energy ada di tengah. Energy diisi dengan segala hal yang positif seperti harmonisasi symbol angka 7 (nyuwun pitulungan).
4. Telur rebus boleh utuh atau dibelah menjadi dua, ditata mengelilingi nasi tumpeng (lihat gambar).
Maknanya : telur merupakan asal muasal terjadinya makhluk hidup. dalam serat Wedhatama karya Gusti Mangkunegoro ke IV, telur melambangkan proses meretasnya kesadaran ragawi (sembah raga) menjadi kesadaran ruhani (sembah jiwa). Dua kesadaran itu akan menghantarkan menjadi menusia yang sejati (sebagai kiasan dari proses menetas menjadi anak ayam). Dalam cerita pewayangan telur juga melambangkan proses terjadinya dunia ini. Kuning telur sebagai perlambang dari cahya sejati (manik maya), putih telur sebagai rasa sejati (teja maya). Keduanya ambabar jati menjadi Kyai Semar. Dengan perlambang telur, kita diharapkan selalu eling sangkan (ingat asal muasal), menghargai dan memahami eksistensi sang Guru Sejati kita yang tidak lain adalah sukma sejati yang dilimput oleh rasa sejati dan disinari sang cahya sejati. Inilah unsur  Tuhan yang ada dalam diri kita. Dan yang paling dekat; adoh tanpa wangenan, cedak tanpa senggolan (jauh tanpa jarak, dekat tanpa bersentuhan). Lebih dekat dari urat leher. Inilah salah satu sang Pamomong yang kita hargai eksistensinya melalui bancakan weton.
5. Kalo diletakkan di atas cobek (kalo dialasi dengan cobek).
Maknanya : Cobek merupakan makna dari bumi (tanah) tempak kita berpijak. Nasi tumpeng dan segala isinya yang diletakkan dalam kalo jika tidak dialasi cobek bisa terguling. Hal ini mensyiratkan makna hendaknya menjalani hidup di dunia ini ada keseimbangan atau harmonisasi antara jasmani dan rohani. Antara unsur bumi dan unsur Tuhan. Antara kebutuhan raga dengan kebutuhan jiwa, sehingga menjadi manusia sejati yang meraih kemerdekaan lahir dan kemerdekaan batin.
6. Daun pisang dihias sedemikian rupa sesuai selera sebagai alas meletakkan tumpeng dan sayuran. Daun yang hijau adalah lambang kesuburan dan pertumbuhan. Maknanya adalah pengharapan doa negeri kita maupun pribadi kita selalu diberkati Tuhan sebagai negeri yang subur makmur, ijo royo-royo, kita menjadi pribadi yang subur makmur, dapat menciptakan kesuburan bagi alam sekitar dan kepada sesama makhluk hidup.
7. Sisa guntingan atau potongan daun pisang, hendaknya diletakkan di antara cobek dengan kalo. Jangan lupa letakkan uang logam bersama sampah sisa potongan daun pisang. Hal ini bermakna segala macam “sampah kehidupan”, sebel sial, sifat-sifat buruk ditimbun atau dikendalikan oleh segala macam perilaku kebaikan sebagaimana tersirat di dalam seluruh isi kalo. Uang logam merupakan perlambang dari harta duniawi. Hal ini mengandung pepeling (peringatan) bahwasanya harta karun dan segala macam perhiasan duniawi ibarat sampah tidak akan berharga apa-apa jika tidak digunakan sebagai sarana laku prihatin. Hal itu menjadikan harta kita tak ubahnya seperti sampah yang mengotori kehidupan kita. Maka, jadilah orang kaya harta yang selalu prihatin. Manfaatkan harta kita untuk memberi dan menolong orang lain yang sangat butuh pertolongan dan bantuan, agar tangan kita lebih mampu “telungkup”, agar jangan sampai kita menjadi orang-orang fakir yang telapak tangannya selalu tengadah dan menjadi beban orang lain.
8. Kembang setaman ditaruh dalam mangkok/baskom isi air mentah. Jika ingin menambah dengan dupa ratus / semacam “dupa manten” bisa dibakar sekalian pada saat merapal doa dan japa mantra.
Setelah seluruh uborampe bancakan weton selesai dibuat. Seluruh ubo rampe bancakan diletakkan di dalam kamar yang sedang dibancaki weton. Selanjutnya dirapal mantra dan doa, usahakan yang merapal mantra atau doa seorang pepunden anda yang masih hidup. Misalnya orang tua anda, bude, bulik, atau orang yang anda tuakan/hormati. Adapun doa dan rapalnya secara singkat dan sederhana sbb :

“Kyai among nyai among
, ngaturaken pisungsung kagem para leluhur ingkang sami nurunaken jabang bayine…. (diisi nama anak/orang yang diwetoni) mugi tansah kersa njangkung lan njampangi lampahipun, dados lare/tiyang ingkang tansah hambeg utama, wilujeng rahayu, mulya,  sentosa lan raharja. Wilujeng rahayu kang tinemu, bondo lan bejo kang teko. Kabeh saka kersaning Gusti”.
(Kyai among nyai among, perkenankan menghaturkan persembahan untuk para leluhur yang menurunkan jabang bayi ….(sebut namanya), semoga selalu membimbing, mengarahkan setiap langkahnya, agar menjadi orang yang berbudi pekerti luhur,  selamat dan mulia dunia akhirat. Selamat selalu didapat, sukses dan keberuntungan selalu datang. Semua atas izin Tuhan)

Setelah bancakan dihaturkan, tinggalkan sebentar sekitar 10-20 menit lalu dihidangkan di ruang makan atau diedarkan ke para tetangga untuk dimakan bersama-sama.  Demikian share saya ttg bancakan weton, semoga bermanfaat bagi siapapun yang membutuhkan.

Rabu, 14 Desember 2011

Sejarah Hånåcåråkå

Aksårå Hånåcåråkå.
Aksårå Hånåcåråkå ( utåwå ) iku sarupaníng aksårå síng kaanggo ing Tanah Jåwå lan saubêngé kåyå tå ing Madurå, Bali, Lómbók lan ugå Tatar Sundhå.
Aksårå Hånåcåråkå iku ugå diarani aksårå Jåwå nangíng sajatiné ukårå iki kurang srêg amargå aksårå Jåwå iku warnané akèh saliyané iku aksårå iki ora namúng diênggo nulís båså Jåwå waé.
Aksårå iki uga diênggo nulís båså Sangskrêta, båså Arab, båså Bali, båså Sundhå, basa Madurå, båså Sasak lan ugå båså Mêlayu.
Nangíng ing artikêl iki ukårå Hånåcåråkå lan aksårå Jåwå diênggo loro-loroné lan yèn ånå ukårå aksårå Jåwå síng dirujúk iku aksårå Hånåcåråkå.
Aksårå Hånåcåråkå kagólóng aksårå jinis abugida utåwå hibridha antårå aksårå silabik lan aksårå alfabèt.
Aksårå silabik iki têgêsé yèn sabên aksårå ugå nyandhang sawijiníng swårå. Hanacaraka kalêbu kulåwargå aksårå Brahmi síng asalé såkå Tanah Hindhústan.
Yèn bêntúké, aksårå Hånåcåråkå ånå wís kåyå saiki wiwít minimal abad kapíng 17.
Aksårå Hånåcåråkå iki jênêngé dijupúk såkå limang aksårå wiwitané.
Étimologi lan lêgèndha asalAksårå Hånåcåråkå jênêngé dijupúk såkå urutan limang aksårå wiwítan iki síng uniné "hånå cåråkå".
Urutan dhasar aksårå Jåwå nglêgêna iki cacahé ånå róngpulúh lan nglambangaké kabèh foném båså Jåwå.
Urutan aksårå iki kåyå mêngkéné:



hå nå cå rå kå
då tå så wå lå
på dhå jå yå nyå
må gå bå thå ngå
Urutan iki uga biså diwåcå dadi ukårå-ukårå:
"Hånå cåråkå" têgêsé "Ånå utusan"
"Dåtå såwålå" têgêsé "Pådhå garêjêgan"
"Pådhå jåyånyå" têgêsé "Pådhå digjayané"
"Mågå båthångå" têgêsé "Pådhå dadi bathang".
Urutan ukårå iki digawé miturút lêgèndha yèn aksårå Jåwå iku diastå déníng Aji Såkå såkå Tanah Hindhústan mênyang Tanah Jåwå.
Banjúr Aji Såkå ngarang urutan aksårå kåyå mêngkéné kanggo mèngêti róng pånåkawané síng sêtyå nganti pati: Dorå lan Sêmbådå.
Loroné mati amêrgå ora bisa mbúktèkaké dhawuhé sang ratu.
Mulå Aji Såkå banjúr nyiptakaké aksårå Hånåcåråkå supåyå biså kanggo nulís layang.

Caritané kåyå mêngkéné:
Kacaritå ing jaman mbiyèn ånå wóng såkå Tanah Hindhústan anóm jênêngé Aji Såkå.
Dhèwèké putrané ratu, nangíng kêpéngín dadi pandhitå síng pintêr.
Kasênêngané mulang kawrúh rupå-rupå. Dhèwèké banjúr péngín lunga mêncaraké ngèlmu kawruh ing Tanah Jåwå.
Banjúr anuju sawijiníng dinå Aji Såkå sidå mangkat mênyang Tanah Jåwå, karo abdiné papat síng jênêngé Dugå, Prayogå, Dorå lan Sambådå. Barêng têkan ing Pulo Majêthi pådhå lèrèn.
Aji Såkå banjúr nilar abdiné loro; Dorå lan Sambådå ing púlo iku.
Déné Aji Såkå karo Dugå lan Prayogå arêp njajah Tanah Jåwå dhisík.
Dorå lan Sambådå diwêlíng orå olèh lungå såkå kono. Saliyané iku abdi loro wau dipasrahi kêrís pusakané, didhawuhi ngrêkså, ora olèh diêlúngaké marang såpå-såpå.
Aji Såkå banjúr tindak karo abdiné loro mênyang ing Tanah Jåwå. Njujúg ing nêgårå Mêndhang Kamolan.
Síng jumênêng ratu ing kono ajêjulúk Prabu Déwåtå Cêngkar. Sang prabu iku sênêngané dhahar dagingé wóng. Kawulané akèh síng pådhå wêdi banjúr pådhå ngalíh mênyang nêgara liya. Patihé ngaran Kyai Tênggêr.
Kacarita Aji Såkå ånå ing Mêndhang Kamolan jumênêng guru, wóng-wóng pådhå mlêbu dadi siswané.
Pårå siswané pådhå trêsna marang Aji Såkå amêrga dhèwèké sênêng têtulúng.
Nalika sêmana Aji Såkå móndhók nèng omahé nyai råndhå Sêngkêran dipèk anak karo nyai råndhå.
Kyai patíh karo nyai råndhå iyå wís dadi siswané Aji Såkå.
Anuju sawijiníng dinå sang prabu Déwåtå Cêngkar dukå bangêt ora wóng manèh síng biså didhahar.
Aji Såkå banjúr sagúh dicaósaké sang nåtå dadi dhaharané.
Sang nyai råndhå lan patíh dadi kagèt bangêt.
Nangíng Aji Såkå cêlathu yèn wóng loro iku ora usah kuwatír yèn dhèwèké ora bakal mati.
Banjúr Aji Såkå diatêraké ngadhêp prabu Déwata Cêngkar.
Prabu Déwåtå Cêngkar yå rumångså éman lan kêrså ngangkat Aji Såkå dadi priyayi, nangíng Aji Såkå ora gêlêm. Ånå siji panyuwuné, yåiku nyuwún lêmah saikêt jêmbaré. Síng ngukúr kudu sång prabu dhéwé.
Sang prabu Déwåtå Cêngkar iyå banjúr nglilani.
Nuli wiwít ngukúr lêmah diastå dhéwé.
Ikêté Aji Såkå dijèrèng. Ikêté tansah mulúr baé, dadi åmbå sêrtå dåwå. Iya dituti waé déníng sang prabu.
Nganti nótóg ing sêgårå kidúl. Barêng wís mèpèd ing pinggír sêgårå, ikêté dikêbútaké.
Déwåtå Cêngkar katút mlêsat kêcêmplúng ing sêgårå.
Malíh dadi båyå putíh, ngratóni saisiníng sêgårå kidúl.
Wóng-wóng ing Mêndhang Kamolan pådhå bungah.
Awít ratuné síng diwêdèni wís sírnå.
Sêka panyuwuné wóng akèh. Aji Saka nggantèni jumênêng ratu ånå ing nêgårå Mêndhang Kamolan ajêjulúk Prabu Jåkå, iya prabu Widåyåkå.
Déné patihé isíh lêstari kyai patíh Tênggêr. Si Dugå lan si Prayogå didadèkaké bupati, ngarané tumênggúng Dudugå lan tumênggung Prayogå.
Sang prabu Jåkå, iyå sang prabu Widåyåkå nimbali si Dorå lan si Sambadå.
Kacarita sang prabu Widåyåka, pinuju miyós siniwåkå. Diadhêp kyai patíh sartå pårå bupati. Sang prabu kèngêtan abdiné síng didhawuhi ngrêkså pusåkå kêrís ånå ing Pulo Majêthi.
Ndangu marang Dudugå lan Prayogå kêpriyé wartané si Dorå lan si Sêmbådå. Prayogå lan Dudugå ora bisa mangsuli awit wís suwé ora krungu åpå-åpå.
Kacarita si Dorå lan si Sambådå sing kari ånå ing Pulo Majêthi.
Wóng loro iku wís pådhå krungu pawårtå manåwå gústiné wís jumênêng ratu ånå ríng Mêndhang Kamolan.
Si Dorå ngajak sowan nangíng si Sambådå ora gêlêm awít wêdi nêrak wêwalêré gústiné, ora parêng lungå-lungå sêkå pulo Majêthi, yèn ora tinimbalan.
Nangíng si Dorå nékad arêp sowan dhéwé.
Si Sambådå ditilapaké. Banjúr mangkat ijèn waé.
Ånå ing dalan si Dorå kapêthúk karo tumênggúng Dudugå lan Prayogå. Utusan loro mau banjúr diajak bali déníng si Dorå.
Awit si Sambadå dijak ora gêlêm.
Wóng têlu banjúr sowan ing ngarsané sang prabu.
Sang Prabu ndangu si Sêmbådå ånå ing ngêndi lan diwangsuli yèn dhèwèké ora gêlêm diajak.
Mirêng aturé si Dorå, sang prabu dukå bangêt, lali dhawuhé dhéwé mbiyèn.
Banjúr Dorå, didhawuhi bali mênyang pulo Majêthi lan nimbali si Sambådå.
Yèn mêkså ora gêlêm didhawuhi dirampungi lan kêrisé dibalèkaké.
Dorå sanalikå mangkat. Ing pulo Majêthi kêtêmu karo Sêmbådå. Kåndhå yèn mêntas sowan gústiné.
Saiki diutús nimbali si Sambådå. Pusåkå kêrís didhawuhi nggåwå.
Nangíng si Sambådå ora ngandêl marang kandhané si Dorå. Banjúr pådhå padu ramé.
Suwé-suwé pådhå kêkêrêngan, dêdrêg ora ånå síng kalah, awít pådhå digdayané.
Wasånå banjúr pådhå nganggo gaman kêrís pådha gênti nyudúk. Wêkasan pêrangé sampyúh.
Si Dorå lan si Sambådå pådhå mati kabèh.
Sang Prabu ngarêp-arêp têkané si Dorå. Wís sawêtårå suwéné têkå durúng sowan-sowan mångkå didhawuhi énggal bali.
Sang prabu nimbali tumênggúng Dudugå lån Pråyogå. Didhawuhi nusul si Dorå mênyang pulo Majêthi.
Sanalikå banjúr mangkat.
Barêng Dudugå lan Prayogå wís têkå ing pulo mau, kagèt bangêt déné si Dorå lan si Sambådå kêtêmu wís pådhå mati kabèh.
Tilasé mêntas pådhå kêkêrangan pådhå tatu kênå ing gaman. Pusåkå kêrís síng dadi rêrêksan gumléthak ånå ing sandhingé.
Pusåkå banjúr dijupuk arêp diatúraké marang gústiné.
Dudugå lan Prayogå banjúr bali sowan ing ngarsané gústiné lan mratélaké kahanané.
Sang Prabu Widåyåkå kagèt bangêt mirêng pawarané, awít pancèn kaluputané dhéwé wís kêsupèn pandhawuhé.
Banjúr sang prabu nganggít aksårå Jåwå nglêgêna kanggo mèngêti abdiné loro iku.
Aksårå Hånåcåråkå iku babóné aksårå Brahmi síng asalé såkå Hindhústan.
Ing anak bawånå Indhia iku akèh rupa-rupaníng aksårå. Salah sijiníng aksårå síng wigati iku aksara Pallawa saka Indhia sisih kidúl.
Aksårå iki inaranan mêngkéné miturút jênêngé salah siji karatón ing Indhia kidúl yaiku Karajan Pallawa.
Aksårå Pallawa iki digunakaké ing kiwa têngêné abad kapíng-4 Masèhi.
Ing Nusantårå patilasan sajarah arupå prasasti Yupå saka Kutai, Kalimantan Wétan tinulis nganggo aksårå Pallawa.
Aksårå Pallawa iki dadi babóné kabèh aksårå Nusantårå, antarané aksårå Hånåcåråkå ugå aksårå Réncóng (aksara Kaganga), Surat Batak, aksara Makassar lan aksara Baybayin (aksarané saka Filipina).
Professor J.G. de Casparis, yaiku pakar paléografi utåwå ahli ngèlmu sajarah aksårå misuwúr såkå Walåndå mérang sajarah tuwuhíng aksårå Hånåcåråkå ing limang mångså utåmå:
1. Aksårå Pallawa
2. Aksårå Kawi Wiwitan
3. Aksårå Kawi Pungkasan
4. Aksårå Måjåpait
5. Aksårå Pasca-Majåpåit utawa Hånåcåråkå
Aksårå Pallawa iki digunakaké ing Nusantårå såkå abad kapíng 4 nganti kurang luwíh abad kapíng 8.
Banjúr aksårå Kawi Wiwitan diênggo såkå abad kapíng 8 nganti abad kapíng 10 utamané ing Jawa Têngah.

Aksara Kawi Pungkasan digunakaké sawisé abad kapíng 10 nganti kirå-kirå abad kapíng 13 ing Jåwå Wétan.
Banjúr aksårå Måjåpait iku digunakaké ing Jåwå Wétan nalikå jaman Måjåpait.
Banjúr sawisé karajan Måjåpait binêdhah, muncúl aksara Hånåcåråkå modhèrn síng ugå kêrêp diarani aksårå Jåwå.
Aksårå ini banjúr dadi kanggo ing saubêngíng Tanah Jawa, Tatar Sundhå, Madurå, lan Bali.
Kabèh-kabèh aksårå iki dadi sakêlómpók lan isíh sakêrabat.
Nangíng sajatiné ugå ånå aksårå liyané ing tanah Jåwå síng luwíh lawas lan isíh diênggo.
Aksårå iki jênêngé dadi aksara Budå.


Muncúlé Aksårå Hånåcåråkå Anyar


Sawisé jaman Måjåpait, muncúl jaman Islam lan uga jaman Kolonialismê Kulón ing Tanah Jawa.
Ing jaman iki banjúr muncúl naskah-naskah manuskrip kapisan síng wís nganggo aksårå Hånåcåråkå Anyar.
Naskah-naskah iki ora namúng katulís ing gódhóng palêm (róntal utawa nipah) manèh, nangíng ugå ing dluwang utawa kêrtas lan awujúd buku utåwå codex ("kodhèks").
Naskah-naskah iki ditêmókaké ing tlatah pasisir lór Jåwå lan pådhå digawani mênyang Eropah ing abad kapíng 16 utåwå 17.
Bêntuké aksårå Hånåcåråkå Anyar iki wís bédå karo aksårå sadurungé kayåtå aksårå Måjåpaitan.
Prabédan utåmå iku anané serif tambahan ing aksara Hånåcåråkå Anyaran.
Aksårå-aksårå Hånåcåråkå awal iki bêntúké mèmpêr kabèh såkå Bantên ing sisíh kulón nganti têkan Bali.
Nangíng banjúr akiré pirang-pirang tlatah ora nganggo aksårå Hånåcåråkå lan pindhah nganggo Pégón lan aksårå Hånåcåråkå gaya Surakartan síng dadi baku.
Nangíng saka kabèh aksårå iku, aksara Bali síng bêntúké têtêp padha nganti ing abad kapíng 20.

Aksårå Hånåcåråkå ing médhia céthak

Aksårå Hånåcåråkå wiwít digunakaké kanggo nyithak buku ing púrwané abad kapíng 19.
Tèknik médhia cithak wiwít ditêpangi púrwané ing Eropah ing têngahé abad kapíng 15 ing kiwå-têngêné tahún 1450.
Síng kapisan ngriptå iku Johannes Gutenberg såkå Jêrman.
Måwå sistém Gutenberg iki, dadi sawijiníng tèks ora usah ditulís måwå tangan manèh déníng sawijiníng juru tulís nangíng bisa dicithak.
Akibaté buku-buku biså diprodhúksi massal lan éwadéné biså diêdól luwíh murah lan panyêbarané luwíh jêmbar.
Bångså Éropah wís pådhå nêkani Nuswantårå wiwít taun 1511, lan manyinaóni båså-båså pribumi ing tlatah kéné, nangíng gagasan kanggo nyithak buku-buku måwå aksårå pribumi lagi muncúl ing purwané abad kapíng 19.
Sadurungé ånå aksårå síng marêmi brayat umúm, ana sawêtårå gagasan-gagasan síng muncúl prêkårå aksårå Jåwå cithak síng apík såkå sumbêr síng séjé-séjé.
Ing kålå sêmono pangriptå aksårå Jåwå cithak iki dadi diprakarsani déníng kêlómpók síng séjé-séjé yaiku: Raffles, pamaréntah Hindhia-Walåndå, kaúm panyêbar agåmå Kristên (zending), lan pårå ngèlmuwan.
Kanggo aksårå Hånåcåråkå Jåwå, priyayi síng kapisan nggawé cithakan aksårå Hånåcåråkå iku Thomas Stamford Raffles ing bukuné síng misuwúr The History of Java (Raffles 1817).
Nangíng aksårå cithak Jåwå iki namúng kanggo ilustrasi ing bukuné waé, ora kanggo nyithak tèks síng akèh.

Van Vlissingen
Sawisé iku ing taún 1820, kêpala Algemeene Secretarie ing Batavia, J.C. Baud mutúsaké supåyå ånå mêsín cithak måwå aksårå Jåwå. Baud banjúr awèh paréntah marang sawijiníng pakar båså Jåwå Walanda síng nalika iku manggón ing Suråkårtå, P. van Vlissingen supåyå biså ngrancang sawijiníng aksårå cithak síng praktis tur apik. Van Vlissingen sarujúk lan nggawé sawijiníng modhèl aksarané. Nangíng dhèwèké ing taún 1821 mulíh mênyang Walåndå.
Sênadyan mêngkono pårå pênggêdhé ing Batavia sênêng marang rancangané lan Van Vlissingen síng wís ing Walåndå dikirim layang supåyå nêrusaké gayuhé.
Banjúr wusanané ing Juni 1825 aksårå cithak iki têkan ing Batavia. Wóng-wóng ing kånå pådhå sênêng amêrgå aksarané biså kanggo nyithak tulisan tênanan lan tuladhané yå aksårå síng kaanggêp apík dhéwé kålå iku: aksårå Hånåcåråkå gaya kêratónan Suråkårtå. Nangíng sênadyan mêngkono ugå ånå kritik marang aksårå cithak iki. Aksarané kêcilikên ukurané minångkå rélatif lan akèh pådå-pådå såhå sandhangan síng ora mèlu kacipta dadi aksårå iki ora bisa kanggo nyithak tèks-tèks kasusastran, namúng kanggo nyithak tèks-tèks biyåså waé ing koran.
Kamångkå rêncanané mbiyèn olèhé nggawé aksårå cithak iku supåyå bisa nyithak buku-buku kasusastran

Brückner
Banjúr kurang luwíh ing mångså síng pådhå ånå sawijiníng juru dakwah Protèstan (Walanda zendeling) såkå Jêrman ajênêng Gottlob Brückner síng nduwé kapénginan nêrjêmahaké Alkitab ing båså Jåwå. Brückner wís manggón wiwít taún 1814 ing Sêmarang. Alíhbåså Alkitabé wís rampúng ing taún 1821, banjúr dhèwèké kêpéngín nyithak naskahé lan takón mênyang pamaréntah kolonial åpå bisa nggawé mêsín cithak aksårå Jåwå ora.
Nangíng suwé ora olèh réaksi wusanané dhèwèké nggawé aksara cithakan dhéwé síng rampúng ing taún 1831.
Aksarané iki saliyané kanggo nyithak pratélan Alkitabé, uga diênggo nyithak pamflèt-pamflèt Kristên síng diêdúmaké ing Sêmarang taún 1831.
Ing Sêmarang pårå pêdunúng pribumi tibaké sênêng bangêt marang tulisané nganti pamaréntah kolonial dadi wêdi lan mbêslah åpå síng turah.
Banjúr Brückner ugå olèh pèngêtan yèn Alkitab-Alkitabé ugå bakal dibêslah yèn diêdúmaké.
Wujúd aksårå Jåwå gaya Brückner iki ditliti déníng pårå pakar sastrå Jåwå kålå iku yaiku C.F. Winter lan J.F.C. Gericke.
Pårå pakar iki kúrang sênêng marang modhèl aksarané Brückner amêrga kaanggêp dudu cangkókan gaya Kêratón Suråkartan síng kålå iku kaanggêp apík dhéwé.

Roorda van Eysinga lan Radèn Saleh
Roorda van Eysinga, sawijiníng pakar sastrå Jåwå ing nêgårå Walåndå uga tau ditugasi nggawé aksara cithak.
Roorda van Eysinga banjúr ngrancang sawijiníng aksårå, rinéwangan déníng Radèn Salèh.
Aksårå riptan Roorda van Eysingan iki rampúng ing taún 1835. Nangíng kasilé dikritik amêrgå rupané isíh ålå lan wujúdé wujúd aksårå pêsisiran, dudu aksårå gaya Suråkartan.

Roorda
Taco Roorda iku síng kapisan biså nggawé aksårå Jåwå síng biså dianggêp suksès amêrgå aksarané ditampa déning pårå pakar sajaman lan têtêp diênggo nganti luwih saka 100 taún.
Aksårå Roorda iki rampúng ing taún 1838.
Taco Roorda iku sajatiné pakar båså Wétan Têngah kaya ta båså Ibrani, budaya Wétan Têngah, såhå tafsir Prajanjian Lawas.
Nangíng dhèwèké dadi profésor båså lan sastrå Jåwå wiwít taún 1842 ing Delftsche Academie, akadêmi studi ‘Hinda’ ing Delft. Sawisé lêmbaga iki dibubaraké ing taún 1864, dhèwèké dadi profésor ing lêmbaga pênêrusé ing Leiden síng diarani Rijksinstelling tot Opleiding van Indische Ambtenaren utåwå 'Lêmbaga Negårå bagi Pêndidikan Pêgawai Nêgêri Hindia'.


Kómputêrisasi aksårå Hånåcåråkå

Wiwít dåsåwårså 1980-an pungkasan lan purwané 1990-an, aksårå Hånåcåråkå ugå digawèkaké fónt ing kanggo panrapan ing kómputêr. Salah siji síng kapisan nggawé fónt aksårå Jåwå iku Willem van der Molen, dhosèn filologi lan sastrå Jåwå Kuna ing Univèrsitas Leiden.

Hånåcåråkå ugå diênggo nulís båså-båså liyå, saliyané båså Jåwå. Conto síng cêthå bangêt tamtuné båså Bali.
Båså Bali Kunå ditulís nganggo sawijiníng aksårå síng biså diarani séjé.
Nangíng mbókmênåwå sawisé jaman Måjåpait, aksårå Hånåcåråkå gaya Jåwå dadi kanggo nganti sêpréné.
Dadi aksårå Bali modhèrn iku yèn dirunút sarasilahé asalé såkå aksårå Måjåpait lan ora såkå aksårå Bali Kuna.
Sabanjúré aksårå Hånåcåråkå síng diarani Carakan ugå dadi diênggo ing Tatar Sundhå wiwít abad kapíng 16 nalikå Mataram mbêdhah karajan Sundhå lan ngasta budåyå Jåwå såhå agama Islam ing Jåwå Kulón.
Sadurungé iku wóng-wóng Sundhå nganggo aksårå Sundhå síng sênadyan isíh sakrabat karo aksårå Hånåcåråkå, nangíng séjé rupané. Aksårå Sundhå iki luwíh cêdhak lan luwíh mèmpêr karo aksårå Budå.
Carakan disinaóni ing Tatar Sundhå nganti sawisé Pêrang Donya II. Ing sawêtårå pirang taún pungkasan iki ånå gêrakan ing Tatar Sundhå síng nyobå nrapaké panggunané aksårå Sundhå Kunå manèh.
Têrús såkå pulo Madurå akèh ditêmókaké naskah-naskah manuskrip ing róntal utåwå dluwang.
Akèhé pancèn tinulís ing båså Jåwå, nangíng aksårå Hånåcåråkå ugå ditrapaké kanggo nulís båså Madurå.
Utamané wiwit ing abad kapíng 19. Såkå pungkasané abad kapíng 19 lan wiwitan abad kapíng 20 ugå akèh buku-buku måwå båså Madurå ing aksårå Hånåcåråkå síng kacithak.
Banjúr ing wusånå, aksårå Hånåcåråkå ugå kadhangkålå diênggo nulís båså Mêlayu.
Biyasané wujudé layang síng tinulís déníng wóng-wóng síng dudu kalêbu wóng pribumi ing Tanah Jåwå utåwå Bali lan dadi ora nguwasani båså lokal.



Kitab Negara Kertagama (terjemahan)





Om awignam astu namas sidam"
Sembah puji dari hamba yang hina ini ke bawah telapak kaki sang pelindung jagat.
Raja yang senantiasa tenang tenggelam dalam samadi, raja segala raja, pelindung orang miskin, mengatur segala isi negara.
Sang dewa-raja, lebih diagungkan dari yang segala manusia, dewa yang tampak di atas tanah.
Merata, serta mengatasi segala rakyatnya, nirguna bagi kaum Wisnawa, Iswara bagi Yogi, Purusa bagi Kapila, hartawan bagi Jambala, Wagindra dalam segala ilmu, dewa Asmara di dalam cinta berahi.
Dewa Yama di dalam menghilangkan penghalang dan menjamin damai dunia.

Demikianlah pujian pujangga sebelum menggubah sejarah raja, kepada Sri Nata Rajasa Nagara, raja Wilwatikta yang sedang memegang tampuk tahta.
Bagai titisan Dewa-Batara beliau menyapu duka rakyat semua.
Tunduk setia segenap bumi Jawa bahkan seluruh nusantara.
Pada tahun 1256 Saka, beliau lahir untuk jadi pemimpin dunia.
Selama dalam kandungan di Kahuripan telah tampak tanda keluhuran.
Bumi gonjang-ganjing, asap mengepul-ngepul, hujan abu, guruh halilintar menyambar-nyambar.
Gunung Kelud gemuruh membunuh durjana, penjahat musnah dari negara.
Itulah tanda bahwa Sanghyang Siwa sedang menjelma bagai raja besar.
Terbukti, selama bertakhta seluruh tanah Jawa tunduk menadah perintahnya.
Wipra, satria, waisya, sudra, keempat kasta sempurna dalam pengabdian.
Durjana berhenti berbuat jahat takut akan keberanian Sri Nata.
Sang Sri Padukapatni yang ternama adalah nenek Sri Paduka.
Seperti titisan Parama Bagawati memayungi jagat raya.
Selaku wikuni tua tekun berlatih yoga menyembah Buda.
Tahun 1272 kembali beliau ke Budaloka.
Ketika Sri Padukapatni pulang ke Jinapada dunia berkabung.
Kembali gembira bersembah bakti semenjak Sri Paduka mendaki takhta.
Girang ibunda Tri Buwana Wijaya Tungga Dewi mengemban takhta bagai rani di Jiwana resmi mewakili Sri Narendraputra.
Beliau bersembah bakti kepada ibunda Sri Padukapatni.
Setia mengikuti ajaran Buda, menyekar yang telah mangkat.
Ayahanda Sri Paduka Prabu ialah Prabu Kerta Wardana.
Keduanya teguh beriman Buda demi perdamaian praja.
Paduka Prabu Kerta Wardana bersemayam di Singasari.
Bagai Ratnasambawa menambah kesejahteraan bersama.
Teguh tawakal memajukan kemakmuran rakyat dan negara.
Mahir mengemudikan perdata bijak dalam segala kerja.
Putri Rajadewi Maharajasa, ternama rupawan.
Bertakhta di Daha, cantik tak bertara, bersandar enam guna.
Adalah bibi Sri Paduka, adik maharani di Jiwana.
Rani Daha dan rani Jiwana bagai bidadari kembar.

Laki sang rani Sri Wijayarajasa dari negeri Wengker.
Rupawan bagai titisan Upendra, mashur bagai sarjana.
Setara raja Singasari, sama teguh di dalam agama.
Sangat mashurlah nama beliau di seluruh tanah Jawa.
Adinda Sri Paduka Prabu di Wilwatikta :
Putri jelita bersemayam di Lasem.
Putri jelita Daha cantik ternama. Indudewi putri Wijayarajasa.
Dan lagi putri bungsu Kerta Wardana.
Bertakhta di Pajang, cantik tidak bertara.
Putri Sri Baginda Jiwana yang mashur.
Terkenal sebagai adinda Sri Paduka.
Telah dinobatkan sebagai raja tepat menurut rencana.
Laki tangkas rani Lasem bagai raja daerah Matahun.
Bergelar Rajasa Wardana sangat bagus lagi putus dalam daya raja dan rani terpuji laksana Asmara dengan Pinggala.
Sri Singa Wardana, rupawan, bagus, muda, sopan dan perwira bergelar raja Paguhan, beliaulah suami rani Pajang.
Mulia pernikahannya laksana Sanatkumara dan dewi Ida.
Bakti kepada raja, cinta sesama, membuat puas rakyat.
Bre Lasem menurunkan putri jelita Nagarawardani Bersemayam sebagai permaisuri Pangeran Wirabumi.
Rani Pajang menurunkan Bre Mataram Sri Wikrama Wardana bagaikan titisan Hyang Kumara, wakil utama Sri Narendra.

Putri bungsu rani Pajang memerintah daerah Pawanuhan.
Berjuluk Surawardani masih muda indah laksana lukisan.
Para raja pulau Jawa masing-masing mempunyai negara.
Dan Wilwatikta tempat mereka bersama menghamba Srinata.
Melambung kidung merdu pujian Sang Prabu, beliau membunuh musuh-musuh.
Bak matahari menghembus kabut, menghimpun negara di dalam kuasa.
Girang janma utama bagai bunga kalpika, musnah durjana bagai kumuda.
Dari semua desa di wilayah negara pajak mengalir bagai air.
Raja menghapus duka si murba sebagai Satamanyu menghujani bumi.
Menghukum penjahat bagai dewa Yama, menimbun harta bagaikan Waruna.
Para telik masuk menembus segala tempat laksana Hyang Batara Bayu.
Menjaga pura sebagai dewi Pretiwi, rupanya bagus seperti bulan.
Seolah-olah Sang Hyang Kama menjelma, tertarik oleh keindahan pura.
Semua para putri dan isteri sibiran dahi Sri Ratih.
Namun sang permaisuri, keturunan Wijayarajasa, tetap paling cantik paling jelita bagaikan Susumna, memang pantas jadi imbangan Sri Paduka.

Berputralah beliau putri mahkota Kusuma Wardani, sangat cantik rupawan jelita mata, lengkung lampai, bersemayam di Kabalan.
Sang menantu Sri Wikrama Wardana memegang hakim perdata seluruh negara.
Sebagai dewa-dewi mereka bertemu tangan, menggirangkan pandang.
Tersebut keajaiban kota : tembok batu merah, tebal tinggi, mengitari pura.
Pintu barat bernama Pura Waktra, menghadap ke lapangan luas, bersabuk parit.
Pohon brahmastana berkaki bodi berjajar panjang, rapi berbentuk aneka ragam.
Di situlah tempat tunggu para tanda terus menerus meronda jaga paseban.
Di sebelah utara bertegak gapura permai dengan pintu besi penuh berukir.
Di sebelah timur : panggung luhur, lantainya berlapis batu putih-putih mengkilat.
Di bagian utara, di selatan pekan rumah berjejal jauh memanjang sangat indah.

Di selatan jalan perempat : balai prajurit tempat pertemuan tiap Caitra.
Balai agung Manguntur dengan balai Witana di tengah, menghadap padang watangan. Yang meluas ke empat arah, bagian utara paseban pujangga dan Mahamantri Agung. Bagian timur paseban pendeta Siwa-Buda yang bertugas membahas upacara.
Pada masa grehana bulan Palguna demi keselamatan seluruh dunia.
Di sebelah timur pahoman berkelompok tiga-tiga mengitari kuil Siwa.
Di selatan tempat tinggal wipra utama tinggi bertingkat menghadap panggung korban. Bertegak di halaman sebelah barat, di utara tempat Buda bersusun tiga.
Puncaknya penuh berukir, berhamburan bunga waktu raja turun berkorban.
Di dalam, sebelah selatan Manguntur tersekat dengan pintu, itulah paseban.
Rumah bagus berjajar mengapit jalan ke barat, disela tanjung berbunga lebat.
Agak jauh di sebelah barat daya: panggung tempat berkeliaran para perwira.
Tepat di tengah-tengah halaman bertegak mandapa penuh burung ramai berkicau.
Di dalam di selatan ada lagi paseban memanjang ke pintu keluar pura yang kedua.

Dibuat bertingkat tangga, tersekat-sekat, masing-masing berpintu sendiri.
Semua balai bertulang kuat bertiang kokoh, papan rusuknya tiada tercela.
Para prajurit silih berganti, bergilir menjaga pintu, sambil bertukar tutur.
Inilah para penghadap : pengalasan Ngaran, jumlahnya tak terbilang, Nyu Gading Jenggala-Kediri, Panglarang, Rajadewi, tanpa upama.
Waisangka kapanewon Sinelir, para perwira Jayengprang, Jayagung dan utusan Pareyok Kayu Apu, orang Gajahan dan banyak lagi.
Begini keindahan lapangan watangan luas bagaikan tak berbatas.
Mahamantri Agung, bangsawan, pembantu raja di Jawa, di deret paling muka. Bayangkari tingkat tinggi berjejal menyusul di deret yang kedua.
Di sebelah utara pintu istana di selatan satria dan pujangga.
Di bagian barat : beberapa balai memanjang sampai mercudesa.

Penuh sesak pegawai dan pembantu serta para perwira penjaga.
Di bagian selatan agak jauh: beberapa ruang, mandapa dan balai.
Tempat tinggal abdi Sri Baginda Paguhan bertugas menghadap.
Masuk pintu kedua, terbentang halaman istana berseri-seri.
Rata dan luas dengan rumah indah berisi kursi-kursi berhias.
Di sebelah timur menjulang rumah tinggi berhias lambang kerajaan itulah balai tempat terima tatamu Srinata di Wilwatikta.
Inilah pembesar yang sering menghadap di balai witana : Wredamentri, tanda Mahamantri Agung, pasangguhan dengan pengiring Sang Panca Wilwatikta : mapatih, demung, kanuruhan, rangga.
Tumenggung lima priyayi agung yang akrab dengan istana.
Semua patih, demung negara bawahan dan pengalasan.

Semua pembesar daerah yang berhati tetap dan teguh.
Jika datang berkumpul di kepatihan seluruh negara lima Mahamantri Agung, utama yang mengawal urusan negara.
Satria, pendeta, pujangga, para wipra, jika menghadap berdiri di bawah lindungan asoka di sisi witana.
Begitu juga dua darmadyaksa dan tujuh pembantunya.
Bergelar arya, tangkas tingkahnya, pantas menjadi teladan.
Itulah penghadap balai witana, tempat takhta yang terhias serba bergas.
Pantangan masuk ke dalam istana timur agak jauh dan pintu pertama.
Ke Istana Selatan, tempat Singa Wardana, permaisuri, putra dan putrinya.
Ke Istana Utara. tempat Kerta Wardana.
Ketiganya bagai kahyangan semua rumah bertiang kuat, berukir indah, dibuat berwarna-warni Cakinya dari batu merah pating berunjul, bergambar aneka lukisan.
Genting atapnya bersemarak serba meresapkan pandang menarik perhatian.
Bunga tanjung kesara, campaka dan lain-lainnya terpencar di halaman.
Teratur rapi semua perumahan sepanjang tepi benteng.
Timur tempat tinggal pemuka pendeta Siwa Hyang Brahmaraja.
Selatan Buda-sangga dengan Rangkanadi sebagai pemuka.
Barat tempat para arya Mahamantri Agung dan sanak-kadang adiraja.

Di timur tersekat lapangan menjulang istana ajaib.
Raja Wengker dan rani Daha penaka Indra dan Dewi Saci.
Berdekatan dengan istana raja Matahun dan rani Lasem.
Tak jauh di sebelah selatan raja Wilwatikta.
Di sebelah utara pasar: rumah besar bagus lagi tinggi.
Di situ menetap patih Daha, adinda Sri Paduka di Wengker.
Batara Narpati, termashur sebagai tulang punggung praja.
Cinta taat kepada raja, perwira, sangat tangkas dan bijak.
Di timur laut rumah patih Wilwatikta, bernama Gajah Mada.
Mahamantri Agung wira, bijaksana, setia bakti kepada negara.
Fasih bicara, teguh tangkas, tenang, tegas, cerdik lagi jujur.
Tangan kanan maharaja sebagai penggerak roda negara.
Sebelah selatan puri, gedung kejaksaan tinggi bagus.
Sebelah timur perumahan Siwa, sebelah barat Buda.
Terlangkahi rumah para Mahamantri Agung, para arya dan satria.
Perbedaan ragam pelbagai rumah menambah indahnya pura.
Semua rumah memancarkan sinar warnanya gilang-cemerlang.
Menandingi bulan dan matahari, indah tanpa upama.
Negara-negara di nusantara dengan Daha bagai pemuka.
Tunduk menengadah, berlindung di bawah kuasa Wilwatikta.

Kemudian akan diperinci demi pulau negara bawahan, paling dulu Melayu: Jambi, Palembang, Toba dan Darmasraya.
Pun ikut juga disebut Daerah Kandis, Kahwas, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar dan Pane Kampe, Haru serta Mandailing, Tamihang, negara perlak dan padang Lawas dengan Samudra serta Lamuri, Batan, Lampung dan juga Barus.
Itulah terutama negara-negara Melayu yang telah tunduk. Negara-negara di pulau Tanjungnegara : Kapuas-Katingan, Sampit, Kota Ungga, Kota Waringin, Sambas, Lawai ikut tersebut.
Kadandangan, Landa, Samadang dan Tirem tak terlupakan. Sedu, Barune, Kalka, Saludung, Solot dan juga Pasir Barito, Sawaku, Tabalung, ikut juga Tanjung Kutei. Malano tetap yang terpenting di pulau Tanjungpura.

Di Hujung Medini, Pahang yang disebut paling dahulu.
Berikut Langkasuka, Saimwang, Kelantan serta Trengganu Johor, Paka, Muar, Dungun, Tumasik, Kelang serta Kedah Jerai, Kanjapiniran, semua sudah lama terhimpun.
Di sebelah timur Jawa seperti yang berikut: Bali dengan negara yang penting Badahulu dan Lo Gajah.
Gurun serta Sukun, Taliwang, pulau Sapi dan Dompo Sang Hyang Api, Bima. Seram, Hutan Kendali sekaligus.
Pulau Gurun, yang juga biasa disebut Lombok Merah.
Dengan daerah makmur Sasak diperintah seluruhnya.
Bantayan di wilayah Bantayan beserta kota Luwuk.
Sampai Udamakatraya dan pulau lain-lainnya tunduk.
Tersebut pula pulau-pulau Makasar, Buton, Banggawi, Kunir, Galian serta Salayar, Sumba, Solot, Muar. Lagi pula Wanda (n), Ambon atau pulau Maluku, Wanin, Seran, Timor dan beberapa lagi pulau-pulau lain.
Berikutnya inilah nama negara asing yang mempunyai hubungan Siam dengan Ayodyapura, begitu pun Darmanagari Marutma.
Rajapura begitu juga Singasagari Campa, Kamboja dan Yawana ialah negara sahabat.

Pulau Madura tidak dipandang negara asing.
Karena sejak dahulu menjadi satu dengan Jawa.
Konon dahulu Jawa dan Madura terpisah meskipun tidak sangat jauh.
Semenjak nusantara menadah perintah Sri Paduka, tiap musim tertentu mempersembahkan pajak upeti.
Terdorong keinginan akan menambah kebahagiaan.
Pujangga dan pegawai diperintah menarik upeti.
Pujangga-pujangga yang lama berkunjung di nusantara.
Dilarang mengabaikan urusan negara dan mengejar untung.
Seyogyanya, jika mengemban perintah ke mana juga, harus menegakkan agama Siwa, menolak ajaran sesat.
Konon kabarnya para pendeta penganut Sang Sugata dalam perjalanan mengemban perintah Sri Baginda, dilarang menginjak tanah sebelah barat pulau Jawa.
Karena penghuninya bukan penganut ajaran Buda.
Tanah sebelah timur Jawa terutama Gurun dan Bali, boleh dijelajah tanpa ada yang dikecualikan.
Bahkan menurut kabaran begawan Empu Barada, serta raja pendeta Kuturan telah bersumpah teguh.
Para pendeta yang mendapat perintah untuk bekerja, dikirim ke timur ke barat, di mana mereka sempat melakukan persajian seperti perintah Sri Nata.
Resap terpandang mata jika mereka sedang mengajar.
Semua negara yang tunduk setia menganut perintah.
Dijaga dan dilindungi Sri Nata dari pulau Jawa.
Tapi yang membangkang, melanggar perintah dibinasakan pimpinan angkatan laut yang telah mashur lagi berjasa.
Telah tegak teguh kuasa Sri Nata di Jawa dan wilayah nusantara.
Di Sri Palatikta tempat beliau bersemayam, menggerakkan roda dunia.
Tersebar luas nama beliau, semua penduduk puas, girang dan lega.
Wipra pujangga dan semua penguasa ikut menumpang menjadi mashur.
Sungguh besar kuasa dan jasa beliau, raja agung dan raja utama.
Lepas dari segala duka mengenyam hidup penuh segala kenikmatan.
Terpilih semua gadis manis di seluruh wilayah Jenggala Kediri.
Berkumpul di istana bersama yang terampas dari negara tetangga.
Segenap tanah Jawa bagaikan satu kota di bawah kuasa Sri Paduka.

Ribuan orang berkunjung laksana bilangan tentara yang mengepung pura.
Semua pulau laksana daerah pedusunan tempat menimbun bahan makanan.
Gunung dan rimba hutan penaka taman hiburan terlintas tak berbahaya.
Tiap bulan sehabis musim hujan beliau biasa pesiar keliling.
Desa Sima di sebelah selatan Jalagiri, di sebelah timur pura.
Ramai tak ada hentinya selama pertemuan dan upacara prasetyan.
Girang melancong mengunjungi Wewe Pikatan setempat dengan candi lima.
Atau pergilah beliau bersembah bakti ke hadapan Hyang Acalapati.
Biasanya terus menuju Blitar, Jimur mengunjungi gunung-gunung permai.

Di Daha terutama ke Polaman, ke Kuwu dan lingga hingga desa Bangin.
Jika sampai di Jenggala, singgah di Surabaya, terus menuju Buwun.
Pada tahun 1275 Saka, Sang Prabu menuju Pajang membawa banyak pengiring.
Tahun 1276 ke Lasem, melintasi pantai samudra.
Tahun 1279, ke laut selatan menembus hutan.
Lega menikmati pemandangan alam indah Lodaya, Tetu dan Sideman.
Tahun 1281 di Badrapada bulan tambah.
Sri Nata pesiar keliling seluruh negara menuju kota Lumajang.
Naik kereta diiring semua raja Jawa serta permaisuri dan abdi Mahamantri Agung, tanda, pendeta, pujangga, semua para pembesar ikut serta.

Juga yang menyamar, Empu Prapanca, girang turut mengiring paduka Maharaja.
Tak tersangkal girang sang kawi, putra pujangga, juga pencinta kakawin.
Dipilih Sri Paduka sebagai pembesar kebudaan mengganti sang ayah.
Semua pendeta Buda ramai membicarakan tingkah lakunya dulu.
Tingkah sang kawi waktu muda menghadap raja berkata, berdamping, tak lain. Maksudnya mengambil hati, agar disuruh ikut beliau ke mana juga.
Namun belum mampu menikmati alam, membinanya, mengolah dan menggubah.
Karya kakawin, begitu warna desa sepanjang marga terkarang berturut.
Mula-mula melalui Japan dengan asrama dan candi-candi ruk-rebah.
Sebelah timur Tebu, hutan Pandawa, Daluwang, Bebala di dekat Kanci.

Ratnapangkaja serta Kuti, Haji, Pangkaja memanjang bersambung-sambungan.
Mandala Panjrak, Pongglang serta Jingan.
Kuwu, Hanyar letaknya di tepi jalan.
Habis berkunjung pada candi pasareyan Pancasara, menginap di Kapulungan. Selanjutnya sang kawi bermalam di Waru, di Hering, tidak jauh dari pantai.
Yang mengikuti ketetapan hukum jadi milik kepala asrama Saraya.
Tetapi masih tetap dalam tangan lain, rindu termenung-menung menunggu.
Seberangkat Sri Nata dari Kapulungan, berdesak abdi berarak.
Sepanjang jalan penuh kereta, penumpangnya duduk berimpit-impit.
Pedati di muka dan di belakang, di tengah prajurit berjalan kaki.
Berdesak-desakan, berebut jalan dengan binatang gajah dan kuda.
Tak terhingga jumlah kereta, tapi berbeda-beda tanda cirinya.
Meleret berkelompok-kelompok, karena tiap mentri lain lambangnya.
Rakrian sang Mahamantri Agung Patih Amangkubumi penata kerajaan.
Keretanya beberapa ratus berkelompok dengan aneka tanda.
Segala kereta Sri Nata Pajang semua bergambar matahari.
Semua kereta Sri Nata Lasem bergambar cemerlang banteng putih.
Kendaraan Sri Nata paha bergambar Dahakusuma mas mengkilat.
Kereta Sri Nata Jiwana berhias bergas menarik perhatian.
Kereta Sri Nata Wilwatikta tak ternilai, bergambar buah mala.
Beratap kain geringsing, berhias lukisan mas, bersinar meran indah.
Semua pegawai, parameswari raja dan juga rani Sri Sudewi.
Ringkasnya para wanita berkereta merah berjalan paling muka.

Kereta Sri Nata berhias mas dan ratna manikam paling belakang.
Jempana-jempana lainnya bercadar beledu, meluap gemerlap.
Rapat rampak prajurit pengiring Jenggala Kediri, Panglarang, Sedah Bayangkari gemruduk berbondong-bondong naik gajah dan kuda.
Pagi-pagi telah tiba di Pancuran Mungkur, Sri Nata ingin rehat.
Sang rakawi menyidat jalan, menuju Sawungan mengunjungi kerabat.
Larut matahari berangkat lagi tepat waktu Sri Paduka lalu. Ke arah timur menuju Watu Kiken, lalu berhenti di Matanjung.

Dukuh sepi kebudaan dekat tepi jalan, pohonnya jarang-jarang.
Berbeda-beda namanya Gelanggang, Badung, tidak jauh dari Barungbung.
Tak terlupakan Ermanik, dukuh teguh-taat kepada Yanatraya.
Puas sang darmadyaksa mencicipi aneka jamuan makan dan minum.

Sampai di Kulur, Batang di Gangan Asem perjalanan Sri Baginda.
Hari mulai teduh, surya terbenam, telah gelap pukul tujuh malam Sri Paduka memberi perintah memasang tenda di tengah-tengah sawah.
Sudah siap habis makan, cepat-cepat mulai membagi-bagi tempat.
Paginya berangkat lagi menuju Baya, rehat tiga hari tiga malam.
Dari Baya melalui Katang, Kedung Dawa, Rame, menuju Lampes, Times.
Serta biara pendeta di Pogara mengikut jalan pasir lemak-lembut.
Menuju daerah Beringin Tiga di Dadap, kereta masih terus lari.
Tersebut dukuh kasogatan Madakaripura dengan pemandangan indah.
Tanahnya anugerah Sri Paduka kepada Gajah Mada, teratur rapi.
Di situlah Sri Paduka menempati pasanggrahan yang tehias sangat bergas.
Sementara mengunjungi mata air, dengan ramah melakukan mandi bakti.

Sampai di desa Kasogatan, Sri Paduka dijamu makan minum.
Pelbagai penduduk Gapuk, Sada, Wisisaya, Isanabajra, Ganten, Poh, Capahan, Kalampitan, Lambang, Kuran, Pancar, We, Petang.
Yang letaknya di lingkungan biara, semua datang menghadap. Begitu pula desa Tunggilis, Pabayeman ikut berkumpul.
Termasuk Ratnapangkaja di Carcan, berupa desa perdikan.
Itulah empat belas desa Kasogatan yang berakuwu.
Sejak dahulu delapan saja yang menghasilkan bahan makanan.
Fajar menyingsing, berangkat lagi Sri Paduka melalui Lo Pandak, Ranu Kuning, Balerah, Bare-bare, Dawohan, Kapayeman, Telpak, Baremi, Sapang serta Kasaduran.
Kereta berjalan cepat-cepat menuju Pawijungan. Menuruni lurah, melintasi sawah, lari menuju Jaladipa, Talapika, Padali, Arnon dan Panggulan.
Langsung ke Payaman, Tepasana ke arah kota Rembang.
Sampai di Kemirahan yang letaknya di pantai lautan.

Di Dampar dan Patunjungan Sri Paduka bercengkerama menyisir tepi lautan.
Ke jurusan timur turut pasisir datar, lembut-limbur dilintasi kereta.
Berhenti beliau di tepi danau penuh teratai, tunjung sedang berbunga.
Asyik memandang udang berenang dalam air tenang memperlihatkan dasarnya. Terlangkahi keindahan air telaga yang lambai-melambai dengan lautan.
Danau ditinggalkan menuju Wedi dan Guntur tersembunyi di tepi jalan.
Kasogatan Bajraka termasuk wilayah Taladwaja sejak dulu kala.
Seperti juga Patunjungan, akibat perang belum kembali ke asrama.
Terlintas tempat tersebut, ke timur mengikut hutan sepanjang tepi lautan.
Berhenti di Palumbon berburu sebentar, berangkat setelah surya larut.
Menyeberangi sungai Rabutlawang yang kebetulan airnya sedang surut.
Menuruni lurah Balater menuju pantai lautan lalu bermalam lagi.
Pada waktu fajar menyingsing, menuju Kunir Basini, di Sadeng bermalam.

Malam berganti malam, Sri Paduka pesiar menikmati alam Sarampuan.
Sepeninggal-nya beliau menjelang kota Bacok bersenang-senang di pantai.
Heran memandang karang tersiram riak gelombang berpancar seperti hujan.
Tapi sang rakawi tidak ikut berkunjung di Bacok, pergi menyidat jalan.
Dari Sadeng ke utara menjelang Balung, lerus menuju Tumbu dan Habet.
Galagah, Tampaling, beristirahat di Renes seraya menanti Sri Paduka.
Segera berjumpa lagi dalam perjalanan ke Jayakreta-Wanagriya.
Melalui Doni Bontong. Puruhan, Bacek, Pakisaji, Padangan terus ke Secang.
Terlintas Jati Gumelar, Silabango. Ke utara ke Dewa Rame dan Dukun.
Lalu berangkat lagi ke Pakembangan.
Di situ bermalam, segera berangkat. Sampailah beliau ke ujung lurah Daya.
Yang segera dituruni sampai jurang. Dari pantai ke utara sepanjang jalan.
Sangat sempit sukar amat dijalani. Lumutnya licin akibat kena hujan. Banyak kereta rusak sebab berlanggar.

Terlalu lancar lari kereta melintas Palayangan.
Dan Bangkong dua desa tanpa cerita terus menuju Sarana, mereka yang merasa lelah ingin berehat.
Lainnya bergegas berebucalan menuju Surabasa.
Terpalang matahari terbenam berhenti di padang lalang.
Senja pun turun, sapi lelah dilepas dari pasangan.
Perjalanan membelok ke utara melintas Turayan.
Beramai-ramai lekas-lekas ingin mencapai Patukangan.
Panjang lamun dikisahkan kelakuan para mentri dan abdi.
Beramai-ramai Sri Paduka telah sampai di desa Patukangan.
Di tepi laut lebar tenang rata terbentang di barat Talakrep Sebelah utara pakuwuan pesanggrahan Sri Baginda.
Semua Mahamantri Agung mancanagara hadir di pakuwuan.
Juga jaksa Pasungguhan Sang Wangsadiraja ikut menghadap.
Para Upapati yang tanpa cela, para pembesar agama.
Panji Siwa dan Panji Buda faham hukum dan putus sastera.
Sang adipati Suradikara memimpin upacara sambutan.

Diikuti segenap penduduk daerah wilayah Patukangan.
Menyampaikan persembahan, girang bergilir dianugerahi kain Girang rakyat girang raja, pakuwuan berlimpah kegirangan.
Untuk pemandangan ada rumah dari ujung memanjang ke lautan.
Aneka bentuknya, rakit halamannya, dari jauh bagai pulau.
Jalannya jembatan goyah kelihatan bergoyang ditempuh ombak.
Itulah buatan sang arya bagai persiapan menyambut raja.
Untuk mengurangi sumuk akibat teriknya matahari Sri Paduka mendekati permaisuri seperti dewa-dewi.
Para putri laksana apsari turun dari kahyangan.
Hilangnya keganjilan berganti pandang penuh heran cengang.
Berbagai-bagai permainan diadakan demi kesukaan.
Berbuat segala apa yang membuat gembira penduduk.
Menari topeng. bergumul, bergulat, membuat orang kagum.
Sungguh beliau dewa menjelma sedang mengedari dunia.
Selama kunjungan di desa Patukangan Para Mahamantri Agung dari Bali dan Madura.

Dari Balumbung, kepercayaan Sri Paduka Mahamantri Agung seluruh Jawa Timur berkumpul.
Persembahan bulu bekti bertumpah-limpah.
Babi, gudel, kerbau, sapi, ayam dan anjing.
Bahan kain yang diterima bertumpuk timbun.
Para penonton tercengang-cengang memandang.
Tersebut keesokan hari pagi-pagi.
Sri Paduka keluar di tengah-tengah rakyat.
Diiringi para kawi serta pujangga. Menabur harta membuat gembira rakyat.
Hanya pujangga yang menyamar Empu Prapanca sedih tanpa upama Berkabung kehilangan kawan kawi-Buda Panji Kertayasa.
Teman bersuka-ria, ternan karib dalam upacara gama.
Beliau dipanggil pulang, sedang mulai menggubah arya megah.
Kusangka tetap sehat, sanggup mengantar aku ke mana juga.
Beliau tahu tempat-tempat mana yang layak pantas dilihat.
Rupanya sang pujangga ingin mewariskan karya megah indah.
Namun mangkatlah beliau, ketika aku tiba, tak terduga.
Itulah lantarannya aku turut berangkat ke desa Keta. Melewati Tal Tunggal, Halalang panjang. Pacaran dan Bungatan Sampai Toya Rungun, Walanding, terus Terapas, lalu beralam.
Paginya berangkat ke Lemah Abang, segera tiba di Keta.

Tersebut perjalanan Sri Baginda ke arah barat.
Segera sampai Keta dan tinggal di sana lima hari.
Girang beliau melihat lautan, memandang balai kambang.
Tidak lupa menghirup kesenangan lain sehingga puas.
Atas perintah sang arya semua Mahamantri Agung menghadap.
Wiraprana bagai kepala upapati Siwa-Buda.
Mengalir rakyat yang datang sukarela tanpa diundang.
Membawa bahan santapan, girang menerima balasan.
Keta telah ditinggalkan.
Jumlah pengiring malah bertambah.
Melintasi Banyu Hening, perjalanan sampai Sampora.
Terus ke Daleman menuju Wawaru, Gebang, Krebilan.
Sampai di Kalayu Sri Paduka berhenti ingin menyekar.
Kalayu adalah nama desa perdikan kasogatan.
Tempat candi pasareyan sanak kadang Sri Paduka Prabu.
Penyekaran di pasareyan dilakukan dengan sangat hormat.
"Memegat sigi" nama upacara penyekaran itu.
Upacara berlangsung menepati segenap aturan. Mulai dengan jamuan makan meriah tanpa upama.
Para patih mengarak Sri Paduka menuju paseban.
Genderang dan kendang bergetar mengikuti gerak tandak.
Habis penyekaran raja menghirup segala kesukaan.
Mengunjungi desa-desa disekitarnya genap lengkap.
Beberapa malam lamanya berlumba dalam kesukaan.
Memeluk wanita cantik dan meriba gadis remaja.
Kalayu ditinggalkan, perjalanan menuju Kutugan.
Melalui Kebon Agung, sampai Kambangrawi bermalam.
Tanah anugerah Sri Nata kepada Tumenggung Nala.
Candinya Buda menjulang tinggi, sangat elok bentuknya.
Perjamuan Tumenggung Empu Nala jauh dari cela.
Tidak diuraikan betapa lahap Sri Baginda bersantap.
Paginya berangkat lagi ke Halses, Berurang, Patunjungan.
Terus langsung melintasi Patentanan, Tarub dan Lesan.

Segera Sri Paduka sampai di Pajarakan, di sana bermalam empat hari.
Di tanah lapang sebelah selatan candi Buda beliau memasang tenda.
Dipimpin Arya Sujanotama para mantri dan pendeta datang menghadap.
Menghaturkan pacitan dan santapan, girang menerima anugerah uang.
Berangkat dari situ Sri Paduka menuju asrama di rimba Sagara.
Mendaki bukit-bukit ke arah selatan dan melintasi terusan Buluh.
Melalui wilayah Gede, sebentar lagi sampai di asrama Sagara.
Letaknya gaib ajaib di tengah-tengah hutan membangkitkan rasa kagum rindu.
Sang pujangga Empu Prapanca yang memang senang bermenung tidak selalu menghadap.
Girang melancong ke taman melepaskan lelah melupakan segala duka.
Rela melalaikan paseban mengabaikan tata tertib para pendeta.
Memburu nafsu menjelajah rumah berbanjar-banjar dalam deretan berjajar.
Tiba di taman bertingkat, di tepi pesanggrahan tempat bunga tumbuh lebat.
Suka cita Empu Prapanca membaca cacahan (pahatan) dengan slokanya di dalam cinta. Di atas tiap atap terpahat ucapan seloka yang disertai nama Pancaksara pada penghabisan tempat terpahat samar-samar, menggirangkan.
Pemandiannya penuh lukisan dongengan berpagar batu gosok tinggi.
Berhamburan bunga nagakusuma di halaman yang dilingkungi selokan Andung, karawira, kayu mas, menur serta kayu puring dan lain-lainnya.
Kelapa gading kuning rendah menguntai di sudut mengharu rindu pandangan.
Tiada sampailah kata meraih keindahan asrama yang gaib dan ajaib.
Beratapkan hijuk, dari dalam dan luar berkesan kerasnya tata tertib.
Semua para pertapa, wanita dan priya, tua muda nampaknya bijak.
Luput dari cela dan klesa, seolah-olah Siwapada di atas dunia.

Habis berkeliling asrama, Sri Paduka lalu dijamu.
Para pendeta pertapa yang ucapannya sedap resap.
Segala santapan yang tersedia dalam pertapan.
Sri Paduka membalas harta. membuat mereka gembira.
Dalam pertukaran kata tentang arti kependetaan.
Mereka mencurahkan isi hati, tiada tertahan.
Akhirnya cengkerma ke taman penuh dengan kesukaan Kegirang-girangan para pendeta tercengang memandang.
Habis kesukaan memberi isyarat akan berangkat.
Pandang sayang yang ditinggal mengikuti langkah yang pergi.
Bahkan yang masih remaja putri sengaja merenung.
Batinnya : dewa asmara turun untuk datang menggoda. Sri Paduka berangkat, asrama tinggal berkabung.
Bambu menutup mata sedih melepas selubung.
Sirih menangis merintih, ayam raga menjerit.
Tiung mengeluh sedih, menitikkan air matanya.
Kereta lari cepat, karena jalan menurun.
Melintasi rumah dan sawah di tepi jalan.
Segera sampai Arya, menginap satu malam.
Paginya ke utara menuju desa Ganding.
Para mentri mancanegara dikepalai Singadikara, serta pendeta Siwa-Buda.

Membawa santapan sedap dengan upacara.
Gembira dibalas Sri Paduka dengan mas dan kain.
Agak lama berhenti seraya istirahat.
Mengunjungi para penduduk segenap desa.
Kemudian menuju Sungai Gawe, Sumanding, Borang, Banger, Baremi lalu lurus ke barat.
Sampai Pasuruan menyimpang jalan ke selatan menuju Kepanjangan.
Menganut jalan raya kereta lari beriring-iring ke Andoh Wawang ke Kedung Peluk dan ke Hambal, desa penghabisan dalam ingatan.
Segera Sri Paduka menuju kota Singasari bermalam di balai kota.
Empu Prapanca tinggal di sebelah barat Pasuruan. Ingin terus melancong menuju asrama. Indarbaru yang letaknya di daerah desa.
Hujung Berkunjung di rumah pengawasnya, menanyakan perkara tanah asrama. Lempengan Serat Kekancingan pengukuh diperlihatkan, jelas setelah dibaca.
Isi Serat Kekancingan : tanah datar serta lembah dan gunungnya milik wihara.
Begitupula sebagian Markaman, ladang Balunghura, sawah Hujung Isi Serat Kekancingan membujuk sang pujangga untuk tinggal jauh dari pura.
Bila telah habis kerja di pura, ingin ia menyingkir ke Indarbaru.
Sebabnya terburu-buru berangkat setelah dijamu bapa asrama karena ingat akan giliran menghadap di balai Singasari.
Habis menyekar di candi makam, Sri Paduka mengumbar nafsu kesukaan.
Menghirup sari pemandangan di Kedung Biru, Kasurangganan dan Bureng.

Pada subakala Sri Paduka berangkat ke selatan menuju Kagenengan.
Akan berbakti kepada pasareyan batara bersama segala pengiringnya Harta. perlengkapan. makanan. dan bunga mengikuti jalannya kendaraan.
Didahului kibaran bendera,sdisambut sorak-sorai dari penonton.
Habis penyekaran, Baginda keluar dikerumuni segenap rakyat.
Pendeta Siwa-Buda dan para bangsawan berderet leret di sisi beliau.
Tidak diceritakan betapa rahap Sri Paduka bersantap sehingga puas.
Segenap rakyat girang menerima anugerah bahan pakaian yang indah.
Tersebut keindahan candi makam, bentuknya tiada bertara.

Pintu masuk terlalu lebar lagi tinggi, bersabuk dari luar.
Di dalam terbentang halaman dengan rumah berderet di tepinya.
Ditanami aneka ragam bunga, tanjung, nagasari ajaib.
Menara lampai menjulang tinggi di tengah-tengah, terlalu indah.
Seperti gunung Meru dengan arca Batara Siwa di dalamnya.
Karena Girinata putra disembah bagai dewa batara.
Datu leluhur Sri Naranata yang disembah di seluruh dunia.
Sebelah selatan candi pasareyan ada candi sunyi terbengkalai.
Tembok serta pintunya yang masih berdiri, berciri kasogatan lantai di dalam.
Hilang kakinya bagian barat, tinggal yang timur.
Sanggar dan pemujaan yang utuh, bertembok tinggi dari batu merah.
Di sebelah utara, tanah bekas kaki rumah sudahlah rata.
Terpencar tanamannya nagapuspa serta salaga di halaman.
Di luar gapura pabaktan luhur, tapi telah longsor tanahnya.
Halamannya luas tertutup rumput, jalannya penuh dengan lumut laksana wanita sakit merana lukisannya lesu-pucat.
Berhamburan daun cemara yang ditempuh angin, kusut bergelung.
Kelapa gading melulur tapasnya, pinang letih lusuh merayu.

Buluh gading melepas kainnya, layu merana tak ada hentinya.
Sedih mata yang memandang, tak berdaya untuk menyembuhkannya.
Kecuali menanti Hayam Wuruk sumber hidup segala makhluk.
Beliau mashur bagai raja utama, bijak memperbaiki jagad.
Pengasih bagi yang menderita sedih, sungguh titisan batara.
Tersebut lagi, paginya Sri Paduka berkunjung ke candi Kidal.
Sesudah menyembah batara, larut hari berangkat ke Jajago.
Habis menghadap arca Jina, beliau berangkat ke penginapan.
Paginya menuju Singasari, belum lelah telah sampai Bureng.
Keindahan Bureng : telaga bergumpal airnya jernih.
Kebiru-biruan, di tengahnya candi karang bermekala.
Tepinya rumah berderet, penuh pelbagai ragam bunga.
Tujuan para pelancong penyerap sari kesenangan.
Terlewati keindahannya, berganti cerita narpati.
Setelah reda terik matahari, melintas tegal tinggi.

Rumputnya tebal rata, hijau mengkilat, indah terpandang.
Luas terlihat laksana lautan kecil berombak jurang.
Seraya berkeliling kereta lari tergesa-gesa.
Menuju Singasari, segera masuk ke pesanggrahan.
Sang pujangga singgah di rumah pendeta Buda, sarjana.
Pengawas candi dan silsilah raja, pantas dikunjungi.
Telah lanjut umurnya, jauh melintasi seribu bulan.
Setia, sopan, darah luhur, keluarga raja dan mashur.
Meski sempurna dalam karya, jauh dari tingkah tekebur.
Terpuji pekerjaannya, pantas ditiru keinsafannya.
Tamu diterima dengan girang dan ditegur : "Wahai orang bahagia, pujangga besar pengiring raja, pelindung dan pengasih keluarga yang mengharap kasih.
Jamuan apa yang layak bagi paduka dan tersedia?"
Maksud kedatangannya: ingin tahu sejarah leluhur para raja yang dicandikan, masih selalu dihadap.
Ceriterakanlah mulai dengan Batara Kagenengan.
Ceriterakan sejarahnya jadi putra Girinata.

Paduka Empuku menjawab : "Rakawi maksud paduka sungguh merayu hati.
Sungguh paduka pujangga lepas budi.
Tak putus menambah ilmu, mahkota hidup. Izinkan saya akan segera mulai.
Cita disucikan dengan air sendang tujuh".
Terpuji Siwa! Terpuji Girinata! Semoga terhindar aral, waktu bertutur. Semoga rakawi bersifat pengampun.
Di antara kata mungkin terselib salah. Harap percaya kepada orang tua. Kurang atau lebih janganlah dicela.
Pada tahun 1104 Saka ada raja perwira yuda Putra Girinata, konon kabarnya lahir di dunia tanpa ibu.
Semua orang tunduk, sujud menyembah kaki bagai tanda bakti.
Sri Ranggah Rajasa nama beliau, penggempur musuh pahlawan bijak.
Daerah luas sebelah timur gunung Kawi terkenal subur makmur.
Di situlah tempat putra Sang Girinata menunaikan darmanya.
Menggirangkan budiman, menyirnakan penjahat, meneguhkan negara, ibukota negara bernama Kotaraja, penduduknya sangat terganggu.
Tahun 1144 Saka, beliau melawan raja Kediri Sang Adiperwira Kretajaya, putus sastra serta tatwopadesa.
Kalah, ketakutan, melarikan diri ke dalam biara terpencil.
Semua pengawal dan perwira tentara yang tinggal, mati terbunuh.
Setelah kalah Narpati Kediri, Jawa di dalam ketakutan.
Semua raja datang menyembah membawa tanda bakti hasil tanah.
Bersatu Jenggala Kediri di bawah kuasa satu raja sakti.
Cikal bakal para raja agung yang akan memerintah pulau Jawa.
Makin bertambah besar kuasa dan megah putra sang Girinata.
Terjamin keselatamatan pulau Jawa selama menyembah kakinya.
Tahun 1149 Saka beliau kembali ke Siwapada.
Dicandikan di Kagenengan bagai Siwa, di Usana bagai Buda.

Batara Anusapati putra Sri Paduka, berganti dalam kekuasaan.
Selama pemerintahannya. tanah Jawa kokoh sentosa, bersembah bakti.
Tahun 1170 Saka beliau pulang ke Siwaloka.
Cahaya beliau diujudkan arca Siwa gemilang di candi pasareyan Kidal.
Batara Wisnu Wardana, putra Sri Paduka, berganti dalam kekuasaan.
Beserta Narasinga bagai Madawa dengan Indra memerintah negara Beliau memusnahkan perusuh Linggapati serta segenap pengikutnya.
Takut semua musuh kepada beliau sungguh titisan Siwa di bumi.
Tahun 1176 Saka, Batara Wisnu menobatkan putranya.
Segenap rakyat Kediri Jenggala berduyun-duyun ke pura mangastubagia.
Prabu Kerta Negara nama gelarannya, tetap demikian seterusnya.
Daerah Kotaraja bertambah makmur, berganti nama praja Singasari.
Tahun 1192, Raja Wisnu berpulang. Dicandikan di Waleri berlambang arca Siwa, di Jajago arca Buda.
Sementara itu Batara Nara Singa Murti pun pulang ke Surapada.
Dicandikan di Wengker, di Kumeper diarcakan bagai Siwa mahadewa.
Tersebut Sri Paduka Kertanagara membinasakan perusuh, penjahat.
Bernama Cayaraja, gugur pada tahun Saka 1192.
Tahun 1197 Saka, Sri Paduka menyuruh tundukkan Melayu.
Berharap Melayu takut kedewaan beliau tunduk begitu sahaja.

Tahun 1202 Saka, Sri Paduka Prabu memberantas penjahat Mahisa Rangga, karena jahat tingkahnya dibenci seluruh negara.
Tahun 1206 Saka, mengirim utusan menghancurkan Bali.
Setelah kalah rajanya menghadap Sri Paduka sebagai orang tawanan.
Demikianlah dari empat jurusan orang lari berlindung di bawah Sri Paduka.
Seluruh Pahang, segenap Melayu tunduk menekur di hadapan beliau.
Seluruh Gurun, segenap Bakulapura lari mencari perlindungan.
Sunda Madura tak perlu dikatakan, sebab sudah terang setanah Jawa.
Jauh dari tingkah alpa dan congkak, Sri Paduka waspada, tawakal dan bijak.
Faham akan segala seluk beluk pemerintahan sejak zaman Kali.
Karenanya tawakal dalam agama dan tapa untuk teguhnya ajaran Buda.
Menganut jejak para leluhur demi keselamatan seluruh praja.

Menurut kabar sastra raja Pandawa memerintah sejak zaman Dwapara.
Tahun 1209 Saka, beliau pulang ke Budaloka.
Sepeninggalnya datang zaman Kali, dunia murka, timbul huru hara.
Hanya batara raja yang faham dalam nam guna, dapat menjaga jagad.
Itulah sebabnya Sri Paduka teguh bakti menyembah kaki Sakyamuni.
Teguh tawakal memegang Pancasila, laku utama, upacara suci Gelaran Jina beliau yang sangat mashur ialah Sri Jnanabadreswara.
Putus dalam filsafat, ilmu bahasa dan lain pengetahuan agama.
Berlumba-lumba beliau menghirup sari segala ilmu kebatinan.
Pertama-tama tantra Subuti diselami, intinya masuk ke hati.
Melakukan puja, yoga, samadi demi keselamatan seluruh praja.
Menghindarkan tenung, mengindahkan anugerah kepada rakyat murba.
Di antara para raja yang lampau tidak ada yang setara beliau.
Faham akan nam guna, sastra, tatwopadesa, pengetahuan agama Adil, teguh dalam Jinabrata dan tawakal kepada laku utama.
Itulah sebabnya beliau turun-temurun menjadi raja pelindung.
Tahun 1214 Saka, Sri Paduka pulang ke Jinalaya.
Berkat pengetahuan beliau tentang upacara, ajaran agama.
Beliau diberi gelaran : Yang Mulia bersemayam di alam Siwa-Buda.
Di pasareyan beliau bertegak arca Siwa-Buda terlampau indah permai. Di Sagala ditegakkan pula arca Jina sangat bagus dan berkesan.
Serta arca Ardanareswari bertunggal dengan arca Sri Bajradewi.
Teman kerja dan tapa demi keselamatan dan kesuburan negara Hyang Wairocana-Locana bagai lambangnya pada arca tunggal, terkenal.

Tatkala Sri Paduka Kertanagara pulang ke Budabuana.
Merata takut, duka, huru hara, laksana zaman Kali kembali.
Raja bawahan bernama Jayakatwang, berwatak terlalu jahat berkhianat, karena ingin berkuasa di wilayah Kediri.
Tahun 1144 Saka, itulah sirnanya raja Kertajaya atas perintah Siwaputra Jayasaba berganti jadi raja.
Tahun Saka 1180, Sastrajaya raja Kediri.
Tahun 1193, Jayakatwang raja terakhir.
Semua raja berbakti kepada cucu putra Girinata.
Segenap pulau tunduk kepada kuasa Prabu Kerta Negara.
Tetapi raja Kediri Jayakatwang membuta dan mendurhaka.
Ternyata damai tak baka akibat bahaya anak piara Kali.
Berkat keulungan sastra dan keuletannya jadi raja sebentar.
Lalu ditundukkan putra Sri Paduka, ketenterarnan kembali.
Sang menantu Raden Wijaya, itu gelarnya yang terkenal di dunia Bersekutu dengan bangsa Tartar, menyerang melebur Jayakatwang.

Sepeninggal Jayakatwang jagad gilang cemerlang kembali.
Tahun 1216 Saka, Raden Wijaya menjadi raja.
Disembah di Majapahit, kesayangan rakyat, pelebur musuh.
Bergelar Sri Baginda Kerta Rajasa Jaya Wardana.
Selama Kerta Rajasa Jaya Wardana duduk di takhta, seluruh tanah Jawa bersatu padu, tunduk menengadah.
Girang memandang pasangan Sri Paduka empat jumlahnya. Putri Kertanagara cantik-cantik bagai bidadari. Sang Parameswari Tri Buwana yang sulung, luput dari cela.
Lalu parameswari Mahadewi, rupawan tidak bertara Prajnya Paramita Jayendra Dewi, cantik manis menawan hati.

Gayatri, yang bungsu, paling terkasih digelari Rajapatni.
Pernikahan beliau dalam kekeluargaan tingkat tiga.
Karena Batara Wisnu dengan Batara Nara Singa Murti.
Akrab tingkat pertama, Narasinga menurunkan Dyah Lembu Tal Sang perwira yuda, dicandikan di Mireng dengan arca Buda. Dyah Lembu Tal itulah bapa Sri Baginda. Dalam hidup atut runtut sepakat sehati.
Setitah raja diturut, menggirangkan pandang.
Tingkah laku mereka semua meresapkan.
Tersebut tahun Saka 1217, Sri Paduka menobatkan putranya di Kediri.
Perwira, bijak, pandai, putra Indreswari. Bergelar Sri Paduka putra Jayanagara.
Tahun Saka 1231, Sang Prabu mangkat, ditanam di dalam pura Antahpura, begitu nama pasareyan beliau.
Dan di pasareyan Simping ditegakkan arca Siwa.

Beliau meninggalkan Jayanagara sebagai raja Wilwatikta.
Dan dua orang putri keturunan Rajapatni, terlalu cantik.
Bagai dewi Ratih kembar, mengalahkan rupa semua bidadari.
Yang sulung jadi rani di Jiwana, yang bungsu jadi rani Daha.
Tersebut pada tahun Saka 1238, bulan Madu Sri Paduka Jayanagara berangkat ke Lumajang menyirnakan musuh.
Kotanya Pajarakan dirusak, Nambi sekeluarga dibinasakan.
Giris miris segenap jagad melihat keperwiraan Sri Paduka.
Tahun Saka 1250, beliau berpulang.
Segera dimakamkan di dalam pura berlambang arca Wisnuparama.
Di Sila Petak dan Bubat ditegakkan arca Wisnu terlalu indah.
Di Sukalila terpahat arca Buda sebagai jelmaan Amogasidi.

Tahun Saka 1256, Rani Jiwana Wijaya Tungga Dewi bergilir mendaki takhta Wilwatikta. Didampingi raja putra Singasari atas perintah ibunda Rajapatni.
Sumber bahagia dan pangkal kuasa.
Beliau jadi pengemban dan pengawas raja muda, Sri Paduka Wilwatikta.
Tahun Saka 1253 sirna musuh di Sadeng, Keta diserang.
Selama bertakhta, semua terserah kepada Mahamantri agung bijak, Mada namanya. Tahun Saka 1265, raja Bali yang alpa dan rendah budi diperangi, gugur bersama balanya. Menjauh segala yang jahat, tenteram".

Begitu ujar Dang Acarya Ratnamsah.
Sungguh dan mengharukan ujar Sang Kaki.
Jelas keunggulan Sri Paduka di dunia.
Dewa asalnya, titisan Girinata.
Barang siapa mendengar kisah raja.
Tak puas hatinya, bertambah baktinya.
Pasti takut melakukan tindak jahat.
Menjauhkan diri dari tindak durhaka.
Paduka Empu minta maaf berkata : "Hingga sekian kataku, sang rakawi.
Semoga bertambah pengetahuanmu.
Bagai buahnya, gubahlah puja sastra".

Habis jamuan rakawi dengan sopan.
Minta diri kembali ke Singasari.
Hari surut sampai pesanggrahan lagi.
Paginya berangkat menghadap Sri Paduka.
Tersebut Sri Paduka Prabu berangkat berburu.
Lengkap dengan senjata, kuda dan kereta.
Dengan bala ke hutan Alaspati, rimba belantara rungkut rimbun penuh gelagah rumput rampak.
Bala bulat beredar membuat lingkaran. Segera siap kereta berderet rapat.
Hutan terkepung, terperanjat kera menjerit burung ribut beterbangan berebut dulu. Bergabung sorak orang berseru den membakar.
Gemuruh bagaikan deru lautan mendebur.
Api tinggi menyala menjilat udara.
Seperti waktu hutan Alaspati terbakar.
Lihat rusa-rusa lari lupa daratan.
Bingung berebut dahulu dalam rombongan.
Takut miris menyebar, ingin lekas lari.
Malah manengah berkumpul tumpuk timbun.
Banyaknya bagai banteng di dalam Gobajra Penuh sesak, bagai lembu di Wresabapura Celeng, banteng, rusa, kerbau, kelinci.
Biawak, kucing, kera, badak dan lainnya. Tertangkap segala binatang dalam hutan. Tak ada yang menentang, semua bersatu. Srigala gagah, yang bersikap tegak-teguh. Berunding dengan singa sebagai ketua.

Izinkanlah saya bertanya kepada raja satwa.
Sekarang raja merayah hutan, apa yang diperbuat?
Menanti mati sambil berdiri ataukah kita lari.
Atau tak gentar serentak melawan, jikalau diserang?
Seolah-olah demikian kata srigala dalam rapat.
Kijang menjawab : "Hemat patik tidak ada jalan lain kecuali lari.
Lari mencari keselamatan diri sedapat mungkin".
Kaswari, rusa dan kelinci setuju.
Banteng berkata : "Amboi! Celaka kijang, sungguh binatang hina lemah.
Bukanlah sifat perwira lari, atau menanti mati.
Melawan dengan harapan menang, itulah kewajiban." Kerbau, lembu serta harimau setuju dengan pendapat ini.
Jawab singa : "Usulmu berdua memang pantas diturut, Bung.
Tapi harap dibedakan, yang dihadapi baik atau buruk.
Jika penjahat, terang kita lari atau kita lawan.
Karena sia-sia belaka, jika mati terbunuh olehnya.
Jika kita menghadapi tripaksa, resi Siwa-Buda.
Seyogyanya kita ikuti saja jejak sang pendeta.
Jika menghadapi raja berburu, tunggu mati saja.
Tak usah engkau merasa enggan menyerahkan hidupmu.
Karena raja berkuasa mengakhiri hidup makhluk.
Sebagai titisan Batara Siwa berupa narpati.
Hilang segala dosanya makhluk yang dibunuh beliau.
Lebih utama dari pada terjun ke dalam telaga.
Siapa di antara sesama akan jadi musuhku?
Kepada tripaksa aku takut, lebih utama menjauh.
Niatku, jika berjumpa raja, akan menyerahkan hidup.
Mati olehnya, tak akan lahir lagi bagai binatang.

Bagaikan katanya: "Marilah berkumpul!" Kemudian serentak maju berdesak.
Prajurit darat yang terlanjur langkahnya.
Tertahan tanduk satwa, lari kembali. Tersebutlah prajurit berkuda.
Bertemu celeng sedang berdesuk kumpul. Kasihan! Beberapa mati terbunuh.
Dengan anaknya dirayah tak berdaya.
Lihatlah celeng jalang maju menerjang. Berempat, berlima, gemuk, tinggi, marah. Buas membekos-bekos, matanya merah. Liar dahsyat, saingnya seruncing golok.
Tersebut pemburu kijang rusa riuh seru-menyeru.

Ada satu yang tertusuk tanduk, lelah lambat jalannya.
Karena luka kakinya, darah deras meluap-luap. Lainnya mati terinjak-injak, menggelimpang kesakitan.
Bala kembali berburu, berlengkap tombak serta lembing. Berserak kijang rusa di samping bangkai bertumpuk timbun.
Banteng serta binatang galak lainnya bergerak menyerang. Terperanjat bala raja bercicir lari tunggang langgang.
Ada yang lari berlindung di jurang, semak, kayu rimbun. Ada yang memanjat pohon, ramai mereka berebut puncak.
Kasihanlah yang memanjat pohon tergelincir ke bawah Betisnya segera diseruduk dengan tanduk, pingsanlah!
Segera kawan-kawan datang menolong dengan kereta. Menombak, melembing, menikam, melanting, menjejak-jejak. Karenanya badak mundur, meluncur berdebak gemuruh. Lari terburu, terkejar, yang terbunuh bertumpuk timbun.
Ada pendeta Siwa-Buda yang turut menombak, mengejar. Disengau harimau, lari diburu binatang mengancam. Lupa akan segala darma, lupa akan tata sila. Turut melakukan kejahatan, melupakan darmanya.

Tersebut Sri Paduka telah mengendarai kereta kencana. Tinggi lagi indah ditarik lembu yang tidak takut bahaya, menuju hutan belantara, mengejar buruan ketakutan.
Yang menjauhkan diri lari bercerai-berai meninggalkan bangkai. Celeng. kaswari, rusa dan kelinci tinggal dalam ketakutan.
Sri Paduka berkuda mengejar yang riuh lari bercerai-berai.
Mahamantri Agung, tanda dan pujangga di punggung kuda turut memburu binatang jatuh terbunuh tertombak, terpotong. tertusuk, tertikam.
Tanahnya luas lagi rata, hutannya rungkut di bawah terang. Itulah sebabnya kijang dengan mudah dapat diburu kuda.
Puaslah hati Sri Paduka sambil bersantap dihadap pendeta. Bercerita tentang caranya berburu, menimbulkan gelak tawa.
Terlangkahi betapa narpati sambil berburu menyerap sari keindahan gunung dan hutan, kadang-kadang kepayahan kembali ke rumah perkemahan.

Membawa wanita seperti cengkeraman, di hutan bagai menggempur, negara tahu kejahatan satwa, beliau tak berdosa terhadap darma ahimsa.
Tersebut beliau bersiap akan pulang, rindu kepada keindahan pura.
Tatkala subakala berangkat menuju Banyu Hanget, Banir dan Talijungan.
Bermalam di Wedwawedan, siangnya menuju Kuwarahan, Celong dan Dadamar Garuntang, Pagar Telaga, Pahanjangan, sampai di situ perjalanan beliau.
Siangnya perjalanan melalui Tambak, Rabut, Wayuha terus ke Balanak menuju Pandakan, Banaragi, sampai Pandamayan beliau lalu bermalam Kembal! ke selatan, ke barat, menuju Jejawar di kaki gunung berapi.
Disambut penoton bersorak gembira, menyekar sebentar di candi makam.
Adanya candi pasareyan tersebut sudah sejak zaman dahulu.
Didirikan oleh Sri Kertanagara, moyang Sri Paduka Prabu.
Di situ hanya jenazah beliau sahaja yang dimakamkan.
Karena beliau dulu memeluk dua agama Siwa-Buda.
Bentuk candi berkaki Siwa berpuncak Buda, sangat tinggi.
Di dalamnya terdapat arca Siwa, indah tak dapat dinilai.
Dan arca Maha Aksobya bermahkota tinggi tidak bertara.
Namun telah hilang, memang sudah layak, tempatnya: di Nirwana.

Konon kabarnya tepat ketika arca Hyang Aksobya hilang, ada pada Sri Paduka guru besar, mashur.
Pada Paduka putus tapa, sopan suci penganut pendeta Sakyamuni Telah terbukti bagai mahapendeta terpundi sasantri.
Senang berziarah ke tempat suci, bermalam dalam candi.
Hormat mendekati Hyang arca suci, khidmat berbakti sembah.
Menimbul-kan iri di dalam hati pengawas candi suci.
Ditanya mengapa berbakti kepada arca dewa Siwa.
Pada Paduka menjelaskan sejarah candi pasareyan suci.
Tentang adanya arca Aksobya indah, dahulu di atas.
Sepulangnya kembali lagi ke candi menyampaikan bakti.
Kecewa! tercengang memandang arca Maha Aksobya hilang.
Tahun Saka 1253 itu hilangnya arca.
Waktu hilangnya halilintar menyambar candi ke dalam.

Benarlah kabuan pendeta besar bebas dari prasangka.
Bagaimana membangun kembali candi tua terbengkalai?.
Tiada ternilai indahnya, sungguh seperti surga turun.
Gapura luar, mekala serta bangunannya serba permai.
Hiasan di dalamnya naga puspa yang sedang berbunga.
Di sisinya lukisan putri istana berseri-seri.
Sementara Sri Paduka girang cengkerma menyerap pemandangan.
Pakis berserak sebar di tengah tebat bagai bulu dada.
Ke timur arahnya di bawah terik matahari Sri Paduka.
Meninggalkan candi Pekalongan girang ikut jurang curam.
Tersebut dari Jajawa Sri Paduka berangkat ke desa padameyan.
Berhenti di Cunggrang, mencahari pemandangan, masuk hutan rindang.
Ke arah asrama para pertapa di lereng kaki gunung menghadap jurang.
Luang jurang ternganga-nganga ingin menelan orang yang memandang.

Habis menyerap pemandangan, masih pagi kereta telah siap.
Ke barat arahnya menuju gunung melalui jalannya dahulu.
Tiba di penginapan Japan, barisan tentara datang menjemput yang tinggal di pura iri kepada yang gembira pergi menghadap.
Pukul tiga itulah waktu Sri Paduka bersantap bersama-sama.
Paling muka duduk Sri Paduka lalu dua paman berturut tingkat raja Matahun dan Paguhan bersama permaisuri agak jauhan.
Di sisi Sri Paduka, terlangkahi berapa lamanya bersantap.
Paginya pasukan kereta Sri Paduka berangkat lagi.
Sang pujangga menyidat jalan ke Rabut, Tugu, Pengiring.
Singgah di Pahyangan, menemui kelompok sanak kadang.
Dijamu sekadarnya, karena kunjungannya mendadak.
Banasara dan Sangkan Adoh tesah lama dilalui.
Pukul dua Sri Paduka telah sampai di perbatasan kota Sepanajng jalan berdesuk-desuk, gajah, kuda, pedati. Kerbau, banteng dan prajurit darat sibuk berebut jalan. Teratur rapi mereka berarak di dalam deretan. Narpati Pajang, permaisuri dan pengiring paling muka. Di belakangnya tidak jauh, berikut Narpati Lasom.

Terlampau indah keretanya, menyilaukan yang memandang. Rani Daha, rani Wengker semuanya urut belakang.
Disusul rani Jiwana bersama laki dan pengiring.
Bagai penutup kereta Sri Paduka serombongan besar.
Diiring beberapa ribu perwira dan para mentri.
Tersebut orang yang rapat rampak menambak tepi jalan Berjejal ribut menanti kereta Sri Paduka berlintas.
Tergopoh-gopoh wanita ke pintu berebut tempat.
Malahan ada yang lari telanjang lepas sabuk kainnya.
Yang jauh tempatnya, memanjat kekayu berebut tinggi.
Duduk berdesak-desak di dahan, tak pandang tua muda.
Bahkan ada juga yang memanjat batang kelapa kuning.
Lupa malu dilihat orang, karena tepekur memandang.
Gemuruh dengung gong menampung Sri Paduka Prabu datang.
Terdiam duduk merunduk segenap orang di jalanan.
Setelah raja lalu berarak pengiring di belakang.
Gajah. kuda, keledai, kerbau berduyun beruntun-runtun.

Yang berjalan rampak berarak-arak.
Barisan pikulan bejalan belakang.
Lada, kesumba, kapas, buah kelapa.
Buah pinang, asam dan wijen terpikul.
Di belakangnya pemikul barang berat.
Sengkeyegan lambat berbimbingan tangan.
Kanan menuntun kirik dan kiri genjik.
Dengan ayam itik di keranjang merunduk.
Jenis barang terkumpul dalam pikulan.
Buah kecubung, rebung, seludang, cempaluk.
Nyiru, kerucut, tempayan, dulang, periuk.
Gelaknya seperti hujan panah jatuh.
Tersebut Sri Paduka telah masuk pura.
Semua bubar ke rumah masing-masing.
Ramai bercerita tentang hal yang lalu
Membuat girang semua sanak kadang.
Waktu lalu Sri Paduka tak lama di istana.
Tahun Saka 1282, Badra pada.
Beliau berangkat menuju Tirib dan Sempur.
Nampak sangat banyak binatang di dalam hutan.
Tahun Saka 1283 Waisaka, Sri Paduka Prabu berangkat menyekar ke Palah.
Dan mengunjungi Jimbe untuk menghibur hati.
Di Lawang Wentar, Blitar menenteramkan cita.
Dari Blitar ke selatan jalannya mendaki.

Pohonnya jarang, layu lesu kekurangan air.
Sampai Lodaya bermalam beberapa hari.
Tertarik keindahan lautan, menyisir pantai.
Meninggalkan Lodaya menuju desa Simping.
Ingin memperbaiki candi pasareyan leluhur.
Menaranya rusak, dilihat miring ke barat.
Perlu ditegakkan kembali agak ke timur.
Perbaikan disesuaikan dengan bunyi prasati, yang dibaca lagi.
Diukur panjang lebarnya, di sebelah timur sudah ada tugu.
Asrama Gurung-gurung diambil sebagai denah candi makam.
Untuk gantinya diberikan Ginting, Wisnurare di Bajradara.
Waktu pulang mengambil jalan Jukung, Inyanabadran terus ke timur.
Berhenti di Bajralaksmi dan bermalam di candi Surabawana.
Paginya berangkat lagi berhenti di Bekel, sore sampai pura Semua pengiring bersowang-sowang pulang ke rumah masing-masing.
Tersebut paginya Sri naranata dihadap para mentri semua.
Di muka para arya, lalu pepatih, duduk teratur di manguntur.

Patih amangkubumi Gajah Mada tampil ke muka sambil berkata : "Sri Paduka akan melakukan kewajiban yang tak boleh diabaikan.
Atas Perintah sang rani Sri Tri Buwana Wijaya Tungga Dewi supaya pesta serada Sri Padukapatni dilangsungkan Sri Paduka.
Di istana pada tahun Saka 1284 bulan Badrapada.
Semua pembesar dan wreda Mahamantri Agung diharap memberi sumbangan." Begitu kata sang patih dengan ramah, membuat gembira.
Sri Paduka Sorenya datang para pendeta, para budiman, sarjana dan mentri.
Yang dapat pinjaman tanah dengan Ranadiraja sebagai kepala Bersama-sama membicarakan biaya di hadapan Sri Paduka.
Tersebut sebelum bulan Badrapada menjelang surutnya Srawana.
Semua pelukis berlipat giat menghias "tempat singa" di setinggil
Ada yang mengetam baki makanan, bokor-bokoran, membuat arca.
Pandai emas dan perak turut sibuk bekerja membuat persiapan.
Ketika saatnya tiba tempat telah teratur sangat rapi.
Balai witana terhias indah di hadapan rumah-rumahan.

Satu di antaranya berkaki batu karang bertiang merah.
Indah dipandang semua menghadap ke arah takhta Sri Paduka.
Barat, mandapa dihias janur rumbai, tempat duduk para raja.
Utara, serambi dihias berlapis ke timur, tempat duduk.
Para isteri, pembesar, Mahamantri Agung, pujangga.
Serta pendeta Selatan, beberapa serambi berhias bergas untuk abdi.
Demikian persiapan Sri Paduka memuja Buda Sakti.
Semua pendeta Buda berdiri dalam lingkaran bagai saksi.
Melakukan upacara, dipimpin oleh pendeta Stapaka.
Tenang, sopan budiman faham tentang sastra tiga tantra.
Umurnya melintasi seribu bulan, masih belajar tutur.
Tubuhnya sudah rapuh, selama upacara harus dibantu.
Empu dari Paruh selaku pembantu berjalan di lingkaran.
Mudra, mantra dan japa dilakukan tepat menurut aturan.
Tanggal dua belas nyawa dipanggil dari surga dengan doa.
Disuruh kembali atas doa dan upacara yang sempurna.
Malamnya memuja arca bunga bagai penampung jiwa mulia.
Dipimpin Dang Acarya, mengheningkan cipta, mengucapkan puja.

Pagi purnamakala arca bunga dikeluarkan untuk upacara.
Gemuruh disambut dengan dengung salung, tambur, terompet serta genderang. Didudukkan di atas singasana, besarnya setinggi orang berdiri berderet beruntun-runtun semua pendeta tua muda memuja.
Berikut para raja, parameswari dan putra mendekati arca.
Lalu para patih dipimpin Gajah Mada maju ke muka berdatang sembah.
Para bupati pesisir dan pembesar daerah dari empat penjuru.
Habis berbakti sembah, kembali mereka semua duduk rapi teratur.
Sri Nata Paguhan paling dahulu menghaturkan sajian makanan sedap Bersusun timbun seperti pohon, dan sirih bertutup kain sutera Persembahan raja Matahun arca banteng putih seperti lembu. Nandini.
Terus menerus memuntahkan harta dan makanan dari nganga mulutnya.
raja Wengker mempersembahkan sajian berupa rumah dengan taman bertingkat Disertai penyebaran harta di lantal balai besar berhambur-hamburan.

Elok persembahan raja Tumapel berupa wanita cantik manis Dipertunjukkan selama upacara untuk mengharu-rindukan hati.
Paling haibat persembahan Sri Paduka berupa gunung besar.
Mandara Digerakkan oleh sejumlah dewa dan danawa dahsyat menggusarkan pandang Ikan lambora besar beriembak-lembak mengebaki kolam bujur lebar Bagaikan sedang mabuk diayun gelombang, di tengah-tengah lautan besar.
Tiap hari persajian makanan yang dipersembahkan dibagi-bagi.
Agar para wanita, Mahamantri Agung, pendeta dapat makanan sekenyangnya Tidak terlangkahi para kesatria, arya dan para abdi di pura.
Tak putusnya makanan sedap nyaman diedarkan kepada bala tentara.
Pada hari keenam pagi Sri Paduka bersiap mempersembahkan persajian.
Pun para kesatria dan pembesar mempersembahkan rumah- rumahan yang terpikul.

Dua orang pembesar mempersembahkan perahu yang melukiskan kutipan kidung. Seperahu sungguh besarnya, diiringi gong dan bubar mengguntur menggembirakan. Esoknya patih mangkubumi Gajah Mada sore-sore menghadap sambi menghaturkan. Sajian wanita sedih merintih di bawah nagasari dibelit rajasa.
Mahamantri Agung, arya, bupati, pembesar desa pun turut menghaturkan persajian. Berbagai ragamnya, berduyun-duyun ada yang berupa perahu, gunung, rumah, ikan. Sungguh-sungguh mengagumkan persembahan Sri Paduka Prabu pada hari yang ketujuh. Beliau menabur harta, membagi-bagi bahan pakaian dan hidangan, makanan. Luas merata kepada empat kasta, dan terutama kepada para pendeta.
Hidangan jamuan kepada pembesar, abdi dan niaga mengalir bagai air.
Gemeruduk dan gemuruh para penonton dari segenap arah, berdesak-sesak.
Ribut berebut tempat melihat peristiwa di balai agung serta para luhur.
Sri Nata menari di balai witana khusus untuk para putri dan para istri.
Yang duduk rapat rapi berimpit ada yang ngelamun karena tercengang memandang.

Segala macam kesenangan yang menggembirakan hati rakyat diselenggarakan.
Nyanyian, wayang, topeng silih berganti setiap hari dengan paduan suara.
Tari perang prajurit yang dahsyat berpukul-pukulan, menimbulkan gelak-mengakak. Terutama derma kepada orang yang menderita membangkitkan gembira rakyat.
Pesta serada yang diselenggarakan serba meriah dan khidmat.
Pasti membuat gembira jiwa Sri Padukapatni yang sudah mangkat.
Semoga beliau melimpahkan barkat kepada Sri Paduka Prabu Sehingga jaya terhadap musuh selama ada bulan dan surya.
Paginya pendeta Buda datang menghormati, memuja dengan sloka. Arwah Prajnyaparamita yang sudah berpulang ke Budaloka.
Segera arca bunga diturunkan kembali dengan upacara.
Segala macam makanan dibagikan kepada segenap abdi.
Lodang lega rasa Sri Paduka melihat perayaan langsung lancar.
Karya yang masih menunggu, menyempurnakan candi di Kamal Pandak.
Tanahnya telah disucikan tahun 1274.
Dengan persajian dan puja kepada Brahma oleh Jnyanawidi.

Demikian sejarah Kamal menurut tutur yang dipercaya.
Dan Sri Nata Panjalu di Daha, waktu bumi Jawa dibelah.
Karena cinta Sinuwun Prabu Airlangga kepada dua putranya.
Ada pendeta Budamajana putus dalam tantra dan yoga.
Diam di tengah kuburan lemah Citra, jadi pelindung rakyat.
Waktu ke Bali berjalan kaki, tenang menapak di air lautan.
Hyang Empu Barada nama beliau, faham tentang tiga zaman.
Girang beliau menyambut permintaan Airlangga membelah negara.
Tapal batas negara ditandai air kendi mancur dari langit.
Dari barat ke timur sampai laut, sebelah utara, selatan.
Yang tidak jauh, bagaikan dipisahkan oleh samudera besar.
Turun dari angkasa sang pendeta berhenti di pohon asam.
Selesai tugas kendi suci ditaruhkan di dusun Palungan.
Marah terhambat pohon asam tinggi yang puncaknya mengait jubah.

Mpu Barada terbang lagi, mengutuk asam agar jadi kerdil.
Itulah tugu batas gaib, yang tidak akan mereka lalui.
Itu pula sebabnya dibangun candi, memadu Jawa lagi.
Semoga Sri Paduka serta rakyat tetap tegak, teguh, waspada.
Berjaya dalam memimpin negara, yang sudah bersatu padu.
Prajnya Paramita Puri itulah nama candi pasareyan yang dibangun.
Arca Sri Padukapatni diberkahi oleh Sang pendeta Jnyanawidi.
Telah lanjut usia, faham akan tantra, menghimpun ilmu agama, laksana titisan Empu Barada, menggembirakan hati Sri Paduka.
Di Bayalangu akan dibangun pula candi pasareyan Sri Padukapatni. Pendeta Jnyanawidi lagi yang ditugaskan memberkahi tanahnya.
Rencananya telah disetujui oleh sang Mahamantri Agung demung.
Boja Wisesapura namanya, jika candi sudah sempurna dibangun.
Candi pasareyan Sri Padukapatni tersohor sebagai tempat keramat.
Tiap bulan Badrapada disekar oleh para Mahamantri Agung dan pendeta.
Di tiap daerah rakyat serentak membuat peringatan dan memuja.
Itulah suarganya, berkat berputra, bercucu narendra utama.

Tersebut pada tahun Saka 1285, Sri Paduka menuju Simping demi pemindahan candi makam.
Siap lengkap segala persajian tepat menurut adat.
Pengawasnya Rajaparakrama memimpin upacara.
Faham tentang tatwopadesa dan kepercayaan Siwa.
Memangku jabatannya semenjak mangkat Kerta Rajasa.
Ketika menegakkan menara dan mekala gapura.
Bangsawan agung Arya Krung, yang diserahi menjaganya.
Sekembalinya dari Simping segera masuk ke pura.
Terpaku mendengar Adi Mahamantri Agung Gajah Mada gering.
Pernah mencurahkan tenaga untuk keluhuran Jawa.
Di pulau Bali serta kota Sadeng memusnahkan musuh.
Tahun Saka 1253 beliau mulai memikul tanggung jawab.
Tahun 1286 Saka beliau mangkat, Sri Paduka gundah, terharu bahkan putus asa.

Sang dibyacita Gajah Mada cinta kepada sesama tanpa pandang bulu.
Insaf bahwa hidup ini tidak baka karenanya beramal tiap hari.
Sri Paduka segera bermusyawarah dengan kedua rama serta bunda.
Kedua adik dan kedua ipar tentang calon pengganti Ki Patih Mada.
Yang layak akan diangkat hanya calon yang sungguh mengenal tabiat rakyat.
Lama timbang-menimbang, tetapi seribu sayang tidak ada yang memuaskan.
Sri Paduka berpegang teguh, AdiMahamantri Agung Gajah Mada tak akan diganti.
Bila karenanya timbul keberatan beliau sendiri bertanggung jawab.
Mernilih enam Mahamantri Agung yang menyampaikan urusan negara ke istana. Mengetahui segala perkara, sanggup tunduk kepada pimpinan. Sri Paduka.
Itulah putusan rapat tertutup. Hasil yang diperoleh perundingan.
Terpilih sebagai wredaMahamantri Agung.
Karib Sri Paduka bernama Empu Tandi.
Penganut karib Sri Baginda.
Pahlawan perang bernama Empu Nala.
Mengetahui budi pekerti rakyat.

Mancanegara bergelar tumenggung.
Keturunan orang cerdik dan setia.
Selalu memangku pangkat pahlawan.
Pernah menundukkan negara Dompo.
Serba ulet menanggulangi musuh.
Jumlahnya bertambah dua Mahamantri Agung.
Bagai pembantu utama Sri Paduka.
Bertugas mengurus soal perdata.
Dibantu oleh para upapati.
Empu Dami menjadi Mahamantri Agung muda.
Selalu ditaati di istana. Empu Singa diangkat sebagai saksi.
Dalam segala perintah Sri Paduka. Demikian titah Sri Baginda.
Puas, taat teguh segenap rakyat.
Tumbuh tambah hari setya baktinya.
Karena Sri Paduka yang memerintah.
Sri Paduka makin keras berusaha untuk dapat bertindak lebih.
Dalam pengadilan tidak serampangan, tapi tepat mengikut undang-undang.
Adil segala keputusan yang diambil, semua pihak merasa puas.
Mashur nama beliau, mampu menembus jaman, sungguhlah titiaan batara.
Candi pasareyan serta bangunan para leluhur sejak zaman dahulu kala.
Yang belum siap diselesaikan, dijaga dan dibina dengan saksama.

Yang belum punya prasasti, disuruh buatkan Serat Kekancingan pada ahli sastra. Agar kelak jangan sampai timbul perselisihan, jikalau sudah temurun.
Jumlah candi pasareyan raja seperti berikut, mulai dengan Kagenengan.
Disebut pertama karena tertua : Tumapel, Kidal, Jajagu, Wedwawedan.
Di Tuban, Pikatan, Bakul, Jawa-jawa, Antang Trawulan, Katang Brat dan Jago.
Lalu Balitar, Sila Petak, Ahrit, Waleri, Bebeg, Kukap, Lumbang dan Puger.
pasareyan rani : Kamal Pandak, Segala, Simping. Sri Ranggapura serta candi Budi Kuncir. Bangunan baru Prajnya Paramita Puri.
Di Bayatangu yang baru saja dibangun. Itulah dua puluh tujuh candi raja.
Pada Saka tujuh guru candra (1287) bulan Badra.
Dijaga petugas atas perintah raja. Diawasi oleh pendeta ahli sastra.
Pembesar yang bertugas mengawasi seluruhnya sang Wiradikara.

Orang utama, yang saksama dan tawakal membina semua candi.
Setia kepada Sri Paduka, hanya memikirkan kepentingan bersama Segan mengambil keuntungan berapa pun penghasilan candi makam.
Desa-desa perdikan ditempatkan di bawah perlindungan Sri Paduka.
Darmadyaksa kasewan bertugas membina tempat ziarah dan pemujaan.
Darmadyaksa kasogatan disuruh menjaga biara kebudaan.
Mahamantri Agung her-haji bertugas memelihara semua pertapan.
Desa perdikan Siwa yang bebas dari pajak : biara relung Kunci, Kapulungan Roma, Wwatan, Iswaragreha, Palabdi, Tanjung, Kutalamba, begitu pula Taruna Parhyangan, Kuti Jati, Candi lima, Nilakusuma, Harimandana, Utamasuka Prasada-haji, Sadang, Panggumpulan, Katisanggraha, begitu pula Jayasika.
Tak ketinggalan: Spatika, Yang Jayamanalu, Haribawana, Candi Pangkal, Pigit Nyudonta, Katuda, Srangan, Kapukuran, Dayamuka, Kalinandana, Kanigara Rambut, Wuluhan, Kinawung, Sukawijaya, dan lagi Kajaha, demikian pula Campen, Ratimanatasrama, Kula, Kaling, ditambah sebuah lagi Batu Putih.

Desa perdikan kasogatan yang bebas dari pajak : Wipulahara, Kutahaji Janatraya, Rajadanya, Kuwanata, Surayasa, Jarak, Lagundi serta Wadari Wewe Pacekan, Pasaruan, Lemah Surat, Pamanikan, Srangan serta Pangiketan Panghawan, Damalang, Tepasjita, Wanasrama, Jenar, Samudrawela dan Pamulang. Baryang, Amretawardani, Wetiwetih. Kawinayan, Patemon serta Kanuruhan Engtal, Wengker. Banyu Jiken, Batabata. Pagagan, Sibok dan Engtal. Wengker, Banyu Jiken, Batabata.
Pagagan, Sibok dan Padurungan. Pindatuha, Telang, Suraba, itulah yang terpenting, sebuah lagi.
Sukalila Tak disebut perdikan tambahan seperti Pogara. Kulur, Tangkil dan sebagainya. Selanjutnya disebut berturut desa kebudaan Bajradara : Isanabajra, Naditata, Mukuh, Sambang, Tanjung.
Amretasaba Bangbang, Bodimula, Waharu Tampak, serta Puruhan dan Tadara Tidak juga terlangkahi Kumuda. Ratna serta Nadinagara. Wungaiaya, Palandi, Tangkil.

Asahing, Samici serta Acitahen Nairanjana, Wijayawaktra, Mageneng. Pojahan dan Balamasin. Krat, Lemah Tulis, Ratnapangkaya, Panumbangan. serta Kahuripan Ketaki, Telaga Jambala, Jungul ditambah lagi Wisnuwala. Badur, Wirun, Wungkilur. Mananggung, Watukura serta Bajrasana Pajambayan. Salanten, Simapura, Tambak Laleyan, Pilanggu Pohaji, Wangkali, Biru. Lembah, Dalinan, Pangadwan yang terakhir. Itulah desa kebudaan Bajradara yang sudah berprasasti.
Desa keresian seperti berikut : Sampud, Rupit dan Pilan Pucangan, Jagadita, Pawitra, masih sebuah lagi Butun.
Di situ terbentang taman didirikan lingga dan saluran air.
Yang Mulia Mahaguru demiklan sebutan beliau.
Yang diserahi tugas menjaga sejak dulu menurut Serat Kekancingan.
Selanjutnya desa perdikan tanpa candi, di antaranya yang penting : Bangawan, Tunggal, Sidayatra, Jaya Sidahajeng, Lwah Kali dan Twas. Wasista, Palah, Padar, Siringan, itulah desa perdikan Siwa.

Wangjang, Bajrapura. Wanara, Makiduk, Hanten, Guha dan Jiwa Jumpud. Soba, Pamuntaran, dan Baru, perdikan Buda utama. Kajar, Dana Hanyar, Turas, Jalagiri, Centing, Wekas Wandira, Wandayan. Gatawang : Kulampayan dan Talu, pertapan resi. Desa perdikan Wisnu berserak di Batwan serta Kamangsian Batu Tanggulian. Dakulut, Galuh, Makalaran, itu yang penting Sedang, Medang. Hulun Hyan, Parung, langge, Pasajan, Kelut. Andelmat Paradah, Geneng, Panggawan, sudah sejak lama bebas pajak. Terlewati segala dukuh yang terpencar di seluruh Jawa.
Begitu pula asrama tetap yang bercandi serta yang tidak.
Yang bercandi menerima bantuan tetap dari Sri Paduka Prabu.
Begitu juga dukuh pengawas, tempat belajar upacara.

Telah diteliti sejarah berdirinya segala desa di Jawa.
Perdikan candi, tanah pusaka, daerah dewa, biara dan dukuh.
Yang berSerat Kekancingan dipertahankan, yang tidak, segera diperintahkan.
Pulang kepada dewan desa di hadapan Sang Arya Ranadiraja.
Segenap desa sudah diteliti menurut perintah raja Wengker raja Singasari bertitah mendaftar jiwa serta seluk salurannya.
Petugas giat menepati perintah, berpegang kepada aturan Segenap penduduk Jawa patuh mengindahkan perintah Sri Paduka Prabu.
Semua tata aturan patuh diturut oleh pulau Bali.
Candi, asrama, pesanggrahan telah diteliti sejarah tegaknya Pembesar kebudaan Badahulu.
Badaha lo Gajah ditugaskan. Membina segenap candi, bekerja rajin dan mencatat semuanya.
Perdikan kebudaan Bali seperti berikut, biara Baharu (hanyar).
Kadikaranan, Purwanagara, Wiharabahu, Adiraja, Kuturan.
Itulah enam kebudaan Bajradara, biara kependetaan.
Terlangkahi biara dengan bantuan negara seperti Aryadadi.
Berikut candi pasareyan di Bukit Sulang lemah lampung, dan Anyawasuda Tatagatapura, Grehastadara, sangat mashur, dibangun atas Serat Kekancingan.
Pada tahun Saka 1260 oleh Sri Paduka Jiwana.

Yang memberkahi tanahnya, membangun candinya : upasaka wreda mentri.
Semua perdikan dengan bukti prasasti dibiarkan tetap berdiri.
Terjaga dan terlindungi segala bangunan setiap orang budiman.
Demikianlah tabiat raja utama, berjaya, berkuasa, perkasa.
Semoga kelak para raja sudi membina semua bangunan suci.
Maksudnya agar musnah semua durjana dari muka bumi laladan.
Itulah tujuan melintas, menelusur dusun-dusun sampai di tepi laut.
Menenteramkan hati pertapa, yang rela tinggal di pantai, gunung dan hutan.
Lega bertapa brata dan bersamadi demi kesejahteraan negara.
Besarlah minat Sri Paduka untuk tegaknya tripaksa.
Tentang Serat Kekancingan beliau besikap agar tetap diindahkan.
Begitu pula tentang pengeluaran undang-undang, supaya laku utama, tata gila dan adat-tutur diperhatikan.
Itulah sebabnya sang caturdwija mengejar laku utama. Resi, Wipra, pendeta Siwa Buda teguh mengindahkan tutur.

Catur asrama terutama catur basma tunduk rungkup tekun melakukan tapa brata, rajin mempelajari upacara.
Semua anggota empat kasta teguh mengindahkan ajaran.
Para Mahamantri Agung dan arya pandai membina urusan negara.
Para putri dan satria berlaku sopan, berhati teguh.
Waisya dan sudra dengan gembira menepati tugas darmanya.
Empat kasta yang lahir sesuai dengan keinginan.
Hyang Maha Tinggi Konon tunduk rungkup kepada kuasa dan perindah Sri Paduka Teguh tingkah tabiatnya, juga ketiga golongan terbawah.
Gandara, Mleca dan Tuca mencoba mencabut cacad-cacadnya.
Demikianlah tanah Jawa pada zaman pemerintahan Sri Nata.
Penegakan bangunan-bangunan suci membuat gembira rakyat Sri Paduka menjadi teladan di dalam menjalankan enam darma.
Para ibu kagum memandang, setuju dengan tingkah laku Sang Prabu.
Sri Nata Singasari membuka ladang luas di daerah Sagala.
Sri Nata Wengker membuka hutan Surabana, Pasuruan, Pajang.

Mendirikan perdikan Buda di Rawi, Locanapura, Kapulungan Sri Paduka sendiri membuka ladang Watsari di Tigawangi.
Semua Mahamantri Agung mengenyam tanah palenggahan yang cukup luas Candi, biara dan lingga utama dibangun tak ada putusnya.
Sebagai tanda bakti kepada dewa, leluhur, para pendeta.
Memang benar budi luhur tertabur mengikuti jejak Sri Nata.
Demikianlah keluhuran Sri Paduka ekanata di Wilwatikta.
Terpuji bagaikan bulan di musim gugur, terlalu indah terpandang Durjana laksana tunjung merah, sujana seperti teratai putih. Abdi, harta, kereta, gajah, kuda berlimpah-limpah bagai samudera.
Bertambah mashur keluhuran pulau Jawa di seluruh jagad raya.
Hanya Jambudwipa dan pulau Jawa yang disebut negara utama Banyak pujangga dan dyaksa serta para upapati, tujuh jumlahnya Panji Jiwalekan dan Tengara yang meronjol bijak di dalam kerja.
Mashurlah nama pendeta Brahmaraja bagai pujangga, ahli tutur.

Putus dalam tarka, sempurna dalam seni kata serta ilmu naya Hyang brahmana, sopan, suci, ahli weda menjalankan nam laku utama Batara Wisnu dengan cipta dan mentera membuat sejahtera negara.
Itulah sebabnya berduyun-duyun tamu asing datang berkunjung Dari Jambudwipa, Kamboja, Cina, Yamana, Campa dan Karnataka Goda serta Siam mengarungi lautan bersama para pedagang Resi dan pendeta, semua merasa puas, menetap dengan senang. Tiap bulan Palguna Sri Nata dihormat di seluruh negara.
Berdesak-desak para pembesar, empat penjuru, para prabot desa Hakim dan pembantunya, bahkan pun dari Bali mengaturkan upeti.
Pekan penuh sesak pembeli, penjual, barang terhampar di dasaran.
Berputar keliling gamelan dalam tanduan diarak rakyat ramai Tiap bertabuh tujuh kali, pembawa sajian menghadap ke pura Korban api, ucapan mantra dilakukan para pendeta Siwa-Buda.
Mulai tanggal delapan bulan petang demi keselamatan Sri Paduka.

Tersebut pada tanggal empatbelas bulan petang. Sri Paduka berkirap.
Selama kirap keliling kota busana. Sri Paduka serba kencana. Ditatang jempana kencana, panjang berarak beranut runtun.
Mahamantri Agung, sarjana, pendeta beriring dalam pakaian seragam.
Mengguntur gaung gong dan salung, disambut terompet meriah sahut-menyahut bergerak barisan pujangga menampung beliau dengan puja sloka.
Gubahan kawi raja dari pelbagai kota dari seluruh Jawa.
Tanda bukti Sri Paduka perwira bagai Rama, mulia bagai Sri Kresna.
Telah naik Sri Paduka di takhta mutu-manikam, bergebar pancar sinar.
Seolah-olah Hyang Trimurti datang mengucapkan puji astuti.
Yang nampak, semua serba mulia, sebab Sri Paduka memang raja agung.
Serupa jelmaan. Sang Sudodanaputra dari Jina bawana.
Sri Nata Pajang dengan sang permaisuri berjalan paling muka.
Lepas dari singgasana yang diarak pengiring terlalu banyak.

Mahamantri Agung Pajang dan Paguhan serta pengiring jadi satu kelompok.
Ribuan jumlahnya, berpakaian seragam membawa panji dan tunggul.
Raja Lasem dengan permaisuri serta pengiring di belakangnya.
Lalu raja Kediri dengan permaisuri serta Mahamantri Agung dan tentara.
Berikut maharani Jiwana dengan suami dan para pengiring.
Sebagai penutup Sri Paduka dan para pembesar seluruh Jawa.
Penuh berdesak sesak para penonton ribut berebut tempat.
Di tepi jalan kereta dan pedati berjajar rapat memanjang.
Tiap rumah mengibarkan bendera, dan panggung membujur sangat panjang.
Penuh sesak wanita tua muda, berjejal berimpit-impitan.
Rindu sendu hatinya seperti baru pertama kali menonton.
Terlangkahi peristiwa pagi, waktu Baginda mendaki setinggil.
Pendeta menghaturkan kendi berisi air suci di dulang berukir.
Mahamantri Agung serta pembesar tampil ke muka menyembah bersama-sama.
Tanggal satu bulan Caitra bala tentara berkumpul bertemu muka.
Mahamantri Agung, perwira, para arya dan pembantu raja semua hadir.

Kepala daerah, ketua desa, para tamu dari luar kota.
Begitu pula para kesatria, pendeta dan brahmana utama.
Maksud pertemuan agar para warga mengelakkan watak jahat.
Tetapi menganut ajaran raja Kapa Kapa, dibaca tiap Caitra.
Menghindari tabiat jahat, seperti suka mengambil milik orang.
Memiliki harta benda dewa, demi keselamatan masyarakat.
Dua hari kemudian berlangsung perayaan besar.
Di utara kota terbentang lapangan bernama Bubat.
Sering dikunjungi Sri Paduka, naik tandu bersudut Singa.
Di arak abdi berjalan, membuat kagum tiap orang.
Bubat adalah lapangan luas lebar dan rata.
Membentang ke timur setengah krosa sampai jalan raya.
Dan setengah krosa ke utara bertemu.tebing sungai.
Dikelilingi bangunan Mahamantri Agung di dalam kelompok.
Menjulang sangat tinggi bangunan besar di tengah padang.
Tiangnya penuh berukir dengan isi dongengan parwa.
Dekat di sebelah baratnya bangunan serupa istana.

Tempat menampung Sri Paduka di panggung pada bulan Caitra.
Panggung berjajar membujur ke utara menghadap barat.
Bagian utara dan selatan untuk raja dan arya.
Para Mahamantri Agung dan dyaksa duduk teratur menghadap timur.
Dengan pemandangan bebas luas sepanjang jalan raya.
Di situlah Sri Paduka memberi rakyat santapan mata.
Pertunjukan perang tanding, perang pukul. desuk-mendesuk Perang keris, adu tinju tarik tambang, menggembirakan.
Sampai tiga empat hari lamanya baharu selesai. Seberangkat Sri Paduka. sepi lagi, panggungnya dibongkar.
Segala perlombaan bubar, rakyat pulang bergembira.
Pada Citra bulan petang Sri Paduka menjamu para pemenang.
Yang pulang menggondol pelbagai hadiah bahan pakaian.
Segenap ketua desa dan wadana tetap tinggal, paginya mereka.
Dipimpin Arya Ranadikara menghadap Sri Paduka minta diri di pura Bersama Arya Mahadikara, kepala pancatanda dan padelegan.
Sri Paduka duduk di atas takhta, dihadap para abdi dan pembesar.

Berkatalah Sri nata Wengker di hadapan para pembesar dan wedana : "Wahai, tunjukkan cinta serta setya baktimu kepada Sri Paduka Prabu Cintailah rakyat bawahanmu dan berusahalah memajukan dusunmu Jembatan, jalan raya, beringin, bangunan dan candi supaya dibina.
Terutama dataran tinggi dan sawah, agar tetap subur, peliharalah perhatikan tanah rakyat jangan sampai jatuh di tangan petani besar.
Agar penduduk jangan sampai terusir dan mengungsi ke desa tetangga. Tepati segala peraturan untuk membuat desa bertambah besar.
Sri Nata Kerta Wardana setuju dengan anjuran memperbesar desa.
Harap dicatat nama penjahat dan pelanggaran setiap akhir bulan.
Bantu pemeriksaan tempat durjana terutama pelanggar susila.

Agar bertambah kekayaan Sri Paduka demi kesejahteraan negara.
Kemudian bersabda Sri Baginda Wilwatikta memberi anjuran : "Para budiman yang berkunjung kemari, tidak boleh dihalang-halangi.
Rajakarya terutama bea-cukai, pelawang supaya dilunasi.
Jamuan kepada para tetamu budiman supaya diatur pantas.
Undang-undang sejak pemerintahan ibunda harus ditaati.
Hidangan makanan sepanjang hari harus dimasak pagi-pagi.
Jika ada tamu loba tamak mengambil makanan, merugikan.
Biar mengambilnya, tetapi laporkan namanya kepada saya.
Negara dan desa berhubungan rapat seperti singa dan hutan.
Jika desa rusak, negara akan kekurangan bahan makanan.
Kalau tidak ada tentara, negara lain mudah menyerang kita.
Karenanya peliharalah keduanya, itu perintah saya "

Begitu perintah Sri Paduka kepada wadana, yang tunduk mengangguk
Sebagai tanda mereka sanggup mengindahkan perintah beliau.
Mahamantri Agung upapati serta para pembesar menghadap bersama.
Tepat pukul tiga mereka berkumpul untuk bersantap bersama.
Bangunan sebelah timur laut telah dihiasi gilang cemerlang.
Di tiga ruang para wadana duduk teratur menganut sudut.
Santapan sedap mulai dihidangkan di atas dulang serba emas
Segera deretan depan berhadap-hadapan di muka Sri Paduka.
Santapan terdiri dari daging kambing, kerbau, burung, rusa, madu, ikan, telur, domba menurut adat agama dari zaman purba.
Makanan pantangan : daging anjing, cacing, tikus, keledai dan katak.
Jika dilanggar mengakibatkan hinaan musuh, mati dan noda.
Dihidangkan santapan untuk orang banyak.
Makanan serba banyak serta serba sedap.
Berbagai-bagai ikan laut dan ikan tambak.
Berderap cepat datang menurut acara.
Daging katak, cacing, keledai, tikus, anjing hanya dihidangkan kepada para penggemar. Karena asalnya dari pelbagai desa.

Mereka diberi kegemaran, biar puas.
Mengalir pelbagai minuman keres segar.
Tuak nyiur, tal, arak kilang, brem, tuak rumbya. itulah hidangan yang utama.
Wadahnya emas berbentuk aneka ragam. Porong dan guci berdiri terpencar-pencar.
Berisi aneka minuman keras dari aneka bahan. Beredar putar seperti air yang mengelir. Yang gemar minum sampai muntah serta mabuk.
Meluap jamuan Sri Paduka dalam pesta. Hidangan mengalir menghampiri tetamu. Dengan sabar segala sikap dizinkan.
Penyombong, pemabuk jadi buah gelak tawa. Merdu merayu nyanyian para biduan. Melagukan puji-pujian Sri Paduka. Makin deras peminum melepaskan nafsu.
Habis lalu waktu, berhenti gelak gurau.

Pembesar daerah angin membadut dengan para lurah.
Diikuti lagu, sambil bertandak memilih pasangan.
Seolah tingkahnya menarik gelak, menggelikan pandangan.
Itulah sebabnya mereka memperoleh hadiah kain.
Disuruh menghadap Sri Paduka, diajak minum bersama.
Mahamantri Agung upapati berurut mengelir menyanyi.
Nyanyian Menghuri Kandamuhi dapat bersorak pujian.
Sri Paduka berdiri, mengimbangi ikut melaras lagu.
Tercengang dan terharu hadirin mendengar suar merdu.
Semerebak meriah bagai gelak merak di dahan kayu.
Seperti madu bercampur dengan gula terlalu sedap manis.
Resap menghalu kalbu bagai desiran buluh perindu.
Arya Ranadikara lupa bahwa Sri Paduka berlagu.
Bersama Arya Ranadikara mendadak berteriak.
Bahwa para pembesar ingin belia menari topeng.
"Ya!" jawab beliau, segera masuk untuk persiapan.

Sri Kerta Wardana tampil kedepan menari panjak.
Bergegas lekas panggung di siapkan ditengah mandapa.
Sang permaisuri berhias jamang laras menyanyikan lagu.
Luk suaranya mengharu rindu, tinglahnya memikat hati.
Bubar mereka itu ketika Sri Paduka keluar.
Lagu rayuan Sri Paduka bergetar menghanyutkan rasa.
Diiringkan rayuan sang permaisuri rapi rupendah.
Resap meremuk rasa, merasuk tulang sungsum pendengar.
Sri Paduka warnawan telah mengenakan tampuk topeng.
Delapan pengiringnya di belakang, bagus, bergs, pantas.
Keturunan Arya, bijak cerdas, sopan tingkah lakunya.
Itulah sebabnya banyolannya selalu kena.
Tari sembilan orang telah dimulai dengan banyolan.
Gelak tawa terus menerus, sampai perut kaku beku.
Babak yang sedih meraih tangis, mengaduk haru dan rindu.
Tepat mengenai sasaran, menghanyutkan hati penonton.
Silam matahari waktu lingsir, perayaan berakhir.
Para pembesar meminta diri mencium duli paduka.
Katanya :"lenyap duka oleh suka, hilang dari bumi!".
Terlangkahi pujian Sri Paduka waktu masuk istana.

Demikianlah suka mulia Sri Paduka Prabu di pura, tercapai segala cita.
Terang Sri Paduka sangat memperhatikan kesejahteraan rakyat dan negara.
Meskipun masih muda dengan suka rela berlaku bagai titisan Buda.
Dengan laku utama beliaumemadamkan api kejahatan durjana.
Terus membumbung ke angkasa kemashuran dan keperwiraan Sri Paduka.
Sungguh beliau titisan Batara Girinata untuk menjaga buana.
Hilang dosanya orang yang dipandang, dan musnah letanya abdi yang disapa.
Itulah sebabnya keluhuran beliau mashur terpuji di tiga jagad.
Semua orang tinggi, sedang, rendah menuturkan kata-kata pujian.
Serta berdo'a agar Sri Paduka tetap subur bagai gunung tempat berlindung.
Berusia panjang sebagai bulan dan matahari cemerlang menerangi bumi.

Semua pendeta dari tanah asing menggubah pujian Sri Paduka.
Sang pendeta Budaditya menggubah rangkaian seloka Bogawali.
Tempat tumpah darahnya Kancipuri di Sadwihara di Jambudwipa.
Brahmana Sri Mutali Saherdaya menggubah pujian seloka indah.
Begitu pula para pendeta di Jawa, pujangga, sarjana sastra.
Bersama-sama merumpaka seloka puja sastra untuk nyanyian.
Yang terpenting puja sastra di prasasti, gubahan upapati Sudarma.
Berupa kakawin, hanya boleh diperdengarkan di dalam istana.
Mendengar pujian para pujangga pura bergetar mencakar udara.
Empu Prapanca bangkit turut memuji Sri Paduka meski tak akan sampai pura.

Maksud pujiannya, agar Sri Paduka gembira jika mendengar gubahannya.
Berdoa demi kesejahteraan negara, terutama Sri Paduka dan rakyat.
Tahun Saka 1287 bulan Aswina hari purnama.
Siaplah kakawin pujaan tentang perjalanan jaya keliling negara.
Segenap desa tersusun dalam rangkaian, pantas disebut Desa Warnana.
Dengan maksud, agar Sri Paduka ingat jika membaca hikmat kalimat.
Sia-sia lama bertekun menggubah kakawin menyurat di atas daun lontar.

Yang pertama "Tahun Saka", yang kedua "Lambang" kemudian "Parwasagara".
Berikut yang keempat "Bismacarana", akhirnya cerita "Sugataparwa".
Lambang dan Tahun Saka masih akan diteruskan, sebab memang belum siap.
Meskipun tidak semahir para pujangga di dalam menggubah kakawin.
Terdorong cinta bakti kepada Sri Paduka, ikut membuat puja sastra berupa karya kakawin, sederhana tentang rangkaian sejarah desa.
Apa boleh buat harus berkorban rasa, pasti akan ditertawakan.

Nasib badan dihina oleh para bangsawan, canggung tinggal di dusun.
Hati gundah kurang senang, sedih, rugi tidak mendengar ujar manis.
Teman karib dan orang budiman meninggalkan tanpa belas kasihan.
Apa gunanya mengenal ajaran kasih, jika tidak diamalkan?
Karena kemewahan berlimpah, tidak ada minat untuk beramal.
Buta, tuli, tak nampak sinar memancar dalam kesedihan, kesepian.
Seyogyanya ajaran sang Begawan diresapkan bagai sepegangan.
Mengharapkan kasih yang tak kunjung datang, akan membawa mati muda.
Segera bertapa brata di lereng gunung, masuk ke dalam hutan.
Membuat rumah dan tempat persajian di tempat sepi dan bertapa.
Halaman rumah ditanami pohon kamala, asana, tinggi-tinggi.
Memang Kamalasana nama dukuhnya sudah sejak lama dikenal.

Prapanca itu pra lima buah. Cirinya: cakapnya lucu.
Pipinya sembab, matanya ngeliyap. Gelaknya terbahak-bahak.
Terlalu kurang ajar, tidak pantas ditiru. Bodoh, tak menurut ajaran tutur.
Carilah pimpinan yang baik dalam tatwa. Pantasnya ia dipukul berulang kali.
Ingin menyamai Empu Winada. Mengumpulkan harta benda. Akhirnya hidup sengsara. Tapi tetap tinggal tenang. Winada mengejar jasa. Tanpa ragu wang dibagi.
Terus bertapa berata. Mendapat pimpinan hidup. Sungguh handal dalam yuda.
Yudanya belum selesai. Ingin mencapai nirwana. Jadi pahlawan pertapa.

Beratlah bagi para pujangga menyamai Winada, bertekun dalam tapa.
Membalas dengan cinta kasih perbuatan mereka yang senang menghina orang-orang yang puas dalam ketetnangan dan menjauhkan diri dari segala tingkah, menjauhkan diri dari kesukaan dan kewibawaan dengan harapan akan memperoleh faedah.
Segan meniru perbuatan mereka yang dicacad dan dicela di dalam pura.